Kami tidak menyangka, tepatnya selalu salah sangka ketika mengadakan lomba menulis. Dalam Lomba Menulis Surat Cinta ini, awalnya kami menganggap sepele saja para peserta. Yang ikut mungkin hanya sepuluh atau dua puluh orang, kami nilai seadanya, lalu kami putuskan siapa pemenangnya. Sederhana seperti itu. Tapi lagi-lagi kami salah sangka. Lomba Menulis Surat Cinta ini diikuti lebih dari 80 penulis. Angka yang sangat banyak, apalagi lomba diadakan tidak lebih dari 4 hari.
Dari sekian banyak surat yang masuk, lebih dari 90% ditulis dengan cara yang baik. Tentu ini menjadi kompetisi yang ketat bagi semua peserta. Juga kerjaan yang berat bagi dewan juri/editor di Indie Book Corner. Kami harus memilih satu dari sekian banyak tulisan yang baik.
Sekian banyak naskah yang bagus tersebut terpaksa kami gugurkan karena tidak memenuhi kriteria. Ada yang menulis sangat pendek, tidak sampai 500 kata seperti syarat lomba. Ada juga yang mungkin tidak membaca baik-baik persyaratan: Dalam surat itu tidak boleh ada kata Cinta, Sayang, Rindu, dan Kangen. Maka ketika di paragraf pertama sudah kami temukan kata-kata tersebut, surat seperti ini terpaksa kami depak dan tidak kami sertakan.
Satu lagi kesalahan para peserta, ada yang mengirim lebih dari tenggat waktu yang ditentukan. Padahal, dari beberapa tulisan yang terlambat ini ada beberapa surat yang layak jadi juara. Tapi begitulah, penulis harus belajar berdisiplin. Kesan penulis, terutama penulis fiksi sebagai orang yang nyantai, kerja dengan mood, menunggu imajinasi dan lain sebagainya hanyalah omong kosong. Menulis apapun butuh riset, butuh persiapan, dan butuh kedisiplinan, terutama tenggat waktu. Dengan menolak dan menyingkirkan beberapa penulis yang menulis dengan bagus tapi tidak disiplin, kami ingin memberi tahu; menulis bagus saja tidak cukup. Dunia menulis punya banyak syarat, dan penulis yang baik selalu tahu mengatur dirinya.
Kami sudah memilih dengan sekuat tenaga yang kami bisa, seadil yang kami mampu. Maka mari kita terima pengumuman pemenang ini dengan senyum dan lapang dada.
Ada banyak sekali tulisan yang bagus, tapi tentu tak bisa kami menangkan semuanya. Harus ada yang maju sebagai juara, ada yang harus tersingkir dan mengaku bahwa ada yang lebih baik dari dia. Percayalah, dengan menyelesaikan menulis, berdisiplin, dan mengirimkan surat di lomba ini saja, kalian sudah cukup membanggakan diri kalian sendiri.
Tadinya kami akan memilih hanya satu pemenang, tapi karena banyak yang baik dan bagus, maka kami memilih 5 pemenang. Dua pemenang utama, yakni juara 1 dan 2. Tiga sisanya adalah pemenang favorit yang juga layak menang, tapi memiliki sedikit kekurangan.
Nah, kami tidak mau berpanjang-panjang. Silakan simak 5 surat terbaik versi dewan juri Indie Book Corner ini. Dalam postingan ini kami sertakan 5 tulisan tersebut untuk dibaca siapa saja. Terima kasih untuk kalian yang sudah berpartisipasi dengan baik. Ke depan akan kami adakan lagi beberapa proyek menulis bersama untuk kami terbitkan. Akan ada proyek menulis cerpen, puisi, dan novel. Tunggu saja.
Terima kasih.
Salam hangat dari juri
Anindra Saraswati/@anindras
Irwan Bajang/@irwanbajang
Maria Puspitasari Munthe/@pitantus
Syafawi Ahmad Qadzafi/ khadafi_14
Yovi Amanda/@YoviSudjarwo
__________________
PS:
- Hadiah untuk Juara 1 dan 2: Paket Buku dari Indie Book Corner, Kalender Spesial 2014, Totebag dari Koloni Kutu Buku, Blocknote, dan beberapa hadiah tambahan. Hadiah untuk Juara Favorit: Paket Buku dari Indie Book Corner dan Kalender Spesial 2014. Bagi semua pemenang, silakan kirim nama lengkap, alamat dan nomor telepon ke email redaksi.
