Wawancara

Teddy, Maesy dan Dunia Literasi

Menurut saya Teddy dan Maesy bisa dikatakan pasangan romantis. Mereka memiliki satu kegemaran yang membuat sebagian orang mungkin iri dan termotivasi melakukan hal serupa. Kegemaran Teddy dan Maesy tidak sembarangan. Mungkin sebagian orang  menilai bahwa itu adalah kegiatan membosankan, jauh dari romantisme sepasang kekasih. Ya, mereka membaca buku, berdiskusi mengenai karya-karya sastra, dan menulis bersama.

Teddy dan Maesy pada akhirnya menciptakan sebuah buku kolaborasi mengenai perjalanan dan kisah mereka berdua. Mereka juga mendirikan POST, sebuah toko buku di sebuah pasar. Dikutip dari sebuah artikel di laman kompas.com yang dimuat pada tanggal 18 Oktober 2016 dengan judul Melepas Penat dengan “Travelling, Teddy dan Maesy sudah mulai menulis kisah-kisah perjalanan mereka sejak tahun 2009. Saat itu Maesy mendapat beasiswa pendidikan ke Belanda. Di sela-sela waktu kuliahnya, Maesy mengunjungi sejumlah negara di Eropa, seperti Perancis, Ceko, Portugal, dan Belgia. Sedangkan di tanah air, Teddy juga menikmati perjalanan keliling Indonesia. Dia telah mengunjungi berbagai daerah, di antaranya Merauke, Papua, Sumatera Barat dan sebagainya. Sembari menjaga hubungan jarak jauh, Teddy dan Maesy saling mengirimi cerita. Cerita mereka itu pada akhirnya diterbitkan menjadi buku yang berjudul The Dusty Sneakers, Kisah Kawan di Ujung Sana.

Dari kisah di atas, tampak bahwa Teddy dan Maesy memiliki caranya sendiri dalam menjaga hubungan yang dipisahkan oleh jarak. Teddy dan Maesy tetap menjadikan kegemaran mereka sebagai panah Cupid ketika ia menusuk jarinya sendiri saat melihat Psikhe. Bagaimana hubungan Teddy, Maesy, dan dunia literasi sampai hari ini? Berikut sedikit hasil wawancara saya dengan mereka berdua di toko buku mungilnya di Pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Sejak kapan Teddy dan Maesy mencintai buku dan gemar menulis? Apa alasannya?

Maesy: Aku baca buku dari kecil banget, kayanya dari usia tiga tahun. Pokoknya aku ga punya memori di mana aku ga suka sama buku sih, dari kecil banget aku suka. Kayaknya mainan pertamaku itu buku. Yang paling aku inget, ya standarlah yah, buku cerita Alkitab bergambar, karena aku Katolik. Bahkan aku ingat punya dua buku tentang itu dan aku bandingkan Yesusnya yang paling ganteng yang mana. Hehehe. Terus hal lain yang aku ingat, spesial buat aku, ketika selalu diajak sama ibuku ke toko Gunung Agung di daerah Kwitang. Karena toko itu kan tinggi banget, empat lantai dan dulu section buku anak-anaknya gede banget. Terus di bawah toko ada AW dan di sana ada perosotannya. Saat itu aku lebih suka ngambil buku-buku Donald Bebek, misalnya Kwik Kwek Kwak Pergi ke Sekolah. Habis itu selalu mampir ke AW, makan ayam, minum milkshake terus main perosotan gitu.

Nulis pun kayaknya dari kecil juga, waktu aku SD. Kalau ga salah kelas satu atau dua gitu. Jadi waktu itu aku punya bisnis kecil-kecilan. Aku bikin judul cerita-cerita, misalnya Teko Ajaib. Setelah bikin judul, terus aku keliling ke teman-teman buat nawarin, ada yang mau cerita ga? Nih pilih judulnya habis itu bayar aku lima ratus. Terus aku bikinin ceritanya. Hahaha. Jadi kayanya nulis itu memang hal yang agak biasa dari kecil. Terus sejak SMP mulai merasa nulis itu hal yang menyenangkan, tapi aku mulai ga mau dibaca orang. Saat itu SMP sampai SMA aku nulis FanFiction Harry Potter hanya menggunakan nama usher di fanfiction.net. Kalau nulis yang untuk publik sih sejak kuliah.

Teddy: Aku juga dari kecil, dari waktu belum bisa baca. Itu interaksi pertamaku dengan buku. Waktu itu aku tinggal di Desa Tejakula, Bali Utara. Di sana ga ada toko buku, di kota terdekat pun juga ga ada. Jadi nenekku suka bawain  buku wayang bergambar karya R. A. Kosasih; Mahabharata, Baratayuda, Pandawa Seda dsb dari Denpasar. Aku dipangku dan dibacain sama nenekku. Kemudian pas mulai bisa baca, aku mulai suka baca fabel-fabel dan The Famous Five. Tapi, ada satu yang paling aku suka, buku Winnetou-nya Karl May. Itu novel sih, pelan-pelan aku baca karena di sela-selanya ada gambar.

