Menelaah sepak bola rasanya memang seperti menelaah kehidupan. Di dalamnya ada kalah dan menang, ada proses, ada filosofi yang mendasari suatu perbuatan, ada tangis dan tawa, ada konsekuensi, ada kegelisahan, dan masih banyak lagi. Sepak bola seakan menjelma menjadi hidup itu sendiri, namun tentunya dengan bentuk dan cara yang sangat berbeda.
Barangkali atas alasan itulah mengapa buku ini diberi judul ‘Sepak Bola Seribu Tafsir’. Ada begitu banyak tafsir dalam 90 menit sebuah laga di atas lapangan berlapis rumput hijau, dengan dua gawang yang berseberangan, satu bola, seorang pengadil, dan 22 pemain. Dari sana, semua alegori kehidupan tercipta. Dua tim saling beradu kecerdikan, kekuatan, dan ketahanan mental untuk meraih kemenangan atau justru untuk memahami kekalahan.
Adu kecerdikan, kekuatan, dan ketahanan mental itulah yang menjadi dialektika dalam sebuah pertandingan sepak bola. Seperti yang dikatakan filsuf eksistensialisme Prancis, Jean-Paul Sartre, sepak bola menjadi kompleks karena kehadiran tim lawan. Semua ide, filosofi, dan eksekusi bertumbukan semuanya di lapangan hijau. Inilah yang membuat terjadinya dialektika di dalam sepak bola menjadi mungkin. Hasil akhir suatu pertandingan kemudian disebut sintesis, yang nantinya akan berubah kembali menjadi tesis untuk diadu lagi dengan antitesis lainnya. Begitu seterusnya. Sangat dinamis dan tanpa kendat, laiknya kehidupan.
“Thanks God for football, beer and woman! Idiom itu sering diungkapkan oleh para suporter di Eropa sana. Menjelaskan bagaimana sepakbola sering dinikmati sebagai perayaan ketidaksadaran (bir) dan hasrat (perempuan). Buku ini seperti mengafirmasi hal itu karena ditulis dengan cara seperti seorang suporter di tribun yang menonton bola sambil dirasuki ketidaksadaran alkoholik.”
Zen RS, Penulis, Pecinta Bola.
“Saya sulit mengkategorikan apakah sedang membaca buku filsafat atau sepakbola. Kalau buku filsafat, mengapa begini mudah memahaminya? Kalau buku sepakbola, mengapa begitu berbobot isinya? Jarang sekali saya menemui penulis sepakbola indonesia yang seperti ini. Lebih jarang lagi menemui buku sepakbola berbahasa Indonesia yang bagus seperti ini.”
Yusuf Dalipin, Pemimpin Redaksi CNN Indonesia.
cekinggita –
Sebagai hal yang paling dibutuhkan oleh mahluk hidup, maka saya dapat pastikan bahwa kita semua pasti pernah makan. Terkait kebutuhkan pokok manusia tersebut, ada beberapa orang yang menganggap kegiatan makan telah selesai ketika makanan tersebut berpindah ke perut, tetapi ada juga yang berkisah lebih jauh dari itu. Seolah-olah kegiatan makan tidak berakhir di tenggorokan, dan juga tidak serta-merta dimulai dari suapan pertama ke mulut. Cerita tentang nasi, lauk pauk, juga sayur mayur yang tersaji di meja makan, dimulai dan diakhiri lebih jauh dari itu.
Sederhananya, cerita tentang makan tidak melulu tentang kenyang atau tidak kenyang,dan enak atau tidak enak. Ada kisah lanjutan, seperti bagaimana tubuhmu menjadi lebih bertenaga setelah makan, atau malah sebaliknya, yang menyebabkan hari-harimu menjadi berantakan. Bagaimana makanan tersebut, secara tidak langsung, mempengaruhi kehidupanmu dan orang-orang di sekitar. Juga ada cerita tentang pertimbangkan masak-masak, yang membuat kamu akhirnya memutuskan makanan ini yang mesti disantap, bukan yang lain. Pertimbangan soal harga, mungkin, atau kualitas, bahkan selera yang dapat mempengaruhi mood. Bisa pula terkait nilai sejarah yang hendak kamu kenang, atau malah sengaja kamu kejar demi pekerjaanmu. Iya, bisa saja kami bekerja di sebuah majalah yang membahas sisik-melik makanan, dan kamu membutuhkan data-data itu. Makan dan makanan dapat berkisah lebih jauh dari yang kita pikirkan.
