Cerpen

Perburuan Pertama

Kuda kami masih saja berlari kencang. Batu-batu besar dan kecil, gundukan semak, rumput-rumput kesat, berdiri lalu-lalang sepanjang rute yang kami sendiri tak pernah tahu itu. Biasanya, saat musim hujan begini, tanah akan tampak lembap dan kami bisa saja tergelincir jatuh. Kami akan ditertawai ranting-ranting yang baru saja patah dari dahannya atau jadi tontonan menarik serangga yang bebas berterbangan ke sana ke mari.

Tapi, bagi seekor kuda, berpetualang di padang atau hutan maha luas seperti ini adalah telatah yang menyenangkan. Apalagi kalau dia punya penunggang yang handal. Ke mana pun kau membawanya, dia akan patuh dan menurut. Seekor kuda suka tantangan. Kakinya yang tegak, pahanya yang kekar, badannya yang padat tentu sangat mendukungmu dalam setiap penjelajahan alam liar.

Seekor anjing hutan, hitam legam, bertaring tajam, berkuping besar, tampak di kejauhan. Ia sedang memamah bangkai ayam hutan yang kira-kira mati tiga hari lalu. Mata anjing itu bening dengan beberapa kontur hitam putih yang menunjukkan bahwa ia adalah makhluk tua berpengalaman. Daging tubuhnya liat. Cocok dipanggang dengan ramuan bumbu kampung, lalu dicincang kecil-kecil, dan ditaburi irisan lemon. Beberapa liter tuak putih yang masih segar dari dahannya akan jadi teman santapan menarik. Gigimu tak akan berhenti mengunyah. Kerongkonganmu akan senantiasa dipenuhi kesegaran.

Anjing hutan memang liar dan selalu garang terhadap siapa pun yang mengganggunya. Gigitannya bisa menimbulkan luka mendalam. Cabikannya, kau tahu, adalah yang paling dihindari oleh setiap pemburu. Memang, berburu anjing hutan merupakan pertaruhan nasib dan kemujuran sekaligus membutuhkan kecakapan tingkat tinggi. Dia bisa saja menyerang balik jika kau tak hati-hati. Tapi, kau akan beruntung kalau senjatamu tepat sasar.

Menurut kakek, bagian tubuh anjing yang membuatnya daif dan cepat mati adalah jantungnya. Kecepatan jantungnya yang normal sekitar 100-300 denyut per menit, tapi bila tertembus sebuah anak panah tajam bisa menjadi 60-80 denyut per menit. Denyutannya akan melemah, lalu perlahan-lahan akan membuatnya roboh dan terkapar.

“Tapi, angka-angka seperti itu tak berlaku untuk perburuan anjing hutan di sini. Mereka adalah makhluk nafas panjang dengan tenaga yang tak bisa kau tebak kekuatannya”, pesan beliau kepada saya dan Thomas–sepupu saya– sebelum kami berdua terjun ke medan pertarungan.

Perjalanan kami cukup jauh dan melelahkan. Tapi, setelah dua kilometer menjelajahi hutan, saya dan Thomas baru menemukan buruan yang diincar. Ya, seekor anjing hutan, hitam legam, taringnya tajam dan berkuping besar. Dialah target perburuan yang harus ditaklukkan.

Saya menambatkan kuda pada sebuah dahan kekar, sementara Thomas bersiaga di posisinya. Sebuah busur menggantung di bahu saya dengan beberapa anak panah bermata mengilat pertanda baru diasah. Pun sebuah senderik tersarung sebagai bentuk jaga-jaga terhadap bahaya apa pun di tempat penuh syak wasangka seperti ini. Thomas adalah raja tujah di kampung kami, sehingga jangan heran kalau tombak lawasnya itu selalu berada dalam genggamannya.

Anjing hutan itu masih asyik bermain-main dengan bangkai ayam. Mengendusnya, sesekali menggigit, dan mengunyah perlahan-lahan. Beruntung semak-semak tampak begitu rimbun dengan beberapa pohon tua yang tumbang, sehingga saya bisa dengan nyaman bersembunyi di baliknya. Saya menelungkupkan badan, merangkak pelan-pelan. Mengambil jarak sehening mungkin. Sebab, anjing hutan adalah makhluk sadar bahaya. Penciumannya tajam terhadap apa dan siapa saja.

