Judul Buku: 24 Jam Bersama Gaspar
Penulis: Sabda Armandio
Penerbit: Buku Mojok
Tahun Terbit: 2017
Membaca dengan prasangka tertentu seringkali membatasi kemungkinan penafsiran. Ketika dihadapkan pada suatu pernyataan, seringkali kita langsung memikirkan asumsi-asumsi tertentu yang berkaitan dengannya. Ketika membaca pernyataan “sebuah cerita detektif” di sampul depan 24 Jam Bersama Gaspar dan “kritik atas konvensi cerita detektif” pada sampul belakang, saya membayangkan konvensi cerita detektif sekaligus menepis prasangka itu.
Memang, premis “cerita detektif” itu berhasil mengecoh saya. Dalam buku ini, ada dua plot utama yang disajikan berselang-seling. Pertama, Gaspar dan teman-temannya berusaha merampok toko emas Wan Ali. Kedua, polisi mewawancarai seorang perempuan, yaitu Ibu Tati (Pingi atau salah satu komplotan Gaspar) tentang suatu kematian. Premis tadi membuat saya menyangka bahwa plot pertama menceritakan tentang pembunuhan dan plot kedua menceritakan tentang investigasi korban pembunuhan pada plot pertama. Namun pembunuhan pada plot pertama masih sebatas rencana, sedangkan korban yang dibicarakan pada plot kedua ternyata adalah Gaspar sendiri.
Tapi, pengecohan adalah hal biasa dalam cerita detektif. Plot kedua dibangun dari adegan wawancara oleh polisi yang disebut Tuan Maju Kena Mundur Kena. Rekannya sempat meledek dengan mengatakan bahwa kematian itu bukan disebabkan pembunuhan, namun ia bersikeras bahwa kematian Gaspar adalah sebuah pembunuhan dan Ibu Tati adalah pembunuhnya. Berdasarkan keterangan-keterangan yang ada, Gaspar mati di rumahnya sendiri karena dekstrokardianya kumat setelah “cek ombak” ke toko emas Wan Ali. Sebagaimana diisyaratkan bagian wawancara terakhir, mayatnya kemungkinan besar ditemukan dalam keadaan biasa saja oleh Ibu Tati dan Pongo. Maksud “dalam keadaan biasa saja” adalah bukan dalam keadaan yang memicu perhatian orang banyak apalagi memicu kedatangan polisi. Pertanyaannya adalah bagaimana bisa sampai polisi turun tangan mengurusi kematian Gaspar?
Plot kedua berfungsi penting bagi keseluruhan cerita. Di situ ada keterangan tentang Gaspar dari sudut pandang lain. Misalnya, informasi yang hanya secuil dan samar dinyatakan oleh Gaspar disajikan lebih rinci di situ. Tapi, jika keberadaan plot itu tidak jelas juntrungannya, kadar kebolehjadiannya anjlok. Seperti kata Gaspar, kita akan selalu menemukan pembenaran terhadap apa pun, lubang ini mungkin saja ditambal dengan pelbagai macam hal.
Bisa jadi penjelasan tentang campur tangan polisi itu dijelaskan pada 14 bab yang tidak disertakan Arthur Harahap dalam naskah ini. Bisa jadi polisi terlibat karena campur tangan Budi Alazon II yang mendatangi rumah Gaspar setelah dia tidak menepati janjinya untuk datang ke konser. Bisa jadi logika cerita dalam buku ini memungkinkan polisi untuk ikut campur dalam kematian macam itu. Dan serangkaian “bisa jadi” lainnya. Ya, sebagaimana diisyaratkan perkataan Yadi setelah mendengar kisah Tak Ada Misteri di Rumah Kosong, ketika sesuatu hilang –dalam hal ini, tidak ada— justru kita jadi bebas membayangkannya.
Saya jadi teringat dengan jawaban Pingi saat Tuan Maju Kena Mundur Kena terheran-heran dengan kepercayaan Pingi atas cerita Wan Ali yang mungkin saja dibuat-buat. Katanya, “Tapi, selama ceritanya disampaikan dengan menarik, saya tidak peduli”. Memang terdapat lubang plot dalam buku ini. Tapi, unsur-unsur lain membuat penyampaian buku ini menarik sehingga saya tidak peduli dengan lubang plot itu. Saya yakin banyak pembaca lain juga begitu.
Hal kedua yang menjadi perhatian dalam kisah ini adalah pola cerita detektif. Adegan wawancara dan sosok polisi yang kurang becus setidaknya merupakan dua unsur konvensional cerita detektif yang dikisahkan dalam buku ini. Selebihnya, banyak hal-hal yang berkaitan dengan cerita detektif diejek atau bahkan dijungkirbalikkan. Judul-judul serial Trio Detektif dijadikan semacam daftar kriteria kelayakan seseorang untuk jadi detektif. Penalaran deduktif Holmes yang seolah merupakan kepastian satu-satunya diejek karena sebenarnya ada banyak kemungkinan lain dari bukti-bukti yang didapatkannya. Unsur misteri dalam cerita detektif diejek dengan cara membahas suatu karya fiktif dari penulis fiktif favorit Gaspar dan Sabda Armandio, Arthur Harahap: Tak Ada Misteri di Rumah Kosong.