__________________
PARA PEMENANG LOMBA MENULIS SURAT CINTA INDIE BOOK CORNER 2014
Juara 1: Gilang Perdana–Untuk Amalia yang Sedang Resah
Ini perihal keputusanmu, dan mungkin takdir rasaku, mengukir riuh di gerus waktu, pada dimensi ruang yang kita sebut jarak.
Amalia, mari bicara perihal narasi yang sedang kita tulis. Sajak setengah jadi yang sengaja kita eja di depan wajah masing-masing, kata demi kata, frasa demi frasa. Narasi terburu-buru, yang akhirnya menyisakan koma di ujung kalimat yang belum selesai, mencari titik hingga tak mampu berkutik. Kita telah bersepakat untuk menulis daftar isi, namun detik demi detik mengantar kita pada akhir yang hanya sanggup berbisik. Seperti itu Amalia, ujung narasi yang kita perjuangkan demi menghindari persimpangan.
Mari sejenak kuajak kau merefleksi ke masa lalu, Amalia. Pada dingin bangku taman kota, dulu pernah ada sepasang tubuh yang sama-sama bimbang beradu ragu, yang lumpuh di guyur sendu dan yang sama-sama risau mencari rumahnya. Paragraf pertama dari sebuah kisah yang berusaha mencari utuh.
Sore itu, aku melihat sesuatu pada matamu, sesuatu yang seperti luka namun tak bisa lagi mengundang air mata. Sisa penghianatan yang masih tergantung di selebar kantung matamu, yang lebam menguras habis sisa kepergian sepihak, merobek selembar nota kesepahaman imajiner di masa lalumu.
Ada partikel semacam nebula, sebuah entah yang tak berwujud, terkumpul dalam piuhan udara yang menghela di antara dua wajah kita waktu itu. Dekat sejarak pupil yang saling mengecil. Tidak ada yang terlalu jauh, hanya awal yang gaduh dan rusuh, ketika kau dan aku tidak sengaja bercerita tentang sejarah pilu masing-masing. Masih ingatkah betapa lebam matamu ketika itu, Amalia. Aku yang waktu itu berusaha menghapus lebam di bawah bulu mata nan lentik milikmu.
Ketika itu, kau bertanya kepadaku perihal ketinggian. Aku pun menjawabnya sembari menampung rebahmu. “Jangan menyoal awan atau bahkan bulan, nada suara Verdi pun bisa kau sebut ketinggian.” “Ketika kenyataan tidak semudah keinginan, selalu bisa kita menyisakan pilihan, merelakan.” Kita meninggikan hati masing-masing yang sepertinya jatuh bersamaan ke dasar Mariana.
Pada awal yang terburu-buru, ada akhir yang menyatu. perihal satu tambah satu yang tidak selalu dua namun kita. Kita, adalah Pangea yang terlahir. Gondwana dan Laurasia yang menemukan kembali sesar benua. Kita, dekat yang terlalu cepat, erat yang memeluk sangat.
Sampai di sini Amalia, apakah kau paham? Getar di ponselku pagi ini, adalah sambaran petir yang tanpa permisi membakar ujung kepalaku. Keputusanmu untuk meningglkan kota ini, adalah titik balik dari semua narasi yang kita tulis pada dimensi ruang yang sama. Tapi sudahlah, ini keputusanmu, kejarlah impianmu Amalia, aku tidak akan menghalangi. Terbanglah tinggi Amalia, aku akan menjadi angin, berembus di bawah sayap yang kau kepak perlahan.
Adalah jarak, perihal rencana kepergianmu dari kota ini, sub-urban ibu kota. Bagiku Jogja tidak pernah sejauh ini sebelumnya. Jauh yang bahkan sudah terukur sebelum kepergianmu, pada purnama berikutnya. Perihal Jogja dan mengukur jarak, aku sedikit bisa bernapas lega. Setidaknya Jogja tidak jauh dari kampung halamanku, Solo. Kampung halaman yang sudah aku tinggalkan hampir 12 purnama, dan hanya dua pulang pada dua purnama terakhir.
