Terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh telah menimbulkan perdebatan panjang dalam perjalanan sejarah Sastra Indonesia. Masuknya nama Denny JA, yang tidak dianggap layak dan kompeten dalam buku tersebut menuai beragam polemik dari masyarakat sastra. Banyak indikasi kecurangan, permainan politik uang, sekaligus cederanya metode pemilihan dan penyusunan buku ini membuatnya menuai kritik yang pada akhirnya berujung pada kriminalisasi Saut Situmorang, salah seorang sastrawan yang paling getol melakukan kritik.
Tulisan-tulisan dalam buku ini dihimpun dari beragam sumber, baik media cetak maupun daring, wawancara dan makalah yang sudah dipresentasikan di berbagai ruang seminar.
***
Kasus Saut seolah ingin mengulang kembali masa-masa tatkala sastra dilawan dengan senjata dan bayonet. Sastra dibungkam dan disekap dalam rumahnya sendiri.
M.S. Arifin, Almarhum Saut Situmorang: Kelindan Kriminalisasi Bahasa
Kalau Andrea Hirata bisa kita sebut sebagai fundamentalis pasar karena ketergantungannya pada kekuasaan ekonomi lewat angka penjualan, Denny JA cenderung menggunakan modal ekonomi dengan cara yang lebih ‘tradisional’, atau kasar, yakni dengan ‘membeli tunai’ para pemegang otoritas sastra yang ironisnya kita anggap sebagai para begawan sastra Indonesia. Buku 33 Tokoh Sastra merupakan bukti nyata bahwa otonomi sastra dari kekuasaan ekonomi tidak sebesar yang kita bayangkan, bahwa sastra tidaklah suci dari uang. Wahmuji, Neoliberalisme dan Otonomi Sastra
Apa tujuan penerbitan buku dengan judul 33 Tokoh Sastra Indonesia yang Paling Berpengaruh? Saya menjadi curiga, jangan-jangan tidak ada niat serius untuk memper-soalkan permasalahan “pengaruh” dalam buku tersebut. Studi yang serius mengenai pengaruh mesti berangkat dari usaha melacak intertekstualitas, dan tidak berkaitan secara langsung dengan penilaian mutu karya atau mutu pengarang. Seandainya itu tujuan buku tersebut, tentu perayaan 33 nama besar tidak akan dibutuhkan. Jadi apa makna kata ”berpengaruh” dalam judul tersebut? Jangan-jangan Tim 8 yang menjadi penyusun buku ini sendiri sebenarnya tak mengerti apa yang mereka maksud dengan “pengaruh” dalam judul sensasional buku mereka itu!
Katrin Bandel, Beberapa Catatan Atas Judul “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”
Arismunandar dan Fatin sedang berupaya meyakinkan publik bahwa perempuan adalah figur yang diserang dalam pertikaian sastra, yang sejatinya dimulai dengan skandal penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Di sini, baik Hamama serta Arismunandar dan juga yang mulia Denny JA, sedang melakukan penipuan publik dengan menjungkirbalikkan akar dari pertikaian sastra hingga kemudian menyeret Iwan Soekri dan Saut Situmorang ke ranah hukum, dengan tuduhan pencemaran nama baik, serta melakukan kekerasan verbal terhadap perempuan.
Andre Barahamin, Tentang Fatin Hamama, Satrio Arismunandar, & Denny JA Bagian II: Feminisme dan Kedunguan
Andai Saut Situmorang dipenjara, hanya karena ulah kecilnya mengatakan “bajingan!” dalam polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, maka kita akan kehilangan seorang kritikus yang kreatif memainkan “politik performatif ” dalam pergaulan sastra Indonesia kontemporer. “Politik performatif ”, seperti dianalisis Judith Butler dalam Excitable Speech, adalah suatu politik yang mempermainkan bahasa untuk bereaksi atas perilaku orang lain, dan menjadikan bahasa suatu tindakan politik itu sendiri. Dalam hal ini, Saut melakukan apa yang tidak pernah dilakukan dalam praktik kritik sastra di Indonesia
Muhammad Al-Fayyadl, Andai Saut Situmorang Dipenjara
Apakah Denny melakukan kejahatan dalam hal ini? Saya tidak ingin mengatakan sejauh itu. Ia saya kira hanya ingin menunjukkan bahwa jalan untuk menjadi tokoh sastra bisa dibangun dengan cara mudah, semudah ia meningkatkan elektabilitas para politisi yang menjadi kliennya—asal uangnya ada. Menurut saya kejahatan yang cukup berat dalam proyek “33 Tokoh Sastra” ini adalah Jamal D. Rahman melakukan manipulasi dan mencatut nama Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin dan menjadikannya alat legitimasi untuk pekerjaan nista yang ia lakukan bersama teman-temannya di Tim 8. Itu jika pengakuan Maman S. Mahayana, salah satu anggota tim, bisa dipercaya.
A.S. Laksana, 33 Tokoh Sastra, Sebuah Kejahatan Kultural
Review
Belum ada ulasan.