Sebagai kota yang memiliki banyak julukan, Jogjakarta mengambil banyak peran penting dalam hampir semua lini sejarah dan kebudayaan di Indonesia. Banyaknya manusia yang datang dan pergi, membuat dan meninggalkan banyaknya jejak dan keunikan tersendiri. Salah satu hal yang unik adalah buku. Jogja terkenal sebagai surga buku, surga bagi para pembaca dan pemburu buku. Bagaimana tidak, industri buku Jogja tak hanya muncul dari gedung-gedung usaha mentereng seperti di kota besar lainnya. Buku-buku melesat keluar dari gang-gang kos-kosan mahasiswa, rumah kontrakan, dan penulis lahir dari acara-acara nongkrong begadang di warung kopi, komunitas, diskusi maya warnet-warnet, kontrakan para aktivis, dan dari riuh rendah kampus dengan segala problematikanya.
Dominasi toko buku besar sebagai salah satu sistem distribusi paling dominan dalam putaran arus perbukuan sempat memukul mundur banyak gerakan perbukuan, bukan hanya di Jogja, keluhan tentang hal ini bahkan muncul dari hampir semua penerbit di Indonesia. Besarnya rabat, rendahnya kemampuan kontrol penerbit kecil, juga pertarungan dengan genre buku populer membuat banyak penerbit alternatif, penerbit kecil kewalahan. Idialisme masih menyala-nyala namun suara denting piring di dapur memanggil manggil untuk dikendalikan. Pada posisi inilah permainan dunia buku dilangsungkan. Pilihannya adalah bertahan dengan genre dan konsep buku yang tidak mapan di pasaran atas nama ciri, idialisme dan kegembiraan versus pasar real dan kebutuhan roda industri.
Jogja pernah meresponsnya dengan banyak cara, beberapa toko alternatif dibangun, dengan menawarkan buku dengan ciri genre dan judul terbitan yang tidak selalu mainstream, Jogja melahirkan toko buku, toko buku konsep komunitas, ruang pameran buku yang tak melulu berorientasi pasar. Buku dirayakan bukan hanya sebagai pertarungan laba-rugi di tengah arus putar kapital besar. Buku dirayakan dengan mesra, indah dan bahagia bagi kalangan pencintanya. Ada banyak hal yang bisa dikompromikan, baik rabat, retur, modal produksi dan lain sebagainya. Lumrah adanya, mengingat kultur kerja ala Jogja yang guyub dan lebih bersahaja.
Sistem Print On Deman yang mulai berkembang beberapa tahun belakangan ini memberi celah bagi para pemain kecil. Buku tak lagi dicetak massal dengan resiko retur, kerugian, menumpuk di gudang dan menjadi sahabat rayap-rayap yang kelaparan. POD melahirkan sistem baru dunia perbukuan, buku tak harus diproduksi banyak, buku tak harus masuk penerbit arus utama, dan bahkan buku bisa diproduksi sendiri oleh penulisnya, didistribusikan, dan labanya bisa menjadi sedikit bantuan di akhir-akhir bulan yang kritis bagi banyak penulis atau penerbit kecil. Ajaib! Penerbitan menjadi sangat populer, hampir semua penulis tak lagi membutuhkan penerbit, mereka mungkin hanya membutuhkan desainer, layouter dan editor, lalu membawanya ke print digital yang tersebar di banyak tempat di Jogja. Beberapa penerbit malih rupa menjadi penyedia layanan pracetak atau book packaging. Buku menjadi gampang diproduksi, segampang membuat baliho kampanye atau spanduk kurung pedagang pecel lele.
Tapi tentu tidak semua orang tahu hal itu. Tidak semua penulis memahami dan sadar bahwa kita telah memasuki era baru dunia perbukuan. Kerja-kerja self publishing, penerbitan mandiri/indie sudah menjadi rutinitas beberapa penerbit dan penulis, tapi masih banyak penulis yang masih menjalankan kerja-kerja konvensional; masih sibuk menulis sendiri, berharap naskah yang ia tawarkan ke penerbit besar nantinya akan diterima, laku dan namanya mencuat dalam dunia perbukuan. Mereka menutup mata dengan era baru buku, era baru media digital, di mana di situlah saat ini buku, penulis, pembaca dan pasar bermain dengan cara yang benar-benar baru.
Merespons fenomena ini, beberapa penerbit Indie Jogja berencana membuat acara yang diberi tajuk “PASAR BUKU: Jalur Indie Bukan Jalan Buntu”. Dalam acara ini, buku tak hanya akan dipajang begitu saja dan dijual layaknya pameran-pameran buku konvensional. Akan ada banyak diskusi, apresiasi, workshop dan tukar gagasan tentang buku dan dunia baru yang terus bergerak deras.
Dengan mengusung tema Pasar secara general, acara ini mencoba meminjam model pasar tradisional, di mana di dalamnya ada interaksi, ada tawar-menawar, ada silaturrahmi dan hal-hal lain yang lebih dari sekadar transaksi kapital.
Akan ada juga temu jejaring penerbitan, di mana jejaring ini nantinya akan berkumpul berembuk dan berencana membuat wadah sendiri. Sebab tenaga bersama memang selalu menawarkan nilai lebih. Seperti layaknya sapu lidi, sebatang lidi tak bisa dipakai menyapu halaman yang penuh sampah, ringkih dan mudah patah. Akan berbeda dengan seikat lidi yang kuat dan bisa menyapu banyak sampah yang berceceran di halaman.
***
Nama Acara : “PASAR BUKU: Jalan Indie Bukan Jalan Buntu”
Lokasi : Togamas Affandi Jogja
Waktu : 19 Desember 2014-2015
Simak terus rangkaian kegiatan acara Pasar Buku Indie di facebook dan tiwtter kami, periksa tagar #PasarBukuIndie untuk mengikuti info-info terkini. Tabik.