Amalia, pada kepulanganku yang ketiga, tunggulah aku di balairung kampus biru. Aku sudah tak sabar untuk menerjemahkan kita, beradu paham yang terlalu, bergelut riuh kesepian yang lahir prematur. Demi rasa yang masih dan semoga selalu ingin tumbuh, dan impian yang masih jauh berlabuh, pergilah Amalia. Ini klise, tapi aku baik-baik saja, sungguh. Amalia, tunggulah aku di jantung Jogjakarta, bersabarlah karena kita tidak sedang bermain dadu.
Dari aku yang membacamu perlahan, kemudian telak ingin membacamu erat. Lebih erat seperti akar yang jatuh hati kepada gravitasi.
Gilang Perdana/@kolorjingga
Juara 2: Adi Aribowo—Untuk Dik Ningrum, Wanita yang Bibirnya(Kuduga) Selegit Kue Mochi
Kutulis surat ini, Dik, kala aku meminjam waktu barang sebentar pada kotamu yang baik budi. Solo di malam hari. Ah, Solo, nyatanya aku pun jatuh hati pada kotamu yang adhem-ayem ini. Bagaimana tidak, direngkuh hangat ramah tamah orang-orangnya, kucing-kucing gemuk berjalan damai di gang-gang sudut kota, dan lampu penerangan yang rendah hati meredup sopan kala aku disuguhi nasi kucing di wedhanganpinggir jalan. Semuanya membuat betah, Dik. Bahkan, lama berdiam dalam nyaman membuat sejenak aku melupakan kampung halaman di utara kota Solo. Kampung halaman kita. Tempat lahirmu, tempat lahirku. Ingatkah kau, Dik? Di kampung itu kau hanya numpang lahir. Dan di kotamu kini, aku numpang hidup. Entah takdir apa yang membuat kita berjumpa. Seumpama itu takdir buruk, bagiku, berjumpa denganmu ialah takdir buruk yang aku suka.
Maaf beribu maaf, bukannya aku menuduhmu sebagai pembawa takdir buruk. Tapi di dasar hatiku, ada kerdil kecil yang mengumpat seperti itu. Dan dungunya aku yang mudahpercaya. Jangan sakit hatimu, Dik. Cukup aku saja.
Dengan surat ini aku hanya ingin bercerita perihalmu, perihal dirimu yang tak kau ketahui tapi diketahui mataku. Percayalah, mataku dianugerahi Tuhan dengan gelap malam yang nihil gemintang. Saking gelapnya, kau bisa dengan mudah melihat pantulan seluk beluk dirimu sendiri.
Di mataku, matamu tampak mencerlang. Terangnya sepadan dengan lampion-lampion di Pasar Gedhe. Aku curiga, Dik, jangan-jangan di matamu berterbangan ribuan kunang-kunang. Mataku pernah nakal, ia pernah melirik dan memantulkan kerlip hitam rambutmu yang bergelombang. Aku jadi ingat riwayat gelombang anggun air Bengawan Solo. Yang menggulung tenang ketegaran pohon-pohon rindang di sehamparan keraton yang dihidupinya. Kuceritakan hal lain, Dik, perihal bulan sabit yang melengkung di atas Solo raya yang dilihat mataku. Bulan itu lebih sabit dibanding sabitnya bulan di padang Kurusetra. Membawa ketenangan malam bagi mata yang beradu tatap dengannya. Lalu kuyakini, bahwa lengkungnya sama indahnya dengan yang melengkung pada alis matamu. Mataku pernah pula menduga, bongkah memal pipimu itu terbuat dari apa? Apakah terbuat dari pintalan awan langit kota Solo di musim cerah? Apakah dari gumpalan bulu merpati yang rontok ke bawah? Entah, yang pasti menempel di sana, senantiasa membuatmu indah. Kuberitahu padamu, Dik, mataku yang gelap paling suka memantulkan bayang bibirmu. Ia menerka, mungkin bibirmu manis rasanya kala senyumu menyembul. Semanis kue yang legit khas negeri nan jauh di utara Solo.
