Puisi

REPORTASE JALAN BRAGA

 

Entah mengapa, kota yang berantakan

bagai kenangan

tampak selalu lebih damai

sehabis hujan.

 

1

Aku melihat Braga dari jendela sebuah bar tua.

Orang-orang berjejalan

memenuhi trotoar dan badan jalanan.

Toko-toko memulai diskon akhir tahun.

Desember melenggang

dengan gaun hitamnya yang anggun.

 

Di dalam bar

aku dengar gema sebuah lagu pop

bersayatan.

Beberapa pengunjung datang

memesan bir dan goreng kentang.

 

“Hello from the other side…”

 

Sedang di luar

Poster pop-art Sang Proklamator

dengan mulut terbuka dan telunjuk

teracung ke cakrawala

tak menghardik apa-apa.

Tak menggetarkan siapa-siapa.

 

Senja dan rokok kretekku hampir habis

menyisakan sedikit cahaya.

Tapi sekelam apa pun kegelapan

sayap-sayapnya tak kan bisa

melingkupi Jalan Braga.

 

Lalu jerit peluit dan rengek klakson

kudengar hingar pada mulut bisu

Jalan Kejaksaan.

Sebuah cagar budaya baru dipugar

di depannya, lukisan-lukisan Jelekongan

penawar gundah pengagum masa silam

tampak seragam dan menyedihkan.

 

Sebuah pesan singkat masuk ke dalam handphoneku.

Sayang, bukan darimu.

 

 

2

Sulit untuk tidak mengenang jalan ini sebagai pesolek.

Orang-orang, dengan pakaian necis

dan tampang seriang walikota

pikiran begitu liris takjub pada brosur pariwisata

tersenyum manis sekaligus nakal

menentang kamera.

Say ciiis!

 

Kupanggil sebuah kenangan

tak jauh dari perempatan Braga-Naripan.

Lantas seorang lelaki paruh baya

dengan rambut klimis dan kumis keabuan, datang

menenteng menu makan awal tahun dua puluhan.

 

(Tak ada yang dipahami lidah masa kanak kita, tampaknya

meski kita merasa telah cukup layak jadi bagian dari mereka, sebenarnya).

 

Tentu aku tak dapat mengutuk kemewahan apa pun di sini.

Hanya duduk, termangu, membiarkan segala sesuatu

mengetuk pintu sajakku.

 

Hingga saat kuterka makna keramaian:

lantai dan dinding bar, asbak dan poster iklan

gema lagu, ingatan yang meluap karenamu

detak jam dan lampu temaram

bahkan deretan kursi dan pepohonan

 

melolong ngeri

bergantian.

 

Batu-batu andesit

berkilat

kuyup dalam siraman cahaya merah

penghabisan.

 

Jalan tua ini, Sayang, pandai nian menyembunyikan

segala yang bagi kita dan dirinya

menyakitkan.

 

 

3

Kini aku mencoba berdamai dengan diriku sendiri.

Kembali mengisap kretek dalam-dalam

memesan minuman dingin menyegarkan

mencuri kebahagiaan orang-orang

yang sepanjang jalan bergandengan.

 

Sebuah pesan singkat masuk dari nomormu.

Hangat dan kasmaran.

Tapi tak dapat kuberi balasan apa pun sekarang.

Jalanan tengah merampas

seluruh kata dan perumpamaan.

Kasih dan kesunyian.

Suara tua kemanusiaan.

 

Sedang nasib baik yang dijanjikan

amblas

bahkan jauh sebelum terlindas

lagu liar modernitas.

 

 

4

Aku percaya sejumlah penyair dan pakar sejarah

pernah menghabiskan banyak waktu di sini.

Menebalkan keyakinan

bahwa masa lalu lebih gemilang

bahkan ketimbang gagasan-gagasan kontemporer

yang cemerlang.

 

(Lalu derak pedati pengangkut kopi melintas pelan di sepanjang ini.

Lalu pertunjukan tonil dipentaskan tuan dan noni 

pada sebuah gedung di penghujung jalan ini—Sociëteit Concordia. 1985).

 

Aku percaya sejumlah turis lokal dan mancanegara

akan terpana menatap gedung demi gedung tua

tetap terawat bahkan tanpa kehadiran manusia di dalamnya.

 

Tapi tukang parkir, copet, pengamen jalanan

warga sekitar—golongan yang bakal lebih kau kenang

sebagai gelandangan—tentu bukan kabar baik

bagi kisah-kisah perjalanan yang menyenangkan.

 

“Tidak perlu melankoli,” pesanmu, “Selama ada Braga

dengan atau tanpa manusia

kesedihan tak akan pernah jadi kesedihan

selamanya…”

 

 

2015-2017

Tentang Zulkifli

Zulkifli Songyanan, lahir di Tasikmalaya 02 Juni 1990. Alumni Program Studi Manajemen Pemasaran Pariwisata, Universitas Pendidikan Indonesia. Kumpulan puisi pertamanya, Kartu Pos dari Banda Neira, diterbitkan penerbit Gambang Buku Budaya (Yogyakarta) akhir tahun 2016.

Related Posts

Tinggalkan Balasan