Cerpen, Kolom

Selasa Kliwon

“Ingat, jaga baik-baik bunga mawar itu agar tak ada sesuatu yang terjadi pada ayahmu nanti!”

Itu adalah pesan sekaligus peringatan yang paling kuingat dari ibu. Sekalipun aku belum pernah menyentuh satu-satunya bunga mawar di dekat jendela itu hingga batangnya patah entah karena apa kelak, tapi bukan berarti aku percaya pada kepercayaan aneh semacam itu. Aku juga ingat bagaimana ibu semasa hidupnya selalu melarangku agar jangan berpergian di hari Selasa Kliwon, sebab menurutnya itu adalah hari petaka bagi orang untuk berpergian.

“Kau akan mendapatkan musibah di jalan nanti, Nak. Berdiamlah di rumah!” katanya mendelik.

Andai saja hal itu benar, pikirku saat itu, lantas kenapa Selasa Kliwon tidak dijadikan sebagai hari libur nasional saja agar semua orang tak perlu celaka?

Ibu juga pernah melarangku telungkup sambil mengayunkan kaki ke atas. Katanya hal itu bisa membuat usia orangtua kita jadi pendek. “Kau mau ibu dan ayahmu cepat mati?” sergahnya tatkala aku masyuk mewarnai kertas gambarku. Dan masih banyak lagi segala macam aturan di rumah ini yang tak boleh kulakukan karena ibuku betapa percaya pada hal-hal aneh semacam itu.

Tetapi, dulu ibu sama sepertiku. Ibu sendiri yang mengatakan bila dulu dirinya pun sama sekali tak percaya pada hal-hal takhayul semacam itu. Dulu, kata ibu saat menemaniku tidur,  ibu termasuk anak perempuan yang tomboi dan betapa sulit diatur. Ia lebih sering bermain layaknya bocah laki-laki yang senang memanjat pohon atau berkejar-kejaran di antara hutan bambu atau bermain di sungai sambil menangkap ikan.

Ibuku merupakan satu-satunya anak dari tiga bersaudara yang paling tidak bisa mendengarkan nasihat nenekku. Dulu, nenekku betapa sering memarahi ibu setiap kali tak bersih menyapu rumah.

“Kalau begini terus cara menyapumu bisa-bisa kau dapat suami yang wajahnya penuh dengan bulu, Sri!”

“Biar saja. Nanti tinggal kucukur saja bulunya sampai habis, Bu,” sela ibuku yang lantas menyeringai sambil lalu. Dan percaya atau tidak, ayahku adalah seorang musisi yang wajahnya betapa dipenuhi janggut. Bahkan ia enggan mencukur janggutnya meski hanya seinci.

“Janggut ini adalah identitasku di panggung. Tanpa ini,” ujarnya sambil menarik janggutnya sendiri, “penampilanku kurang menjual dan tak sejalan dengan musikku.”

Ibu sudah meminta kepada ayah untuk mencukur janggutnya yang lebat nan menjuntai bagai akar bringin itu berulang kali, namun ayah selalu menolak. Bahkan ancaman dari ibu yang tak mau dicium dan dipeluk oleh ayah selama janggutnya dibiarkan terus begitu tak ada mempannya.

Sering juga nenek memarahi ibu tatkala ibu masih juga bermain di luar saat hari telah digulung malam. Nenek akan memanggil-manggil ibuku hingga urat lehernya menyembul bagai cacing yang terjebak di kulit kerutnya.

“Jangan bermain di luar saat maghrib, Sri! Kau bisa hilang diculik Wewe Gombel, tahu!”

“Tapi aku tidak takut setan, Bu,” kata ibu tak acuh.

Dan ibu terus mengulang kebiasaan itu sampai apa yang ditakutkan nenek benar adanya, tetapi bukan ibu yang hilang melainkan teman sepermainannya. Bocah laki-laki itu hilang di kala maghrib saat masyuk bermain di tepi sungai yang tersemai hutan bambu di sana-sini. Dan bocah itu baru diketahui hilang saat ibunya berusaha mencari keberadaannya selama hampir tiga jam tapi sia-sia. Ibu bocah itu lantas mendatangi tetangganya sambil terisak pilu.

Bocah laki-laki itu baru ditemukan satu minggu berselang di waktu maghrib oleh seorang warga yang melintasi tepi sungai saat hendak menuju surau. Orang itu mendapati si bocah tengah terbaring berteduhkan hutan bambu. Namun, bocah itu bagai lupa cara bicara semenjak ditemukan. Ia tak pernah bicara kecuali mengangguk atau menggeleng saat ditanya. Ia juga tak mau makan bila tak disuapi dan tak mau mandi bila tak dimandikan dan tatapan matanya betapa sering kosong. Dan ia selalu menjerit seorang diri sambil meringkuk atau bersembunyi di balik selimut setiap kali maghrib menjelang: tubuhnya gemeletar bagai betapa takut entah oleh apa.