Itu dulu yang bisa disampaikan mataku yang segelap malam tanpa naiknya rembulan, karena tak juga dikerek Tuhan. Boleh kuminta sesuatu, Dik? Tersenyumlah sedikit dengan manis, dan jangan lupa sampaikan maafku pada lelaki di sampingmu. Pada pacarmu itu, jika hatinya tak berkenan. Sampaikan pula bahwa anggap saja aku, kamu dan dia serupa kisah Rahwana, Sinta dan Rama di kitab kasih Ramayana. Pastinya dia Rama dan tak perlu marah pongah pada Rahwana yang tak bernasib baik mendapatkan Sinta.
Ngomong-ngomong soal Rahwana, aku mengenal Raja Alengka itu di kotamu. Di kota Solo yang budaya jawanya sekental madu yang terkandung pada rahim bunga-bunga. Kala menatap Rahwana, mataku yang gelap memantulkan dirinya serupa mataku kala memantulkan seluk beluk dirimu. Tapi di mataku, Rahwana selalu terpantul menjadi aku. Mungkin di matamu, Rahwana ialah sebesar-besarnya salah. Ia jatuh hati pada wanita yang telah dimiliki Rama. Tapi ketahuilah, Rahwana tetap makhluk biasa. Ia mungkin bisa berencana meminang siapa, ia bisa berencana mencumbu putri mana saja, tapi ia tak bisa berencana kelak hatinya ditambat oleh siapa. Sama sepertiku, aku tak pernah berencana kepadamu, tapi nyatanya hatiku ditambat olehmu. Aku jatuh hati padamu, Dik Ningrum.
Kala kelak kau menikah dengan lelaki yang bukan aku dan aku pun menikah dengan wanita yang bukan kamu, maka percayalah, aku akan tetap seperti ini. Tetap berdebar kepadamu. Sekian surat ini kusampaikan padamu. Tersenyumlah sekali lagi, agar aku yakin bahwasanya memang manis rasanya, semanis kota Solo yang adhem-ayem.
Solo malam hari. Penuh kasih,
Adi Aribowo/@adiaribowo
Juara Favorit 1: Irawati Ningsih—Surat untuk Suami dan Anakku di Masa Depan
Aku menulis surat ini bahkan jauh sebelum aku bertemu kalian, tanpa tahu menahu rupa kalian. Tetapi aku sangat suka menulis. Tulisan, bagiku lebih bisa detail mengabadikan momen. Ia bahkan bisa menggambarkan sampai ke detik-detik penciptaan. Oleh karena itulah, lewat surat ini aku ingin berbagi dengan kalian. Aku tidak ingin ada sepenggal pun kisah dalam hidupku yang terlewat untuk kuceritakan.
Maka ketika surat ini sampai kepada kalian, aku ingin kalian tidak tertawa nakal atau berniat menggodaku habis-habisan sambil sesekali mencubit pipiku yang akan seketika berubah menjadi seperti kepiting rebus. Kita akan menghabiskan sore kita dengan minum teh bersama senja di beranda rumah kita. Dengan kamu, suamiku yang paling mengagumkan. Seseorang yang bisa-bisanya menaklukkan hati si perempuan keras kepala ini. Seseorang yang pastinya sangat-sangat kugilai di luar batas paham. Setibanya surat ini di tanganmu, dengan anak-anak kita di pangkuanku. Sedang aku menyandar di bahu kananmu. Sambil menahan tawa aku ingin kamu membacakan surat yang kutulis ini dengan hati-hati, dengan sepenuh hati.
Suamiku, aku telah lebih dulu gandrung pada awan, pada tawa kanak-kanak yang riang menyambut hujan. Pada sepi yang sedang ditulis oleh puisi. Oh, sebentar, aku jadi tertarik menanyakan kepadamu perihal bagaimana sebuah kesepian kau maknai? Begini suamiku, dalam hidup tentu kita pernah menunggu. Aku tahu kau pun tahu, kita berdua juga pernah sama-sama menunggu. Dalam setiap hening, dalam setiap jejak, dalam setiap gemuruh yang (tak) riuh, dalam setiap doa yang linang di sudut malam.
Aku pun paham benar, aku pernah menunggu, menunggu yang tak kunjung juga datang, menunggu entah yang kupertuankan, menunggu dengan seluruh jemu yang mengerikiti akal warasku, menunggu yang menunggu yang lain, menunggu yang hanya sepi yang menari-nari di pikiranku. Sampai tibalah hari itu. Hari di mana doa-doa kita sama-sama diaminkan. Hari yang kita sebut sebagai pertemuan kita. Skenario yang ditulis olehNya memang selalu lebih indah, ya.
