1. Apa yang menjadi pertimbangan Indonesia Tera ketika menerbitkan Hujan Menulis Ayam pada 2001?
Buku cerpen Sutardji kami terbitkan karena menganggap itu hal penting dan perlu diketahui masyarakat pembaca buku, terutama buku sastra.
Di generasi saya, tak ada yang tahu bahwa Tardji pernah menulis cerpen. Saya sendiri baru tahu itu dari Bang Tardji bahwa dia pernah menulis cerpen. Waktu itu kami sedang berkumpul di Warung Alex, di kompleks Taman Ismail marzuki [TIM]). Dari info yang dia sampaikan hanya sambil lalu itu, di sela-sela obrolan sana-sini dengan sastrawan lain, saya baru tahu kalau Bang Tardji pernah menulis cerpen. Bagaimana Tardji yang dikenal karena puisinya menulis cerpen adalah hal yang menarik untuk dilihat. Menarik bagi kalangan peneliti, akademisi, mahasiswa, dan pencinta sastra lainnya. Itulah sebabnya kami memutuskan untuk menerbitkannya.
Saat itu, ini sebuah keinginan yang tak mudah. Bagaimana menerbitkan kumpulan cerpen Sutardji jika barangnya saja tidak ada?
Ya, kami berjuang melacaknya ke sana-ke mari. Berusaha mencari dengan berbagi cara. Tetap nggak ada. Bahkan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin yang biasanya menjadi sumber penyimpanan bahan semacam itu, juga tidak ada. Kami akhirnya berhasil menemukan di Perpustakaan Nasional Jakarta. Seorang redaktur senior di penerbitan IT pun kami tugaskan melacak hal itu (kantor Indonesia Tera saat itu Magelang). Akhirnya, bisa terkumpul sembilan cerpen yang kemudian kami terbitkan sambil berharap semoga ada orang lain yang bisa menemukan cerpen lainnya sehingga bisa kami tambahkan di penerbitan kami berikutnya.
2. Bagaimana reaksi pembaca dan kalangan sastrawan ketika buku ini terbit saat itu, apalagi ini buku cerpen dari seorang yang dijuluki sebagai Presiden Penyair Indonesia?
Sambutannya bagus. Ini bisa dibaca dari tulisan di media tentang acara peluncuran buku itu di TIM Jakarta.
Betul, kemunculan SCB sebagai penulis cerpen mengangetkan banyak kalangan. Selama ini dia dikenal sebagai penyair, dan hanya sangat sedikit—untuk mengatakan hampir tak ada—yang tahu bahwa dia penulis cerpen, selain kalangan teman-teman dekat Sutardji sendiri.
SCB itu selama ini dikenal sebagai pendobrak, penyair liar. Orang jadi ingin tahu, bagaimana kalau dia menulis cerpen, seperti apa cerpen yang dihadirkannya.
3. Bagaimana Sutardji menanggapi ide penerbitan buku kumpulan cerpennya?
Ia mendukung dan memberi izin. Saya dengan Bang Tardji itu bersahabat, jadi Bang Tardji seperti percaya pada saya. Selain itu, dia juga mendukung penerbit sastra seperti Indonesia Tera. Untuk informasi, kami juga menerbitkan buku sastra SCB yang lain, yakni kumpulan tulisan dia yang juga tersebar di banyak media. Buku itu sejak awal kami rencanakan akan diberi judul Memo Sutardji, lalu belakangan ketika sudah terbit akhirnya berjudul Isyarat, Kumpulan Esai.
Selain butuh waktu untuk melacak dan mencari cerpen-cerpen Sutardji, kesulitan lain adalah SCB tak juga kunjung mengirimkan kata pengantarnya. Kami menunggu hal itu lama sekali. Setiap kali setiap kali saya ke Jakarta dan ketemu Bang Tardji di warung Alex itu, saya tanyakan terus. Dan dia bilang iya-iya, tetapi engga-engga juga.
4. Mengapa Hujan Menulis Ayam ini masih layak dibaca oleh pembaca sekarang?
Mengapa perlu membaca buku cerpen SCB karena memperkaya selera mereka tentang buku sastra dan tak hanya berhenti pada buku-buku yang hits di kalangan mereka saja, tetapi meluas ke buku-buku bermutu lain. Juga tentunya, kalau anak-anak muda membaca ini pengetahuan mereka tentang karya dari seseorang yang sebagai penyair, yang bahkan mendapat julukan Presiden penyair Indonesia, bertambah.
Tentang buku ini, Sutardji sendiri ( pada 2001) pernah mengatakan bahwa dia menulis cerpen sebelum Budi Darma muncul, sebelum Danarto dikenal. “Kalau sekarang karya-karya saya itu masih bisa dibaca, hingga 30 tahun kemudian seperti sekarang, itu artinya karya saya sudah menjadi karya “klasik”. Menurutnya, keberhasilan seorang pengarang, antara lain, bisa dilihat sejauh mana karyanya bisa menjadi karya-karya “klasik”.
5. Karena Sutardji terkenal sebagai penyair, lalu dia juga menulis cerpen, di mana letak kekuatan cerpen Sutardji?
Kekuatan Sutardji itu tampak dari kebebasannya dalam menulis. Ini, kan, sama dengan saat dia menulis puisi, bebas dan liar. Nah kalau tentang kebebasan Sutardji di cerpen, salah satunya, menurut saya, terlihat dari cerpennya yang berjudul “Tahi”. Ia seperti menguji ketahanan kita, mampu tidak kita membaca cerpen itu sampai selesai. Kayaknya, hanya Sutardji yang bisa dengan bebasnya menulis hal itu. Karya-karyanya memberi tantangan sekaligus sesuatu yang lebih dalam bagi jiwa kita sebagai pembaca.
Selain dari sisi tema, kebebasan itu juga tampak dari segi bahasa. Misalnya pada cerpen “Hujan”. Dengan bebas dan mengalir, Tardji menciptakan hujan yang puitis dan mistis, bukan hujan seperti yang kita kenal di dunia nyata itu. Ini salah satu kutipannya: … Kini, Ayesha telah memiliki buah dan mawar hujan. Sekarang ia telah sampai pada kematangan hujan. Jika tarinya membelai mawar hujan, hujanlah yang membelaikannya. Bila ia memetik musik hujan, hujanlah yang memetikkan…
Secara umum, cerpen-cerpennya asyik, sedap, kalau istilah dia. Cerpen-cerpen Sutardji itu sedap sesedap-sedapnya. Jadi, silakan baca biar tahu sedapnya seperti apa. ?