artikel

Penulis, Honor, Royalti dan Masa Tua

Menyentil esai dari Korie Layun Rampan mengenai penulis dengan penghasilan dan hari tuanya, menurut Korie, menjadi penulis yang mengandalkan penghasilan murni sebagai penulis di bumi Indonesia tidaklah sebagus di luar negeri. Pembayaran royalti atau honor dari karya yang terbit di media massa sering kali tersendat. Buku Korrie hampir mencapai 300 judul, tapi menurut dia, itu tak membuatnya hidup mewah. Semasa hidupnya di Pontianak, ia malah sering berhemat.

Sebenarnya ini dilema hampir semua penulis. Apakah profesi penulis bisa menjanjikan di masa depan?”

Saya teringat waktu sekolah dulu, ada seorang guru yang mengatakan, “jadilah penulis jika kalian ingin melihat dunia dan merekam peristiwa di dalamnya, tapi jangan jadi penulis jika mau kaya.” Ucapan itu masih terngiang di telinga hingga kini. Kalau mau kaya, ya jadi pedagang saja, itu teorinya, tapi tidak selamanya seperti itu. Buku Ayat-ayat cinta karya Habiburrahman El Shirazy itu menjadi best seller, tercetak hingga jutaan kopi dan memberikan royalti lebih dari 1 Milliar. Belum lagi difilmkan. Contoh nyata lagi, Laskar Pelanginya Andre Hirata bahkan menembus angka penjualan 600.000, diangkat ke layar film, dialihbahasakan ke bahasa asing juga.

Jika penulis hanya bergantung pada honor dan royalti, tentu saja hal itu akan jadi hal sulit, terutama di masa tua. Apalagi jika bukunya tidak benar-benar best seller dan atau tidak berkarya secara kontinyu.

Kita mengenal Gerson Poyk, penulis produktif asal Kupang ini di masa tuanya bahkan tak bisa ditanggung BPJS karena menunggak beberapa bulan. Sang anak pernah menanyakan ke mana royalti dan honor atas karya-karya itu, Gerson sendiri juga tak tahu jumlah sesungguhnya royalti yang semestinya ia dapat.

Menurut Eka Kurniawan, penulis bisa dibagi menjadi dua jenis, penulis freelance dan full time. Banyak profesi penulis yang dijadikan sampingan dari pekerjaan utama. Avianti Arman, pemenang Kusala Sastra Kathulistiwa adalah seorang arsitek, tapi menghasilkan karya yang bagus. Kurnia Efendi bekerja di perusahaan nasional otomotif, masih produktif menulis dan puisi-puisi dan tulisan lainnya terhitung sangat banyak.

Eka sendiri mengaku bahwa ia adalah penulis full time, ia menulis novel, cerpen atau menulis sebagai ghost writer. Menurut dia, bidang menulis sangatlah luas. Kalian bisa menulis resensi buku, cerpen, novel, puisi atau catatan perjalanan. Wadahnya juga bermacam-macam, media cetak banyak menerima naskah penulis, tentu saja harus bersaingan dengan ribuan penulis lain. Media online juga bertebaran, atau menulis di media televisi. Dalam dunia menulis sendiri, Eka juga menulis lumayan banyak untuk televisi.

Bidang menulis, jika ditekuni tentu akan menghasilkan, misalnya menulis resensi buku. Jenis tulisan ini mempunyai keuntungan double. Kita menresensi buku keluaran terbaru misal Mizan, Gramedia atau Diva Press atau penerbit lainnya, lalu kita kirim ke media cetak, dimuat dan dapat honor. Hasil resensi itu bisa kita kirim juga ke penerbit, biasa penerbit akan memberikan reward berupa honor atau buku gratis lagi untuk bahan resensi berikutnya. Bayangkan jika seorang penulis bisa menghasilkan 6 karya dalam sebulan, pendapatannya akan setara gaji bulan orang kantoran. Tetapi menjadi penulis seperti itu tentu saja harus disiplin.