Tetapi ketahuilah suamiku, kesepian bukanlah alasanku memilihmu untuk menghabiskan seluruh hidupku denganmu. Saat ini. Esok. Hingga seterusnya. Sampai rambut kita memutih, dan (menjadi tua) hal yang dulu pernah kutakutkan sebelumnya lenyap dibawa senyap. Aku memilihmu, karena kita pernah sama-sama jatuh. Jatuh untuk kemudian bangkit lagi. Aku memilihmu, karena aku menemukan diriku terpantul di matamu. Aku lengkap. Aku genap. Bersamamu. Aku tak pernah salah, menjatuhkan pilihan.
Perihal luka? Aku yakin, jauh sebelum ini. Mungkin tepat pada pertemuan pertama kita. Kau pasti sudah lihai benar mengeja luka. Luka yang kurawat lama di mataku. Serupa telaga yang dalamnya hanya menampung bingkisan kepedihan. Luka yang ingin mati-matian kusembunyikan. Mungkin pada larik-larik puisi yang kerap kuabadikan dalam buku yang saat ini sudah kukadokan untukmu. Perihal jatuh, perihal perih, perihal luka, perihal patah yang juga pasti pernah kau alami sebelumnya.
Aku bukanlah berniat mengungkit luka. Aku hanya ingin berterima kasih untukmu, yang tidak pernah membiarkanku merawat luka itu sendirian. Aku berterima kasih atas usahamu yang berani meyakinkan perempuan bebal (yang ingin dirinya terus diyakinkan) sepertiku ini percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Pada akhirnya, hidup selalu membawa kita pada berbaris kejutan. Kejutan apa lagi yang akan diberikan oleh hidup? Di antara kita tidak akan pernah ada yang tahu. Tetapi selama kita tahu cara untuk bertahan. Aku percaya, tidak ada yang pernah perlu untuk kita khawatirkan.
Anak-anakku, Mama yakin kalian pasti sudah akan bertanya-tanya tentang apa maksud dari ini semua, kan?
Nak, ada saat di mana semua tanyamu akan dijawab oleh sebuah hal bernama waktu. Percayalah, kelak sedemikian resah akan bertatap temu dengan sudah. Dan Mama sudah sangat tidak sabar untuk melihat kalian tumbuh menjadi dewasa. Menjadi anak-anak yang hebat dan kuat. Dunia di luar sana tentu akan mengajarkan kepada kalian tentang banyak hal. Banyak hal yang (mungkin) tidak kalian dapatkan dari Mama ataupun Papa.
Doaku selalu menyertai kalian.
Malang, 12 Februari 2014
Dari perempuan yang salalu ingin melihat kalian bahagia.
Irawati Ningsih/@rintikkecil
P.S: Surat ini kutulis saat aku masih berusia 21 tahun. Di sela-sela waktuku mengerjakan skripsi.
Juara Favorit 2: Gadiz—Bagaimana Hari Valentinemu, Ibu?
Untuk Ibu…
Ibu. Musim apa di sana sekarang? Sering hujan lebatkah, atau hanya gerimis sepanjang hari? Apakah Ibu masih sering menyelipkan cerutu di sela jemari sambil melihat keluar jendela tanpa pernah menghisapnya? Apakah Ayah tiriku memperlakukakanmu dengan baik? Apakah ibu tetap memakai baju hangat warna biru tua dengan bulu halus dikerahnya hanya di dalam rumah? Apapun cuaca di sana sekarang, aku hanya berharap ibu baik-baik saja di sana. Dan berharap Ibu tidak setiap hari minum bir lagi hanya karena udara yang dingin.
Di Indonesia turun hujan setiap sore, spanduk-spanduk parpol merusak pemandangan di setiap pinggir jalan. Karena tahun ini tahun pemilu, aku harus bekerja lebih keras dari biasanya. Ibu jangan menghawatirkan aku. Meskipun tanpa Ibu di sini, aku menjadi lebih kuat setiap harinya. Aku selalu makan-makanan yang baik, menggunakan bahasa yang sopan pada setiap orang, memakai pakaian yang sepantasnya, dan aku bisa jaga diri di sini. Simbah merawatku hingga dewasa dengan baik. Tahukah usiaku berapa? Mungkin Ibu lupa menghitung, aku 24 tahun sekarang.
