Puisi Untuk Budi
Untuk Budi yang terbebani dengan maskulinitas
Tarik nafas
Menjadi laki-laki bukan hanya soal mengangkat berat
Untuk Budi yang terganggu dengan iklan televisi
Jangan sangsi
Ideal kaum Adam bukan hanya perkara dollar atau ferrari
Untuk Budi yang juga mengutuk patriarki
Jangan cepat marah
Biar Siti bantu memangku beban
Tapi jangan lihat Siti hanya dari lekuk badan
Untuk Budi yang sedang kesepian
Nikmati
Ada waktunya Siti menghampiri
Membawa jiwa juga hati
Namanya Alicia
Alicia berkaca
Pipinya kurang berwarna
Ditambahnya perona
Siapa tahu bertemu jodoh di kereta
Alicia berangkat ke tempat kerja
Sepatu tinggi dipakainya
Pegal tak apa
Yang penting dilirik dari atas sampai bawah
Alicia mengetik laporan kerja
Tak ada waktu untuk berkaca
Ia serahkan pada Tuhan yang Mahakuasa
Semoga tidak ada cabai merah di giginya
Alicia menyerah
Pulang kerja menyetel ganteng-ganteng serigala
Bermimpi akan pria idamannya
Menaiki Ninja sambil membawa bunga ke rumah
Alicia tertidur
Mimpinya indah
Wajahnya lebih indah
Tak ada perona
Hanya senyum tersungging di bibirnya
Diskusi Raina Kecil & Raina Besar
A: Apa yang lebih panas dari matahari?
B: Sepi.
A: Apa yang lebih dingin dari batu es yg kuhisap tadi?
B: Sepi.
A: Apa yang lebih harum dari bunga melati?
B: Sepi.
A: Aku bosan. Sepi lagi, sepi lagi. Apa yang lebih seru dibanding sepi?
B: Bahkan sepi itu sendiri. Sepi dapat menciptakan bait demi bait menjadi sebuah puisi, kata demi kata yang ditulis menjadi lirik lagu oleh kekasih. Tapi bisa juga membuat manusia ingin mati dan kembali kepada ilahi.
Mau tau yang lebih hebat lagi?
A: Apa?!
B: Kamu diciptakan dari sepi.
A: Bukannya aku keluar dari rahim ibu?
B: Sembilan bulan sebelumnya kamu dibuahi oleh sepi bapak dan ibumu
Perempuan itu
Perempuan itu mati rasa
Sialan
Tiba-tiba menjadi ada bukan pilihannya
Ditelan bumi atau langit sekalian saja
Atas nama moralitas dan agama
Mereka lupa dan terus lupa
Tak sudi untuk kembali membuka ingatan lama
Jadilah perempuan itu hanya kumpulan repetisi murka
Murka
Murka
Murka
Murga
Surga
Kamu di mana
N…ur?
Aku menemuinya di hotel untuk kesekian kali. Ia bukan pelanggan biasa, tapi bukan karena kaya raya. Ia membuat jantungku terpacu bukan hanya karena nafsu, jiwaku terasa diajak bercinta. Biasanya sehabis transaksi, mereka langsung pergi. Tapi ia tidak, ia menyeduh kopi untuk dinikmati berdua. Kopi hitam tanpa gula di pagi hari membuat kami berdua kembali bercinta. Yang kali itu tidak masuk hitungan, kuberikan cuma-cuma. Lalu kami berbicara tentang berita pagi di televisi, segera kutahu ia bukan cuma pintar di ranjang. Pantas saja ternyata lulusan S2, sedangkan aku hanya lulusan kehidupan dunia. Teleponnya berdering… katanya ia harus kembali bekerja. Tiba-tiba dadaku sesak, aku pun harus kembali bekerja dengan laki-laki yang bukan dia.
Namaku Nur. Aku pelacur. Yang penting tidak menganggur.