Sementara kalau menulis, dulu aku ga begitu sering. Beberapa kali nulis-nulis buat sendiri aja di jaman kuliah. Waktu itu gara-gara menjadi wartawan kampus, jadinya aku menulis sampai sekarang. Kalau untuk publik atau beneran nulis sih sejak 2009 di blog (thedustysneakers.com), itu pun berdua sama Maesy. Jadi, waktu itu kami long distance, Maesy pergi ke Belanda dan kami ingin memiliki sesuatu yang kami kerjakan bersama. Pilihan kami adalah menulis.

Apakah kalian dipertemukan oleh buku? Boleh tahu sedikit kalau memang kisah tersebut romantis? Dimana dan bagaimana?

Maesy: Nggak sih, tepatnya lewat debat berbahasa Inggris. Kami berdua competitive debaters. Jadi kami kan dari kampus yang berbeda. Nah, kebetulan kampus kami ini  memang sering ada dalam satu arena debat kompetitif. Tapi waktu itu (2003), Teddy lebih tua empat tahun dariku, jadi aku baru masuk kuliah dan Teddy sebetulnya sudah lulus. Awal mula kami bertemu, sebenarnya saat aku menjadi salah satu mahasiswa yang berkompetisi di suatu acara perdebatan, kemudian Teddy menjadi jurinya. Mulai hari itu kami berkenalan dan kemudian berteman. Bahkan pernah suatu waktu kami bertemu di arena debat kompetitif, waktu itu aku pernah mengikuti kejuaraan tingkat dunia dan di sana secara kebetulan aku bertemu dia lagi. Saat itu kami menjadi kompetitor, aku menang dan Teddy kalah. Yeay!

Teddy: Kalau yang berhubungan dengan buku, mungkin saat aku pertama kali memberikan Maesy hadiah. Hadiah pertamaku untuk Maesy adalah buku Schopenhauer’s Porcupines. Itu saat Maesy ulang tahun. Ya jurus menjurus PDKT sedikit lah. Hehe

Bagi sebagian orang, kegiatan yang umumnya dilakukan sepasang kekasih adalah makan di restoran, pergi ke mall, nonton bersama. Mengapa kalian memilih untuk menghabiskan waktu berdua dengan kegiatan membaca buku atau pun menulis? Bukankah itu membosankan?

Teddy & Maesy: Kami juga pergi ke mall. Kami juga nonton. Kami juga ke restoran. Kami juga bertengkar. Haha. Walaupun lebih senang dan sering membaca. Mungkin hampir setiap hari kami membaca. Biasanya sebelum berangkat ke kantor pukul 09.00. Sejak pukul 06.00 kami sudah bangun untuk sarapan dan membaca. Kadang-kadang di teras rumah, kadang juga di coffeeshop terdekat. Ya, mumpung letak kantor kami dekat dengan rumah, jadi kami luangkan waktu untuk kegiatan itu. Kegiatan membaca tidak membosankan sama sekali bagi kami karena kami memang senang. Ibarat orang butuh makan, kami ini butuh baca juga. Hahaha.

Adakah tokoh-tokoh di dalam novel yang membuat kisah Teddy dan Maesy seromantis ini: ‘Bagaimana sepasang kekasih mencintai buku dan dunia kepenulisan’?

Teddy & Maesy: Untuk tokoh di dalam novel dan sesuatu yang berhubungan dengan hubungan kami berdua sih tidak ada. Tapi kalau yang berkaitan dengan buku-buku, kami paling suka dengan George Whitman pemilik Shakespeare and Company, Dominic Jason Ward yang sudah melewati belasan tahun dengan Infinity Books, juga Arpita Das dengan Yodakin. Orang-orang yang cinta buku macam mereka selalu menyenangkan untuk diikuti ceritanya, hubungan mereka dengan buku dan lain-lain. Cerita mereka semua membuat kami semangat, mungkin tidak menjadikan kami ingin seperti mereka, tetapi kami mengerti bahwa orang-orang seperti mereka adalah pekerja keras. Bagaimana mereka sebagai pengelola buku-buku independen memulainya dari nol.

Ketika bertandang ke POST, aku kerap memperhatikan kalian. Kesimpulan yang aku dapat, Teddy lebih condong sering menulis, sedang Maesy lebih ke pembaca yang rakus. Benarkah asumsiku tersebut? Maaf kalau salah ya.

Maesy: Untuk menulis dalam hal-hal yang dipublikasikan memang Teddy lebih produktif. Karena aku hanya menulis untuk pekerjaan saja. Jadi ketika sedang tidak bekerja aku memang hanya memilih kapan menulis dan kadang-kadang tulisannya tidak aku publikasikan. Tapi, sebetulnya kami sudah banyak berkolaborasi untuk tulisan, misalnya saat menulis artikel untuk Pindai atau artikel tentang George Whitman. Tergantung medium bahasa juga. Biasanya kalau berbahasa Indonesia, Teddy penulisnya. Namun argumen dan angle, semua disusun berdua.