Dan sejak mengetahui hal itu ibu tak pernah lagi membantah perkataan nenek.

Berbeda dengan ibu, sedari dulu ayah tak acuh pada hal-hal aneh atau takhayul semacam itu hingga kematian menjemputnya di suatu sore. Ayah hanya percaya bila skill gitarnya akan pudar bila tak pernah diasah di studio mini setiap pagi. Dan ayah selalu percaya bila penampilannya tidak akan bagus kecuali ia lebih dulu menenggak bir sebelum naik panggung. Ayah hanya percaya pada hal-hal semacam itu.

Ayah ibarat ibu sewaktu dulu. Ayah sangat keras kepala dan ibu betapa jengkel sebab harus memarahinya berulang kali. Ayah biasa bersiul di waktu senggang tak peduli siang atau malam, panas atau hujan, tapi ibu akan selalu mencerca ayah apabila ia bersiul di kala malam.

“Siulan itu tanda mengundang setan. Kalau banyak setan yang datang ke rumah kita gimana?”

“Setan lebih senang kemenyan daripada siulan, Sayang.”

∞∞∞

Hari-hari sebelum kabar kematian ayah sampai di telinga kami, ibu selalu menaruh perhatian lebihnya pada setangkai mawar merah yang ada di dekat jendela. Ibu selalu merawat mawar itu bagai anaknya sendiri. Dan perhatian ibu pada mawar itu kian menjadi-jadi setiap kali ayah tengah menjalani konser ke luar kota.

Mawar merah itu sebetulnya buah tangan ayah sepulang dari Bandung di penghujung tahun lalu. Entah kenapa kali itu lelaki rocker seperti ayah membawa mawar merah yang bahkan belum merekah bersama potnya sebagai buah tangan. Setahuku, ayah tak terlalu memiliki jiwa romantis seperti itu. Bahkan sekalipun membeli mawar merah barangkali semestinya kelopak mawar itu dicat menjadi hitam lebih dulu agar tetap terlihat ‘rocker’-nya.

Ayah sendiri yang meminta ibu untuk merawat bunga mawar itu, dan ibu pun bersedia merawatnya hingga merekah dan menjadi bunga mawar yang indah seperti yang pernah ayah kira: kelopaknya bertumpuk sedemikian simetris dan merahnya betapa menyala. Sejak itulah ayah mengatakan bila ia sangat menyukai mawar merah itu. Ibu sempat meledek ayah dengan berkata bahwa ayah adalah lelaki berangasan yang berhati feminim. Dan ayah tergelak mendengar itu.

Selagi ayah berada di Surabaya aku pernah bertanya kenapa ibu begitu merawat mawar itu. Sambil tersenyum dan memandangi mawar yang baru disemprotnya dengan air itu ibu berkata:

“Bila seseorang sudah sangat menyukai sebuah benda, secara tidak sadar orang itu dengan benda kesayangannya sudah memiliki keterikatan. Segala petanda tidak baik bisa datang dari benda kesayangannya, begitu juga sebaliknya. Karena itu ibu tidak mau kalau sampai ada hal buruk yang terjadi pada ayahmu nanti karena ibu tak merawat bunga ini.”

Aku mendengarnya dengan seksama, namun tak serta-merta meyakininya. Sebab yang kutahu, guru agamaku pernah berkata bahwa kita tidak boleh percaya pada hal-hal takhayul atau mitos semacam itu. Dan aku pun pernah menyampaikan hal itu kepada ibu meski kemudian ibu hanya menjawab, “Kau tak akan percaya sebelum hal itu menimpamu langsung.”

∞∞∞

Kabar kematian ayah kudapati kali pertama melalui berita di televisi. Bus berlogo band ayah dikabarkan mengalami kecelakaan tunggal saat dalam perjalanan kembali dari Malang. Bus ayah keluar jalur dan terperosok ke jurang sedalam 20 meter dan ayah dikabarkan sebagai salah satu korban yang meninggal di tempat. Saat itu kudapati ibu betapa terpukul ketika pertama kali mendapati kabar kematian ayah dari berita di televisi.

Ibu terisak sejadi-jadinya di dalam kamar. Rintihannya betapa lirih sampai-sampai langit pun turut menangis dibuatnya. Aku tahu akan percuma bila saat itu berusaha menenangkan ibu, sebab bagaimanapun pedihnya kehilangan hanya bisa dibuang lewat air mata. Rasa kehilangan itu akan turut larut dan sirna pada setiap tetesan air mata yang jatuh.