Cerpenis kondang macam Agus Noor mempunyai disiplin dalam menulis, biarpun terkesan urakan dan slengean, ia selalu menjadwalkan ada tulisan selesai tiap bulan. Dalam sebulan, ia wajib menghasilkan 4-6 cerpen, belum lagi ditambah draf-draf naskah pementasan teater. Menurut Agus Noor, penulis harus displin waktu, kendatipun jam dan tempat kerjanya bebas, tapi harus ada target yang direncanakan.

Agus Noor bahkan mempunyai tabungan naskah tulisan yang ia simpan dan belum dipublikasikan. Alasannya, jika mendekati masa tua nanti, tulisan tersebut baru akan dikeluarkan. Macam pensiunan. Putu Wijaya, seniman ini di masa sakitnya memang tidak seproduktif dulu, saat dirawat di rumah sakit, ia memaksa diri mengetik dengan dua jarinya.

Hidup dengan menulis tidak mudah, butuh konsistensi tinggi, tidak ada pencapaian instan. Banyak penulis pemula atau yang awalnya mengeluti dunia literasi banting setir ke bidang lain yang lebih menjanjikan. Tapi ada juga menjalani pekerjaan lainnya sebagai penyambung hidup selagi menulis. Enrique Ferrari atau lebih dikenal sebagai “Penulis Subway” asal Argentina ini merangkap sebagai petugas kebersihan di stasiun bawah tanah Buenos Aires.

Penulis yang telah menerbitkan 5 novel dan 2 kumpulan cerpen ini memenangkan penghargaan atas novelnya yang berjudul “Lo Que No Fue” dan “Quw de lejos parecen moscas” bertema fiksi kriminal politik bersetting di Spanyol. Telah diterjemahkan berbagai bahasa. Menurut Kike, sapaan akrab Enrique, hidup dari menulis tidak cukup untuk hidup di kota negara ketiga seperti Buenos Aires. Penghasilan menulis tidak bisa menopang kebutuhan sehari-hari, Kike juga pernah jadi sopir untuk bertahan hidup.

Itulah realitasnya! Menulis di sini belumlah merupakan pekerjaan ‘mapan’ menurut pandangan masyarakat kita. Penyair gaek Acep Zamzam Noor bahkan pernah terispirasi dan menulis dalam sebuah puisinya, “bukankah tahu sebagai penyair penghasilanku tak menentu?”. Menulis sebagai passion dan pilihan idealis memang memungkinkan, melihat tren juga adalah pilihan yang masuk akal. “Menulis itu seperti bercinta di ranjang, jadi perlu mencoba berbagai gaya” ucap Agus Noor.

Hidup dalam dunia literasi harus bisa fleksibel, kita bisa menulis berbagai genre seperti horror, teetlit, kajian feminis, absurd, religius dan banyak lagi. Seorang Asma Nadia konsisten dengan karya bernapas religius islam dan produktif sampai masuk dunia elektronik digital layar lebar dikarenakan ia bisa mengolah pasar romance religius.

Menulis adalah menempatkan diri sebagai manusia yang cerdas, punya disiplin dan visi masa depan. Menulis membuat kita abadi, seperti yang diungkap Pramoedya Ananta Noer, novelis legendaris yang tetap produktif meskipun di dalam penjara. Pram menghasilkan karya-karya yang monumenal, tetap dibaca meskipun ia telah tiada. Dibaca dan diingat sampai saat ini.

Pada akhirnya, kita boleh sepakat bahwa menulis jika dijadikan sebuah profesi, ia membutuhkan disiplin yang ketat, meskipun waktu bekerja, honor dan royalti tidak tetap.Jika berdisiplin, semuanya akan teratur. Menulis harus “pintar” memikirkan masa tua. Penulis sekelas Korie Layun Rampan, bahkan menanyakan nasib Hamsad Rakuti dan NH Dini yang murni mengandalkan hidup dari menulis. Kita bisa memikirkan investasi, hasil dari menulis bisa dibuat usaha, kontrakan atau kos-kosan yang tetap menghasilkan di saat penulis tidak produktif lagi.

Apakah kita sudah sudah merancang masa tua kita sebagai penulis?

Tentang Ferry Fansuri

Penulis kelahiran Surabaya ini adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya "Roman Picisan" (2000) termuat. Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional.

Related Posts

Tinggalkan Balasan