Ibu. Banyak sekali yang ingin aku tanyakan pada Ibu. Banyak hal yang ingin aku ceritakan pada Ibu. Namun Ibu jauh, aku tidak bisa ke sana mendatangimu. Dan hal yang paling menyedihkanku adalah aku mulai lupa bagaimana wajah Ibu. Tidak bisakah Ibu yang jauh-jauh datang kemari untukku? Ingatkah Ibu kepada kerabat, handai tolan di sini? Mereka sering menanyakan kabar Ibu. Ibu sekarang di mana? Ibu bekerja atau tidak? Kapan kembali ke Indonesia, atau benar-benar sudah meninggalkan Indonesia? Ibu bertambah cantikkah, atau sudah mulai menua? Pertanyaan mereka sama dengan ketidaktahuanku, bahkan selembar pun foto Ibu aku tidak memilikinya. Beruntungnya aku selalu punya alasan untuk tidak menjawab mereka.
Di sini, besok adalah hari valentine. Seharusnya seluruh dunia juga punya hari valentine, begitu juga tempat Ibu. Di mana tiap sepasang kekasih akan merayakannya. Sejak aku masih di bangku sekolah, aku cukup iri dengan teman-temanku. Mereka semua memiliki pujaan hati yang akan datang di hari valentine dengan membawa kado atau sekedar satu batang coklat. Sekarang pun di tempat aku bekerja, teman-temanku sibuk mencari tempat yang paling romantis untuk berkencan. Ada juga teman yang hanya memimpikan pangerannya datang dengan setangkai bunga. Aku tidak punya yang seperti itu di sini. Aku hanya punya kekasih di hati, yaitu Ibu. Ibu, terima kasih telah melahirkan aku. Terima kasih sudah mau menjadi Ibuku. Ibu, jangan lupakan aku. Aku memintamu karena sekalipun Ibu tidak pernah bertanya bagaimana kabarku. Sampai kapanpun aku tetap gadis kecilmu.
Bagaimana Ibu merayakan hari valentine dengan suami Ibu sekarang? Melakukan hal yang romantis jugakah seperti teman-temanku di sini? Aku cuma sedikit mengingat-ingat kembali, dulu ketika aku masih suka mengompol, bahkan aku belum lancar berbicara Ayahku membawakan banyak coklat untuk kita. Begitulah yang selalu diceritakan Simbah setiap Simbah menatap gerimis di luar jendela. Selain hanya dalam mimpi, setidaknya sekali lagi aku ingin merayakannya lagi bersama Ibu…
Apa aku sudah menulis terlalu banyak? Sebenarnya aku tidak ingin Ibu menangis membaca suratku, tapi aku terlanjur bahagia kerena walaupun Ibu tetap tidak ingin aku tahu alamat tinggal Ibu setidaknya aku bisa menuliskan ini untuk Ibu. Aku tidak tahu bagaimana cara memelukmu dengan baik, jadi aku hanya meminta pertolongan dari Tuhan agar menjaga Ibu di sana.
Gadis kecilmu
Gadiz Lilin/ @GadizLilin
Juara Favorit 3: Kamil Alfi Arifin—Kau, Hujan Bulan Juniku
Kutulis surat kecil ini untukmu, istriku… hanya untuk mengingat usia pernikahan kita yang masih baru seumur jagung. Iya, beberapa bulan lalu kita menikah, tepat di bulan Juni. Juni adalah pilihan bulan yang begitu istimewa bagi kita. Entah mengapa, bulan Juni selalu mengingatkanku pada sajak Sapardi DJoko Damono yang teduh: “Hujan Bulan Juni”.
Meski memang di hari sakral akad kita tak ada sedikit pun rintik yang turun. Tapi barangkali, karena hatiku basah dengan hujan rahmat dan airmata kebahagiaan. Juga karena ada ketabahan dalam keseluruhan pencarian dan penantian panjang akan kehadiran seorang kekasih yang tuhan kirimkan, padaku.