Aku meninggalkan ibu yang masih tenggelam dalam pilunya seorang diri di kamar. Dan sesaat setelah aku menutup pintu serta-merta kakiku kebas. Tubuhku tak bisa bergerak seiring dengan mataku yang tak sengaja menatap ke jendela. Kulihat bunga mawar yang selama ini dirawat ibu telah patah entah oleh apa. Batangnya patah sehingga bunganya menjuntai ke bawah. Dan tak lama dari dalam kamar kudengar ibu menyesali sesuatu.

“Sudah kukatakan untuk jangan pulang dulu,” keluh ibu sesenggukan. Suaranya betapa parau terdengar. “Sudah kukatakan lebih baik menginap saja dulu. Kenapa kau tak pernah mendengarkanku…,” napas ibu memburu. “Ini… ini… ini hari Selasa. Selasa Kliwon, kan? Sudah kubilang ini Selasa Kliwon!”

Tubuhku bagai bergerak sendirinya setelah aku mendengar ucapan ibu. Aku mendekati kalender yang menempel di dinding—kuamati hari ini pada kalender itu yang juga menyertakan weton Jawa. Kubaca lamat-lamat sebuah tulisan kecil berwarna merah di bawah tanggal tepat di hari Selasa ini: Kliwon. Aku tersekat. Ini hanya kebetulan, pikirku menguatkan keyakinanku sendiri. Aku masih belum mau percaya.

Aku benar-benar tak ingin percaya sampai waktu terus berlalu dan aku mulai lupa pada semua keyakinan takhayul ibu. Hingga delapan tahun kelak aku meminta ibu untuk datang ke Jogja. Selepas lulus kuliah dua tahun lalu aku memang sudah menetapkan pilihan untuk bekerja dan tinggal di Kota Gudeg ini.

Saat itu aku benar-benar harus membujuk ibu agar mau terbang ke Jogja secepatnya. Sialnya, ibu gagal terbang sebab di hari keberangkatannya asap tebal akibat pembalakan liar di daerah Jawa Tengah telah menyelubungi jalur penerbangan menuju Jogja. Hal itu membuat maskapai yang ibu tumpangi terpaksa menunda keberangkatan. Dan untung saja esoknya aku mendapati kabar bahwa seluruh maskapai telah membuka kembali penerbangan ke wilayah Jawa Tengah. Namun lantaran jadwal penerbangannya diundur dari jadwal sebelumnya itu membuat ibu tak bersedia lagi berangkat.

“Tapi besok hari penting buatku, Bu. Aku tak ingin rencana lamaran ini gagal,” pintaku agak memaksa ibu. Kupikir, bagaimanapun lamaran ini harus segera dilangsungkan dan tak boleh ditunda-tunda lagi sebab keluarga kekasihku pun telah lama menanti. Dan sehabis mendengar aku betapa memohon dan meminta akhirnya ibu sudi juga mengambil jadwal penerbangan esok harinya.

Namun, aku tak tahu bila itu terakhir kalinya aku meminta sesuatu kepada ibu. Sebab pesawat yang ditumpangi ibu sekonyong-konyong hilang kontak tak lama setelah memasuki langit Jawa Tengah. Kudapati kabar bahwa pesawat itu menghantam sebuah gunung dan beberapa saksi mata di sekitar lokasi menyebutkan pesawat itu hancur berkeping-keping. Hanya ada suara gemuruh dan asap hitam pekat yang tampak di kejauhan.

Aku tersekat mendapati kabar itu di depan layar televisi. Dadaku terasa sesak. Tak kusadari buliran bening terbit di sudut mata. Dalam kehilangan, mataku sempat mengerling pada kalender duduk yang bercokol di samping televisi. Tubuhku beringsut mendekatinya. Lalu mataku lekat menatap tepat di tanggal ini, tepat di hari ini: Selasa. Lantas kudapati sebuah keterangan bertinta merah di bawahnya yang membuat tubuhku kaku. Keterangan itu bertuliskan: Kliwon.

Harusnya aku tahu kenapa ibu tak mau pergi hari ini. ***

Bekasi, 15 Mei 2017

Rahardian Shandy, lahir di Wonogiri 1991 silam, telah menulis fiksi sejak 2011. Beberapa cerpennya telah dibukukan. Buku fiksi terbarunya, yaitu Mariana (Indiebook, 2016).

Temui ia di Twitter: @shandyrahardian & Facebook: Rahardian Shandy.

Related Posts

Tinggalkan Balasan