Jarak saya dan anjing itu sekira sepuluh meter. Anjing itu tetap saja tertunduk. Tanpa rasa curiga. Tanpa punya insting bahwa bahaya akan mengejutkannya. Atau lebih keparat daripada itu, membikinnya mampus.
Saya kemudian berjongkok dan mengambil sebuah anak panah. Memasangnya. Mengatur pada posisi bidikan yang tepat. Sementara Thomas tampak di belakang. Ia duduk di atas pelana kuda, masih menggenggam tombak di tangan untuk bersiap-siap menyerang.

Tali busur direntangkan. Anak panah saya tarik dengan kekuatan penuh dan mata terpicing membidik sasaran. Tentu ini sebuah kesempatan terbaik yang tak boleh disia-siakan. Sekali lesatan, anak panah ini harus melumpuhkannya. Tentu saja, jantung anjing itu jadi targetnya.

Anjing hutan itu berdiri pada posisinya dan saya meyakinkan diri untuk segera memanah. Sekali bidik, anak panah itu meluncur cergas penuh desing secepat kilat. Anjing itu mengangkat muka. Sontak kaget. Ia mencoba menghindar, tapi panah berdiameter kecil segera menghajar paha kanannya.Meski tak mengenai jantung, anak panah tadi sudah cukup melukainya. Ia berontak, matanya nyalang. Telinganya berdiri mencari sumber serangan.

Saya segera mengambil anak panah lagi untuk melakukan serangan kedua. Thomas memacu kudanya, menuju target kami itu guna menujah. Belum sempat saya membidik, pun belum sempat Thomas mengarahkan tombaknya, anjing hutan itu telah lari terkaing-kaing.

Thomas mengejarnya. Saya mengambil kuda dan segera menyusul. Anjing hutan itu berlari sekencang mungkin, meski anak panah masih tertanam erat pada belahan dagingnya. Darah mengucur di mana-mana, larinya malah semakin menggila. Kami pun memacu kuda lebih cepat.

Anjing hutan itu menerobos masuk ke dalam dompolan semak kering. Ia kelelahan. Energinya mulai terkuras. Darahnya semakin meluber. Kami bergerak mendekat dengan penuh kewaspadaan. Siapa tahu ia akan berusaha lari lagi atau malah menyerang balik. Namun, kondisinya benar-benar sudah tak berdaya. Yang ada hanyalah sebuah dengkuran suara sengau dengan nafas tersengal-sengal.

Kalah kau, saya membatin. Kegembiraan menyelimuti kami. Sebuah petualangan singkat tapi menyenangkan, tak butuh banyak tantangan. Kami mengangkut pulang anjing yang telah mati kehabisan darah. Kami akan melapor kepada kakek dan menunjukkan kepada beliau bahwa cucunya telah layak jadi seorang pemburu. Di kampung, ukuran kejantanan dan keperkasaan seorang laki-laki itu terletak pada kemahirannya berburu. Para gadis akan jatuh cinta kepadamu. Juga tetua-tetua adat akan menaruh hormat.

“Pagi ini, kamu harus pergi berburu. Thomas yang akan menemanimu. Ingat, ini adalah perburuan pertama sehingga kau harus hati-hati. Banyak pemuda kampung gagal menyelesaikannya. Mereka terlalu percaya diri sehingga malah dicederai balik oleh beberapa hewan hutan yang ganas,” kata kakek sembari membangunkan saya dari tidur yang begitu pulas.

Saya segera bangun, menyiapkan diri, dan membayangkan bagaimana serunya berburu anjing hutan seperti dalam mimpi semalam. Hari ini saya genap berusia tujuh belas tahun.

Tentang Martin Elvanyus De Porres

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, NTT. Puisi, cerpen, dan esainya terbit pada Jurnal Sastra Santarang, Jurnal Sastra Dala ‘Ela, Flores Pos, dan Pos Kupang. Bukunya yang telah terbit berjudul “Menggaris dari Pinggir. Kumpulan Esai” (2017). Sekarang bergiat pada Komunitas KAHE (Sastra Nian Tana) Maumere.

Related Posts

Tinggalkan Balasan