Karya fiktif itu sendiri merupakan salah satu cara Gaspar meredefinisi peran detektif dalam suatu cerita
detektif. Dalam konvensinya, tokoh detektif selalu dicitrakan sebagai tokoh agung penegak kebenaran dan penghakim para penjahat. Tokoh detektif menjadi seorang juru selamat yang mengatasi kebingungan dalam cerita dan kebingungan pembaca. Padahal tokoh detektif baru jadi kelihatan hebat kalau pengarang membuat-buat suatu kejadian hebat. Lewat paparan tentang Tak Ada Misteri di Rumah Kosong dan ucapan Gaspar, Dio ingin menempatkan detektif sekadar tokoh penguak rahasia dan pencari informasi belaka, tanpa perlu dikait-kaitkan dengan persoalan baik dan jahat.
Pada titik inilah tampak kaitan antara dekonstruksi cerita detektif dan topik yang diajukan buku ini. Cerita detektif yang, menurut Gaspar, menyederhanakan pengertian baik dan jahat dijungkirbalikkan sebagai bentuk pernyataan bahwa buku ini berniat untuk mendobrak pengertian baik dan jahat ala cerita detektif. Pemilihan tokoh dengan tingkah laku yang sering diasosiasikan dengan pengertian jahat juga merupakan bagian dari maksud tersebut. Lihatlah Gaspar: dia mengakui dirinya kejam, bersikap masa bodoh saat pacarnya hamil duluan, dan berniat merampok. Kurang jahat apa lagi? Tapi, lewat uraian kisah perampokannya itu, kita kemudian bisa bersimpati pada motifnya. Dia ingin menguak kekejaman Wan Ali: menikahkan anak di bawah umur. Katakanlah, ada semacam sisi baik dalam diri Gaspar. Di dalam yang jahat masih terdapat kebaikan. Dengan demikian, batasan antara baik dan jahat itu samar.
Sayangnya, jika memang buku ini ingin mengajukan paradigma tersebut, ada satu tokoh yang terlewatkan yaitu Wan Ali. Ia digambarkan hanya memiliki sisi jahat. Tadi sudah disebutkan bahwa salah satu kejahatannya adalah menikahkan anak di bawah umur. Kejahatannya yang lain adalah mengambil keuntungan dari puing-puing kerusuhan 1998 dan menggelapkan kematian Bachtiar S. Abdillah. Dia suka memaksakan kebenarannya, seperti pada saat dia bersikeras bahwa langkah kuda dalam catur adalah “S”, bukan “L”, dan menganggap langkah “L” adalah konspirasi kaum liberal. Yadi dan Tati S. Abdillah tidak menyukainya. Seakan tidak ada satu pun kebaikan dalam diri Wan Ali. Ternyata ada juga yang jahat hanya jahat, tidak berisi yang baik sama sekali. Meskipun demikian, pernyataan “batasan antara baik dan jahat itu samar” tidak menjadi batal. Malahan pernyataan itu dikembangkan menjadi “batasan antara baik dan jahat itu bergantung pada kedudukan seseorang dalam suatu masalah.” Dalam kasus ini, Gaspar, atau lebih tepatnya Dio, berada di kubu yang bertentangan dengan orang-orang semacam Wan Ali. Maka dari itu wajar apabila tidak ada sedikit pun kebaikan dalam diri Wan Ali.
Lebih lanjut, buku ini mengatakan bahwa memaksakan kebenaran adalah watak yang dimiliki semua orang. Selain Wan Ali, Tati S. Abdillah adalah contohnya. Dia tidak mau menerima kenyataan bahwa suaminya telah meninggal sehingga dia selalu bersikap seolah suaminya belum meninggal, suatu sikap yang kelihatannya sudah mencapai suatu taraf ketidakwarasan. Anaknya sampai minggat karena tidak tahan dengan sikapnya itu. Gaspar sendiri berwatak demikian, bahkan sampai pada taraf ekstrim. Budi Alazon adalah persona ciptaannya yang akhirnya dipercayai kebenarannya oleh banyak orang sampai-sampai ada fans beratnya. Dia menciptakan suatu mitos tentang dirinya, sebagaimana tampak juga pada bab 1, dan tentang Cortazar sehingga terkesan angker dan berbahaya. Agnes pun akhirnya termakan omongannya sehingga mengira Cortazar benar-benar dirasuki Jin Citah, padahal saat itu Gaspar sudah mementahkan mitosnya tentang Cortazar dan mengira Agnes gila karena bicara dengan motor. Dia pun mereka sosok Babaji sehingga terkesan seperti sosok yang memang ada dan berperan penting bagi hidupnya.
Terlepas dari itu, berbeda dari Wan Ali dan Tati, Gaspar piawai bercerita. Inilah juga yang menjadi penekanan dalam buku ini. Cara penyampaian yang menarik akan membuat pendengar atau pembaca memasabodohkan benar atau bohongnya suatu cerita. Kemampuan bercerita menjadi suatu kemampuan penting untuk bertahan hidup. Maka tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa barangsiapa yang piawai bercerita, dialah yang mampu menguasai kebenaran.