1 review for Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London
You must be logged in to post a review.
Rp 69.000 Rp 62.000
Meskipun dibawa ke kemashyuran oleh 1984 dan Animal Farm, karya yang mengantar Eric Blair, dengan nama pena George Orwell, masuk ke kancah sastra Inggris, dan pada akhirnya, dunia, adalah Down and Out in Paris and London (judul asli buku ini). Isi buku ini terinspirasi oleh, kalau tidak diambil mentah-mentah dari, pengalaman Orwell hidup miskin di Paris dan, kemudian, di London. Setelah melepas kariernya sebagai polisi imperial Inggris di Burma—tanpa persetujuan penuh dari keluarganya, tentu—Orwell, seperti banyak penulis dan calon penulis Anglophone sebelum Great Depression, tinggal di Paris dan mengasah bakat kepenulisannya di sana. Sewaktu di Paris inilah, karena sebagian besar uangnya dicuri, Orwell mulai terpaksa untuk hidup miskin. Kemudian, karena merasa tak kuat lagi bekerja sebagai tukang cuci piring di Paris, ia pindah ke London, dan di kota itu ceritanya tentang kemiskinan berlanjut, dengan kawan-kawan baru, dengan kesengsaraan-kesengsaraan yang baru pula.
Berat | 0.25 kg |
---|---|
Jumlah halaman | 272 |
Penyunting |
Stok habis
You must be logged in to post a review.
piosantos –
Eric Blair, nama asli dari seorang George Orwell yang sudah lebih dahulu kita kenal lewat karya-karya besarnya seperti 1984 dan Animal Farm. Buku ini merupakan novel autobiografi tentang masa-masa hidupnya sebelum menjadi penulis dan juga merupakan karyanya yang pertama. Mengangkat tema kemiskinan dan diskriminasi serta strata sosial secara tajam, Eric dengan bahasanya yang khas menceritakan pengalamannya menjadi pengangguran, pencuci piring restoran di Paris, dan kemudian menjadi pengemis di London. Sesuai dengan judulnya pula, buku yang terdiri dari 39 bab ini terbagi menjadi dua bagian besar, kisahnya yang bermula di Paris dan kemudian berpindah ke London.
Di Paris, Eric mulai menceritakan pengalamannya sebagai seorang pengangguran pencari kerja. Bersama Boris, temannya yang orang Rusia sesama pengangguran, mereka berkelana kesana kemari mencari pekerjaan, dan mostly mereka pulang tanpa hasil. Sampai pada suatu hari mereka mendapat janji kesempatan bekerja di sebuah restoran yang baru akan buka beberapa bulan lagi. Sembari menunggu restoran kecil ini buka, mereka juga mendapat pekerjaan di dapur sebuah hotel besar di Paris kala itu (sebut saja Hotel X). Boris bekerja sebagai tukang masak dan Eric sebagai plongeur atau tukang cuci piring. Plongeur di sini dijelaskan Eric sebagai pekerjaan dengan kasta paling rendah dalam sebuah restoran ataupun hotel. Dikatakan juga olehnya, plongeur bisa disetarakan dengan budak di sebuah restoran. Suka duka sebagai plongeur di Hotel X ini diceritakan dengan sangat jelas oleh Eric. Jam kerja yang tidak masuk akal, diskriminasi dan sistem kasta yang ketara, bahkan sekilas bagai nyaris tak ada unsur sukacita di sana. Semua itu masih ditambah dengan restoran di mana mereka dijanjikan pekerjaan yang mereka harap lebih layak tak kunjung buka. Setelah beberapa bulan akhirnya mereka mulai bekerja juga di Auberge de Jehan Cottard, restoran yang mereka nanti-nanti sebagai tembat bekerja yang diharapkan lebih layak dan manusiawi. Namun kenyataannya juga sama saja, bahkan kondisinya dianggap lebih tidak manusiawi oleh Eric sehingga membuatnya memutuskan untuk pindah ke London, mencari pekerjaan yang lebih layak lagi.
Di London, Eric dijanjikan oleh temannya pekerjaan sebagai perawat dari seorang pemuda yang mengalami keterbelakangan mental. Pekerjaan yang dijanjikan tersebut akan dimulai kira-kira dua minggu sejak kedatangannya di London. Eric menceritakan pengalamannya hidup sebagai pengemis tanpa penghasilan selama dua minggu di London ini di paruh kedua bukunya. Hidup sebagai pengemis di London ternyata lebih susah dibanding menjadi pengemis di Paris. Ketika seorang pengemis ketahuan duduk di trotoar saja atau dianggap mengganggu fasilitas umum, aparat sudah dipastikan akan segera bertindak. Oleh sebab itu, banyak bertebaran rumah-rumah inap gratis bagi para tunawisma, yang mana masing-masing tunawisma hanya diperbolehkan menginap semalam saja di tiap rumah inap (spike). Hal tersebut menyebabkan para tunawaisma di London selalu bepergian untuk mencari spike di mana mereka bisa menghangatkan tubuh dan beristirahat tiap malamnya. Apa yang dialami oleh Eric selama menjadi tunawisma ini juga ternyata tidak lebih baik daripada ketika ia menjadi plongeur di Paris sebelumnya.
Sebenarnya agak aneh ketika melihat Orwell bisa menggambarkan kemiskinan dengan sangat cantik di sini, mengingat dia sendiri terlahir dari keluarga yang cukup berada. Bisa saja dia menghubungi keluarganya ketika hidupnya sudah benar-benar di puncak kesusahan, tapi dia sama sekali tidak melakukannya. Dia lebih memilih untuk mencari sendiri cara untuk bisa tetap bertahan hidup di dunianya yang keras dan nyaris tanpa harapan. Mungkin dia benar-benar ingin merasakan pengalaman hidup miskin sebagai bahan penulisan novelnya yang pertama ini.
Satu hal yang saya rasakan sangat tajam dituliskan Orwell di buku ini, bahwa kemiskinan “menghapus masa depan” karena perut kosong dapat membuat otak anda terlalu lemah untuk berpikir soal masa depan, bagaimana dengan pekerjaan kasar kepuasan hidup anda hanyalah kepuasan “yang mungkin juga dirasa oleh hewan peliharaan yang dicukupi makannya”, bagaimana kemiskinan membuat anda tidak punya cukup waktu dan tenaga untuk mengikuti mantra jualan buku-buku self-help, atau untuk memperbaiki diri dan nasib pada umumnya.