Merlyn Sopjan pernah menerbitkan dua judul buku Best Seller yang hangat diperbincangkan; Jangan Lihat Kelaminku (2005), Perempuan Tanpa V (2006). Setelah sepuluh tahun, ia datang lagi dengan bukunya yang baru; wo(W)man. Buku ini ditulis dengan gaya cerita yang asik, di mana seolah penulis terlibat langsung sebagai tokoh dalam banyak ceritanya. Ia menulis berbagai kisah, kehidupan metropolis, affair antara dua insan pecinta, ingatan pada ibu, rasa sayang pada ayah, catatan chat sosial media orang-orang kesepian, kehidupan orang jalanan, kehidupan gelap para pelaku sex yang terjebak sebab hidup yang tak adil, serta permasalahan lain dalam kehidupan terkini manusia.
Dalam buku ketiganya ini, Merlyn sepertinya ingin menunjukkan pada dunia tentang kedewasaan, baik dalam berpikir dan bertindak, juga tentu saja menulis.
Setelah lumayan lama vacum, Merlyn rupanya tidak berdiam, ia menyiapkan karya yang lebih matang dari sebelumnya. Karya yang menggambarkan bagaimana proses hidupnya yang telah bertumbuh, cinta dan kasih yang makin kuat, kepekaan sosial yang makin sublim, cinta-kasihnya pada diri dan manusia di sekelilingnya. Sebuah buku dari penulis yang matang, berbagi dengan kita, para pembacanya.
***
Dalam pengantarnya, Agus Noor menyebut Merlyn sebagai pencerita yang gelisah dan mengajak kita merenungkan bersama kegelisahan yang ia rasakan.
Melalui buku ini, Merlyn Sopjan pun mengajak—juga menantang—kita sebagai pembaca untuk secara intens menghayati apa yang direnungkan, digelisahkan dan direfleksikannya.
“Telanjanglah. Setubuhi pikiranku. Itu yang kuminta darimu ketika kau ingin tahu siapa aku,” begitu Merlyn menulis, seperti menegaskan apa yang diharapkannya ketika kita membaca tulisan-tulisanya dalam buku ini. Ketelanjangan, di situ terasa provokatif sekaligus juga menyimpan gairah. Dalam
banyak tulisannya, kita merasakan hal itu. Merlyn menantang kita untuk bisa (atau agar) semakin terbuka mengenai apa yang dirasakan dan dilihatnya, sekaligus menyampaikan pendapat-pendapatnya tentang realitas yang dialaminya…Kita bisa membuka literatur tentang LGBT, atau seabrek teori tentang politik identitas yang kerap menindas yang minoritas. Saya tak perlu mengutip teori-teori itu untuk mengatakan, bahwa pada akhirnya kualitas kemanusiaan itu mestinya mampu membawa kita dari cara pandang yang stigmatis.
Salah satu yang menarik dari buku wo(W)man ini, saya kira, karena kita juga tak dirumitkan dengan bermacam teori yang rumit, tetapi langsung diajak untuk ikut merasakan dan memahami apa yang menjadi pergulatan Merlyn sebagai manusia dengan seluruh kompleksitasnya dan keunikannya.Artinya, tulisan-tulisan Merlyn mengajak kita untuk saling berdialog, bertukar pikiran, berbagi pengalaman, sebagai manusia.Tanpa terjebak dan terpenjara dalam perbedaan identitas. Saya kira, itulah yang membuat tulisan-tulisan Merlyn pada akhirnya menjadi menarik. Ia sendiri pun tak membatasi diri pada persoalan identitas dirinya. Maka kita akan menemukan keberagaman tematik yang menjadi perhatiannya, mulai dari hubungan cinta yang rumit, kerinduan, perasan sepi sampai persoalan-persoalan sosial yang mengubah gaya hidup manusia hari ini…
Review
Belum ada ulasan.