Teddy: Maesy memang lebih banyak membaca dariku. Mungkin karena Maesy punya kemampuan membaca lebih cepat ketimbang aku. Kalau untuk menulis sebenernya sama. Jadi kami itu kan punya catatan-catatan bersama. Nah, Maesy sebetulnya yang lebih rajin dan observate dalam menulis catatan tersebut. Bahkan aku kerap terinspirasi dari catatan-catatan kecil Maesy.

Kudengar, setelah The Dusty Sneakers, Kisah Kawan di Ujung Sana, kalian sedang menyiapkan sebuah novela kolaborasi? Bolehkah aku mengetahui progress dan sedikit bocoran terkait itu?

Teddy & Maesy: Ternyata menulis itu susah, dan membaca banyak karya-karya bagus itu membuat kami terintimidasi. Haha. Secara progres, mungkin sudah 80%.  Semoga tahun ini naskah betul-betul selesai, jika terbit atau pun tidak kami tidak terlalu peduli.

Novela ini ceritanya sederhana. Kami sedang tertarik menulis sesuatu yang tidak terlalu dramatis. Ini tentang dua sepupu yang tumbuh besar bersama. Saat kecil mereka dekat sekali, akrab sekali. Namun menjelang dewasa mereka terpisah, memiliki kehidupan masing-masing. Dan pada suatu hari mereka bertemu kembali dan mengunjungi rumah masa kecilnya. Itu saja sih. Kesimpulan yang kami dapat adalah menulis fiksi itu ternyata susah banget. Kalau non-fiksi itu kan kami tahu apa yang terjadi, apa yang dilakukan oleh karakter-karakternya, mengapa mereka begitu, dan itu sudah benar adanya. Tinggal bagaimana menyampaikannya saja. Sedangkan fiksi kan kita harus bertanya-tanya apakah si tokoh ini bertindak A itu masuk akal, apakah dengan background-nya dia dan apa-apa yang terjadi maka tindakan-tindakannya itu masuk akal. Hal-hal semacam itu harus dipikirkan kembali secara matang. Nah, untuk menciptakan itu semua kami berkolaborasi dengan cara saling tanya jawab.

Boleh diceritakan sedikit mengapa tebersit ide mendirikan toko buku mungil kalian yang bernama POST?

Sebenarnya ide POST bukan sesuatu yang kami rencanakan lama. Ide itu muncul dalam satu malam. Waktu itu kami diundang ke Pasar Santa, tepatnya di lantai atas ini ketika SUB Store (tetangga kami) sedang mengadakan restocking party, mereka toko vinil. Nah terus kami diminta untuk menampilkan spoken word. Di acara itulah kami melihat pemandangan orang-orang asing mengobrol di tempat panas, banyak nyamuknya tapi terlihat menyenangkan. Rasanya seru juga jika kami ada di sana dan memiliki ruang publik alternatif yang menyenangkan. Sejak saat itulah keinginan kami membuat POST lahir. Karena sudah lama kami memiliki hubungan kuat dengan buku, akhirnya kami memesan satu tempat dan di tempat itu kami akan mengisinya dengan buku-buku, juga mempersilakan komunitas untuk saling sharing . Terlepas sejak lama kami sudah terinspirasi memiliki toko buku saat melihat Kineruku di Bandung. Saat itu kami menemukan cerpen Rumah Kopi Singa Tertawa karya Yusi Alvianto dan menyadari ada jagat buku independen di luar sana.

Terakhir. Selain kalian, pasangan yang memiliki hubungan kuat dengan buku, yang aku ketahui ada Mas Eka Kurniawan dan Ratih Kumala serta Irwan Bajang dan Anindra Saraswati. Bagaimana menurut Teddy dan Maesy terkait dua pasang suami istri tersebut?

Teddy & Maesy: Kalau untuk pribadi hubungan mereka mungkin bukan kapasitas kami membicarakannya. Akan tetapi untuk track record publik dan kaitannya dengan buku, kami selalu menghormati dan selalu terinspirasi. Kami selalu senang melihat pasanga yang melakukan apa yang sama-sama mereka cintai. Misalnya Bajang dan Yayas, mereka membuat Indie Book Corner dan sangat konsisten. Maksudnya kami hormat karena mereka merawat Indie Book Corner ibarat merawat bayi mereka sendiri, dari sejak kecil hingga besar dan konsisten. Sebab sekarang sangat gampang memiliki ide, bikin sesuatu, dikenal, namun tidak bertahan lama. Sama juga dengan Mas Eka dan Mbak Ratih, di luar hubungan pribadi mereka, kami sangat mengagumi konsistensi mereka dalam menulis. Dan orang-orang yang selalu konsisten di jalurnya sudah sepatutnya kami apresiasi. Selain kedua pasangan itu, ada pasangan Budi dan Rani Kineruku. Mereka kami sebut sebagai dua orang paling bahagia di Bandung.

 

Tentang Fadli Mubarok

Lahir di Jakarta 23 Sepetember 1993. Saat ini masih menempuh pendidikan di jurusan Sastra Indonesia Universitas Diponegoro. Memiliki impian foto selfie bersama Irwan Bajang

Related Posts

Tinggalkan Balasan