Sebelum membaca buku Sepakbola Seribu Tafsir ini, saya memaknai sepak bola layaknya makanan yang kisahnya berhenti di tenggorakan.Pertandingan selesai saat peluit panjang ditiup, dan akan berlanjut pada pertandingan selanjutnya, sebagaimana halnya perpindahan dari satu meja makan ke meja makan lainnya. Dari sarapan, ke makan siang, snack, lalu makan malam. Memang semuanya berkesinambungan, namun setiap kali meninggalkan meja makanan, di situ cerita tentang makanan berakhir. Begitu pertandingan selesai, maka sepak bola pun selesai.
Ketika pertama kali membaca judulnya, saya mengira buku ini akan membahas tentang startegi di atas kertas. Akan menafsirkan formasi berbagai kesebelasan, tak ubahnya preview dan review yang biasa dikupas oleh media-media lokal. Tentu hal ini menarik. Mereka yang hobi sepak bola, sulit dijauhkan dari kegiatan membahas taktik. Sama halnya pada mereka yang hobi makan, lalu mulai tertarik membahas resep dan cara pengolahannya. Maka hadirlah buku resep untuk memenuhi kebutuhan mereka itu. Akan tetapi, ternyata, buku ini membahas sepak bola jauh melampaui lapangan hijau. Jauh dari stadion.
Tak terpikirkan oleh saya sebelumnya, selain seputar taktik, bursa transfer, dan ulasan skill dan kehidupan pemainnya, ternyata asyik juga mengulas gaya rambut Bacary Sagna dan Gervinho. Atau yang biasanya kita hanya membaca kerusuhan antar suporter sebagai sebuah tindak kriminal, namun melalui buku ini kita dapat memahami bagaimana membenci klub lawan adalah hal yang wajar.
Salah satu keunggulan dari Bang Edo, begitu biasanya sang penulis biasa disapa di media sosial, adalah kemampuannya meramu judul yang bombastis dan panjang-panjang, seakan hendak menyampaikan kepada dunia bahwa ternyata dirinyalah yang merancang judul-judul headline di koran lampu merah hijau. Ini saya cantumkan beberapa: “Bacary Sagna dan Gervinho; Posmodernisme dalam Tatanan Rambut Pesepak Bola”, “Di Antara Ledakan Bom dan Desing Peluru, ‘Spirit of Soccer’; Masih Ada di Irak”, “Mengapa ‘Tiki-Taka’ begitu Dasyat dan Kejam Sekaligus”. Judul-judul yang lainnya pun tak kalah menarik. Dan, berhubung buku ini adalah kumpulan tulisan, jadi kita tak diharuskan patuh untuk membaca urut dari depan. Karena saya sebelumnya tergolong penikmat sepak bola 90 menit plus preview dan review, maka yang saya baca terlebih dahulu adalah Imajinasi Taktikal: Italia, Jean-Paul Sartre, Zeman.
Bila Zen RS menyebutkan bahwa buku ini ditulis dengan cara seperti seorang suporter di tribun, maka, bagi saya, hal yang sama juga terjadi pada pembacanya. Saat membaca buku ini, saya seakan sedang menyaksikan sebuah pertandingan di stadion, lengkap menggunakan jersey dan pernak-pernik, lalu mendengarkan seorang teman menjelaskan hal-hal yang tidak saya ketahui tentang apa yang terjadi di luar lapangan, namun masih terkait dengan pertandingan yang sedang berlangsung.