Surat kecil ini kutulis untukmu istriku… juga untuk mengatakan apa-apa yang tak sanggup kukatakan langsung saat jarak kita sudah terlalu dekat dan melebur. Kedekatan kadang memang membuat kata-kata takluk pada air mata. Air mata kerap mendahului kata-kata yang hendak diucapkan, sebab keharuan dan kebahagiaan yang tak terbendung di dalam dada. Atau karena alasan lain, kalimat-kalimat tertulis akan jauh lebih membekas di ingatan. Maka aku memilih menulis surat kecil ini padamu.
Surat kecil ini, istriku, aku tulis bertepatan dengan malam jelang hari ke-empat belas Februari. Hari yang spesial bagi sebagian orang. Meski aku sendiri (barangkali juga kamu) tidak terlalu peduli dengan momentum perayaan “merah jambu” itu. Bagiku, dan barangkali kamu, memberikan atau menerima perhatian yang tulus adalah kewajiban/kebutuhan setiap saat, seperti napas. Saat napas berhenti berdetak, maka “tubuh” hubungan kita menjadi kaku dan sesak.
Aku menikmati perayaan itu dengan biasa-biasa saja…
Istriku, kau tahu, di tepi sudut-sudut hatiku yang terdalam, aku menyimpan sebuah rasa malu dan sekaligus bangga padamu. Tujuh bulan berlalu, rasanya kamu benar-benar menunjukkan sikap menerimaku dengan penerimaan yang apa adanya, persis seperti janji yang kamu ucapkan saat aku hendak melamarmu dulu.
Aku melamar dan menikahimu dalam kondisi ekonomiku yang belum sepenuhnya mapan dan aman. Aku hanya mengandalkan penghasilan yang tak seberapa dari pekerjaanku sebagai ‘jurnalis’ di media kecil yang tak dikenal (kalau bukan amatiran). Dan, sudah tentu segumpal keberanian mengambil resiko dari keputusan besar untuk menikah itu.
Aku selalu meneguhkan dalam diri sendiri, bahwa tuhan takkan pernah mengingkari janjinya untuk membuka pintu rezeki bagi mereka yang menikah asal bekerja. Dan, memang betul, tuhan tidak pernah berdusta, selalu saja datang rezeki itu dari pintu-pintu yang tak terduga. Tuhan tidak pernah meninggalkan hambanya yang percaya, sendirian. Meski kadang, adakalanya, pegangan uang kita habis duluan sebelum bulan berakhir. Tapi kamu tak pernah mengeluh dan khawatir dengan kondisi itu. Kamu justru menghiburku, menenangkanku. Kamu juga tak pernah meminta apa-apa yang berlebih dari kemampuanku. Kamu selalu menerima apa adanya. Mensyukuri yang dipunyai.
Di saat seperti itu, malah kamu berinisiatif membuka tempatkursus anak-anak di kontrakan kita sendiri, setelah sebelumnya mengajar di sebuah lembaga dan sedemikian rupa mengatur waktu agar tidak bentrok dengan jadwal-jadwal kuliah magister kita yang masih padat—karena masih semester awal—hanya untuk membantuku.
Aku selalu menitikkan airmata keharuan dan kebahagiaan bila mengingatnya.
Kamu memang perempuan lembut yang tangguh bagiku, istriku. Kamu hujan bulan Juniku, “yang tabah” menyitir sajak seorang penyair tua itu, ”yang bijak, dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu”/ “yang arif, dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu”.
Kamu memang adakalanya rewel saat aku tidak memperhatikan kesehatanku sendiri: makan telat waktu kalau sudah larut menulis, begadang sampai malam di depan buku-buku, dan kebanyakan nyeruput sambal pedas saat kita makan. Tapi tetap, rewelmu itu adalah Hhujan Bulan Juni bagiku, yang membasahkan, yang menyejukkan, dan menumbuhkan bunga-bunga. Aku hanya berharap dan berdoa, semoga bunga-bunga itu senantiasa tetap tumbuh, tidak hanya di hari empat belas Februari, melainkan di setiap saat, di semua warna cuaca dan musim, di sepanjang masa, sampai hari-hari menjadikan kita tua.
Selamat hari perayaan “merah jambu”. Salam.
Kamil Alfi Arifin/@api_alfi