Dengan hormat, Radio Buku bersama Indonesia Buku, Warung Arsip, dan para penggerak festival literasi akan menghelat Booklovers Festival pada 23 April–23 Mei 2014. Sehubungan dengan acara tersebut, kami mengundang saudara/i untuk berpartisipasi dalam Musyawarah Agung Buku Indie, sebagai rangkaian Booklovers Festival, yang akan dilaksanakan pada:
- Hari, tanggal: Sabtu, 17 Mei 2014
- Waktu: Pukul 14.00–17.30 WIB
- Tempat: Bale Black Box, Jl. Sewon Indah No. 1 (pojok barat perpustakaan kampus Institut Seni Indonesia)
Bersama ini kami lampirkan peta lokasi acara, poster dan beberapa hal lain untuk memudahkan Anda berpartisipasi. Demikian surat undangan ini kami sampaikan, atas perhatian dan partisipasi, kami sampaikan terima kasih.
Sewon, 21 April 2014
Hormat kami,
Fairuzul Mumtaz, Ketua Pelaksana
TOR: MUSYAWARAH AGUNG BUKU INDIE
Runtuhnya rezim diktator totalitarian Suharto bersama Orde Barunya telah menjadi pembuka keran kebebasan dalam segala hal. Media-media baru muncul dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya. Mereka muncul dari sekelompok aktivis pers yang selama ini takut bersuara, dibungkam dan disingkirkan kekuasaan. Wacana apa saja bergulir semaunya, deras, sekehendak siapa saja orang-orang yang berada di belakang media tersebut. Wacana-wacana yang selama Orba dianggap tabu dan susah mendapat tempat untuk dibicarakan segera hadir memenuhi ruang publik, menjadi perbicangan yang intens bagi orang-orang yang tertarik di bidangnya. Peralihan orde ini berimbas pada kemunculan kelompok diskusi, partai politik baru, radio, televisi dan salah satunya adalah penerbitan buku.
Dalam dunia perbukuan misalnya, bacaan-bacaan alternatif juga menderas dan sangat cepat dalam porsi yang mungkin tak pernah ada sebelumnya. Beberapa aktivis kiri yang terbiasa mengontrak rumah bersama sebagai ruang kumpul kader, menyulap sekretariatan mereka menjadi ruang-ruang penerbitan. Buku-buku yang selama ini dilarang atau hanya dibaca dalam versi bahasa asing, jilidan fotokopian lapuk, dikemas menjadi buku, diterjemahkan, ditulis ulang, didesain dan diedarkan menjadi produk intelektual bagi kalangan yang sejalan secara gagasan. Beberapa orang lainnya membuka diri menjadi penerbit mandiri yang hadir melalui rumah-rumah kos yang berada di seputaran gang-gang kampus, berjejal dengan gerobak angkringan, warung burjo 24 jam, fotokopian dan rental komputer. Dari produksi wacana, penerbitan-penerbitan ini bermetamerfosis menjadi rumah produksi dan bisnis perbukuan.
Penerbitan dibangun berdasarkan selera buku dan selera wacana para pendirinya, ditambah kenekatan, insting bisnis seadanya dan kemampuan membuat buku secara otodidak, mereka hadir mewarnai perbukuan di Indonesia. Penerbit kiri menerbitkan buku-buku Marxis, Pramoedya, Biografi Tokoh Revoluisoner, dan menerjemahkan wacana-wacana kritis dari bahasa asing. Pemuda-pemuda yang terbiasa diskusi Islam dan teologi pembebasan menerbitkan buku-buku Islam Kritis, wacana baru dan biografi tokoh-tokoh idola mereka. Semuanya dimulai dari sekala kecil, tak ada modal menggunung seperti penerbitan arus utama yang sudah mapan di semua lini.
Cara kerjanya sederhana, penulisnya adalah kawan sendiri, desainer dan editornya bisa dirangkap satu orang, kertas dan cetak utang di percetakan, distribusi dititipkan. Atau buku beredar dari komunitas ke komunitas, tukar jaringan dan tukar distribusi. Industri buku yang menggeliat dari jamur-jamur kecil penerbitan menjadikan beberapa kota seperti Jakarta, Bandung dan terutama sekali Jogja menjadi pusat industri rumahan perbukuan. Industri kos dan kontarkan tepatnya. Tak jarang, konon buku yang dititip di distributor dibayar dengan bilyet giro, lalu diputar lagi ke percetakan untuk utang kertas dan cetak buku selanjutnya. Cara ini awalnya efektif, namun ketika pembaca dan pasar mulai lesu, cara ini menjadi sandungan. Jumlah penerbit serupa makin banyak, cara kerja industri kecil yang awam menejerial memperparah keadaan kamar redaksi. Wacana alternatif sudah jadi populer, pasar bosan, penerbit-penerbit koboy terpaksa gulung tikar. Sebagaian aktivis buku bertahan dengan idialismenya, sebagian lagi menyerah, cabut mencari penghidupan lain yang lebih menjanjikan.
Fenomena ini sebenarnya bukanlah fenomena baru. Jauh sebelum itu, generasi punk memulai penerbitan zine-zine mereka sebagai alat melawan sesuatu yang tidak mereka sukai. Selain berdandan yang tidak sesuai kebudayaan tempat mereka tinggal, mereka memproduksi media agitasi sebagai corong mereka dengan cara yang paling sederhana. Potong tempel kertas koran yang ada, atau bahkan dengan cara paling mudah; menulis tangan, menggandakannya dengan sistem sablon. Fotokopi Xerok muncul di tahun 70-an, memungkinkan orang menggandakan segala jenis cetakan secara cepat, murah dan dalam jumlah yang tak perlu sebanyak percetakan besar.
