artikel, Resensi

Menapak Jejak; Menyeka Lara

Tapak Jejak - Fiersa Besari

Satu jam setelah Bung Fiersa Besari selesai menyanyikan lagu terakhirnya di malam itu, saya sudah termangu di sebuah tempat bernama Gereja Ganjuran. Letak gereja yang tidak terlalu jauh plus konser yang selesai pada awal tanggal 31 Agustus, sudah menjadi alasan yang cukup bagi saya untuk termangu.

Saya bukan penikmat lagu-lagu yang dinyanyikan Bung. Bahkan, selain Juara Kedua—lagu Bung yang saya kenal berkat ia—lagu lain milik Bung yang saya ketahui hanya April.

Lagu kedua inilah yang kemudian sukses membuat saya termangu begitu lama di halaman samping Gereja Ganjuran. Pikiran saya mengawang. Apa yang Bung sampaikan dalam lagunya ibarat noda tinta pada putih kemeja—lekat dan tak mudah luntur.

Bahkan saat kau memilih
Untuk meninggalkan aku
Tak pernah lelah menanti
Karena kuyakin kau akan kembali

Penggalan itu begitu tebal di kepala. Seolah, tanpa harus tahu apa dan mengapa, semua orang yang mendengarkan pasti tahu lagu itu pasti tahu bagaimana rasanya menjadi Bung—rasa patah yang sepatah-patahnya.

Saya—bukan, kita—rasanya tentu tahu bagaimana rasanya ketika sudah berjuang sekuat tenaga, melakukan segala yang kita bisa dan mampu upayakan untuk orang yang kita cinta, tapi malah berakhir dengan kedukaan. Menyakitkan. Sangat. Saya pun tengah merasakan hal yang hampir serupa.

Beberapa orang punya cara mereka masing-masing untuk bisa mengobati rasa sakit itu; mencoba menambal hal-hal yang gerowong di dalam dada; menggantikan posisi dari apa-apa saja yang telah hilang dan tak kembali. Dan Bung memilih untuk melakukan perjalanan.

Perjalanan Menyeka Lara

Tapak Jejak - Fiersa Besari

Tapak Jejak, sebagaimana yang ditulis dalam kata pembukanya merupakan seri lanjutan dari Arah Langkah—cerita yang memuat kisah-kisah perjalanan Bung dalam upaya menyeka lara di hatinya.

Banyak orang yang hatinya patah memilih untuk pergi, memilih melakukan sebuah perjalanan sebab mereka tahu ada sesuatu yang hilang dan tak kembali di dalam diri mereka. Pergi dijadikan sebuah pilihan sebab ia bisa menjelma obat paling mujarab untuk hati yang patah.

Bung pergi. Ia melakukan perjalanan ke timur Indonesia untuk menyeka lara di hatinya. Namun, alih-alih dimanjakan dengan suguhan cerita mengenai orang-orang yang ia temui di sepanjang perjalanan, keindahan alam timur Indonesia yang aduhai, atau romatisme tempat-tempat wisata sebagaimana yang jamak ditemui dalam buku-buku kisah perjalanan, Bung malah mengajak para pembacanya untuk bisa menyelami kehidupan pribadinya lewat kepingan-kepingan cerita yang ditulisnya. Sebab patah hati milik Bung, bagi saya, bukan hanya sekadar kepada pasangan, tetapi lebih dalam dari itu.

Lahir di keluarga yang bahagia, tumbuh di kota yang nyaman, lalu ditinggal sang kepala keluarga, berganti mempunyai bapak tiri, disusul dengan pindah tempat tinggal, terlibat penggunaan obat terlarang, merasa tidak dihargai oleh keluarga sendiri, nilai akademis yang berantakan, dan merasa tidak punya masa depan, adalah kepingan-kepingan patah yang menjadi alasan Bung untuk pergi dan melakukan perjalanan.

Dan sudah barang tentu ketika dalam perjalanan kita akan dipertemukan dengan hal-hal yang mengingatkan kita kepada hal yang ingin kita lupakan. Bung pun demikian. Tetapi bukankah itu adalah inti dari sebuah perjalanan? Untuk menemukan diri kita sendiri, untuk berhenti berlari, untuk menerima kenyataan, agar kita bisa pulang untuk melanjutkan hidup.

Saya menyadari hal ini ketika semakin dalam membaca cerita milik Bung, semakin menyelami bagaimana pertemuan-pertemuan dengan orang baik yang dilakoni Bung. Saya semakin sadar bahwa tujuan akhir dari sebuah perjalanan tidak lain adalah pulang.

Namun, tentunya hal ini bukanlah hal yang mudah dilakukan. Sebab, di antara keinginan melakukan perjalanan, menyeka lara di dalam dada, dan menunaikan impian, ada ego yang kemudian tumbuh perlahan.

Bung tahu benar. Hampir setiap kisah perjalanan yang ditulisnya selalu diawali dengan kisah petualangan yang begitu mengagumkan—begitu terdengar heroik—bagi beberapa orang baik yang ditemuinya. Kebanggaan sebab telah melakukan perjalanan panjang inilah yang kemudian melahirkan ego di dalam dirinya. Ego yang sempat menyelamurkan tujuan utama yang ingin direngkuh oleh Bung.

Beruntung, di tengah kegamangan yang Bung rasakan, ada orang-orang baik yang bersedia membantunya. Bung diingatkan kembali akan makna perjalanan yang dilakukannya, bahwa perjalanan yang ia lakukan bukanlah untuk membuktikan seberapa hebat dirinya, bukan pula tentang kalah dan menang, atau seberapa lama perjalanan itu dilakukan.

Perjalanan bukanlah tentang itu semua. Perjalanan adalah tentang seberapa banyak hikmah yang diambil selama melakukannya; seberapa banyak kita belajar darinya.

Pada akhirnya, perjalanan memang tidak akan pernah mengantarkan kita kepada kata lupa. Perjalanan tidak membuat hilang hal yang menyakitkan. Namun, perjalanan itu sanggup mengubah apa-apa yang hilang, apa-apa yang tak kembali, dan apa-apa yang menyakitkan menjadi sebuah utas senyum kebahagiaan.

Perjalanan membawa kita kepada kemampuan untuk memaafkan; kemampuan untuk mengikhlaskan.

Saya kembali menyeka air yang merembes di kedua mata. Dini hari di tanggal 31 Agustus ini, semua rasa marah, kecewa, cemburu yang saya rasakan larut dalam sebuah helaan napas. Di halaman Gereja Ganjuran, saya memaafkan apa-apa saja yang terjadi kepada diri saya, apa-apa saja yang hilang dan tak kembali, berkat cerita perjalanan yang dibawakan oleh Bung dalam Tapak Jejak.

Saya ingin bisa seperti Bung: berhenti berlari, terima kenyataan, lalu pulang untuk melanjutkan hidup. Saya ingin bisa seperti Bung yang mampu mengubah lara di hati menjadi royalti.

Wahyu N. Cahyo —penulis Tentang Teman Seperjalanan dan pencerita kisah-kisah yang tak pernah selesai diceritakan.

Related Posts

Tinggalkan Balasan