Pada generasi selanjutnya, penerbitan muncul akibat respons banyaknya penulis yang muncul dari beragam sosial media. Di sosial media dengan fasilitas note facebook beberapa orang yang selama ini tidak tahu bagaimana publikasi tulisan ke media arus utama, bagaimana membangun karier di dunia penulisan, menemukan sebuah “mainan baru”. Mereka menulis di media sosial, belajar secara massif dengan mentor yang bisa mereka hubungi 24 jam penuh. Orang yang suka dengan dunia tulis menulis menyelesaikan draftnya, mengunggah langsung ke fasilitas note yang ada dan dalam hitungan detik, mereka sudah melihat tulisan mereka terpajang. Mereka telah punya media sendiri. Penulis pemula bisa komunikasi dua arah melaui media sosial, web 2.0, portal, blog dan langsung berkomunikasi dengan pembacanya. Sebuah revolusi publikasi yang pesat.
Fenomena ini direspon secara menarik oleh industri buku. Kelahiran mesin print on demand yang memungkinkan penerbitan buku dalam jumlah terbatas telah menghapus kutukan wajib cetak buku 3000 eksemplar. Mereka menamai diri mereka penerbitan alternatif, penerbitan indie, self publishing dan penerbit dengan sebutan varian lainnya. Kemunculan penerbit indie ini juga sebagai resnpons bagi beberapa penulis yang mengeluhkan penerbit arus utama. Penerbit arus utama yang tak ramah pada penulis pemula kerap menjadi alasan penulis menerbitkan bukunya sendiri. Dengan pertimbangan banyak naskah yang masuk, antrean di meja redaksi jadi panjang dan harus ada hitung hitungan pasar yang jelas, penerbit arus utama menyisakan banyak naskah. Animo menulis tinggi, penerbitan tak kuat menampungnya, maka sistem menerbitkan sendiri semakin populer.
Penerbit indie bermunculan, seperti generasi awal penerbitan alternatif pascareformasi. Kali ini bukan melulu alternatif secara wacana dan gagasan, tapi penerbitan indie berbeda, baik dari sumber wacananya, cara produksi, dan sistem distribusi nonkonvensional seperti toko. Penulis merangkap marketing bagi bukunya, mempromosikan sendiri buku yang ia terbitkan atas usahanya. Sosial media dan internet menjadi senjata utama. Tak jarang, beberapa penulis sosial media bahkan lebih populer dari penulis yang memulai karir utamanya dari koran, majalah dan buku.
Sebagian penerbit indie konsisten dengan tema lain yang ia tawarkan, sebagian lagi hanya nyemplung mencari recehan yang tercecer di industri perbukuan paling baru ini. Hasilnya, beberapa buku yang bagus lahir dari penerbitan yang dikelola dengan bagus, sementara penerbitan dengan tujuan bisnis jual beli kertas hanya menghasilkan sampah-sampah dunia perbukuan. Penerbit indie atau penulis self publish tidak memiliki filter publikasi yang rapat, kemampuan pengemasan buku yang seadanya membuat beberapa buku seolah dikerjakan serampangan: Editing yang buruk, sampul berselera rendah dan distribusi yang acakadut. Setiap hari terbit ratusan judul dan judul-judul itu berebut ditunjuk dan dipilih, membuat bingung para pembaca. Bisa jadi kritikus sastra yang jumlahnya sedikit juga dibikin bingung harus memilih buku yang mana yang harus mereka baca dan kritisi.
Masih banyak pradigma dan anggapan miring miring pelaku perbukuan paling kontemporer ini. Buku-buku terbitan penerbit bukan arus utama dipandang sebelah mata dari sisi kualitas. Kemampuan menejerial dan pengelolaan pasar yang minimum juga menjadi salah satu masalah krusial. Dalam Musyawarah Agung Buku Indie ini, kami mencoba menghadirkan beberapa penggiat perbukuan indie, menilik perkembangannya bersama dan mencoba memecahkan beberapa permasalahan yang serupa. Akan dihadirkan beberapa nama penggiat dunia perbukauan, beberapa penulis yang menerbitkan sendiri bukunya, juga beberapa pakar dalam bidangnya. Sebagai rangkaian dari#BookLoversFestival Radiobuku, fenomena ini akan dibicarakan bersama dalam agenda Musawarah Agung Buku Indie.
Konsep:
- Tamu-tamu undangan/anggota sidang akan bersidang bersama mengenai beberapa permasalahan buku indie.
- Setiap anggota akan mewakili beberapa permasalahan: penulisan, penerbitan, distribusi, branding, harga, digitalisasi dan hal-hal lain.
- Sidang ini akan disaksikan dan ditonton para peserta. Peserta bisa memberi pandangan, masukan dan rekomendasi bagi para anggota sidang.
- Sidang disiarkan live streaming melalui Radibuku dan semua hasilnya dicatat oleh notulen.
- Dengan demikian diharapkan ada turunan tulisan berupa solusi-solusi penting yang akan menjadi rekomendasi dan panduan bersama para penggiat buku indie.
Lokasi:
- Ruang Pameran #BookLoversFestival. Bale Black Box Pojok Barat Perpustakaan Institut Seni Indonesia Jogjakarta, Sewon Indah 1, Bantul Jogjakarta
Waktu:
- 17 Mei 2014 | 14.00-17.30 WIB
Anggota Sidang:
- Sarita Fraya, Pemilik Cafe dan Toko Buku And/Or Books
- Bernard Batubara, Penulis, Penerbit Panda Media
- Diki Umbara, Pendiri Katabergerak.
Pemandu Sidang:
- Irwan Bajang, Pendiri Indie Book Corner
Peserta:
- Tamu undangan, penulis, pembaca dan penerbit.