maukah kau kucintai dengan cinta yang pernah kecewa? masih murnikahcinta yang pernah kecewa? apakah cinta itu cuma cinta pertama? kalaucinta pertama memang tak punya makna, lantas punya maknakah cintacinta berikutnya? aku ingin mencintaimu dengan cinta yang pernahkecewa. maukah kau menerimanya? maukah kau mencintai cinta yangpernah kecewa? aku ingin mencintaimu dengan cinta yang pernahkecewa, bukan dengan metafora metafora seperti penyair tua yang sok tahu tentang cinta itu! tapi apakah kau juga akan mencintaiku dengancinta yang pernah kecewa?
air hujan yang jatuh dari wuwungan rumah selalu mengingatkanku padamu… entah kenapa, air hujan selalu mengingatkanku padamu. apakah air hujan juga selalu mengingatkanmu padaku? entah kenapa, air hujan selalu mengingatkanku padamu.
baiklah aku akan melupakanmu seperti kau sudah melupakan namaku waktu kemaren kita bertemu di tangga tangga batu di kota kecil yang jauh itu. aku akan melupakanmu tapi aku akan mengingat namamu. aku akan melupakanmu tapi aku akan mengingat wajahmu. aku akan melupakanmu tapi aku akan mengingat cintamu, dulu. mana mungkin hujan berhenti turun ke bumi, mana mungkin aku berhenti mengenangmu? mana mungkin kau berhenti melupakanku?
Jogjakarta, 18 April 2013
(antara Aku dan Kau
terbentang samudera
kata kata, o Imajinasi!
di manakah akan Kudapat
perahu mimpi
untuk melayariNya?)
I.
perahu kayu berlayar
di bibirnya dengan kain
layar penuh berkibar…
ahooi pelaut yang mabuk
birahi buih ombak di
laut malam!
kapan pulang
ke muara
yang penuh harum
rindu sungai bening
tempat kekasih mencuci
rambut remajanya!
ahooi suara ombak
yang menampar
perahu! muara sungai
muncul dari
balik kabut
seperti perawan
malu malu
di malam pertama
menyambut!
ahooi!
di sebuah batu karang
dekat garis pantai
yang hitam
di malam yang kelam
terdampar bangkai
seekor camar.
ahooi pelaut yang lupa pulang,
tak ada bulan
jadi mercusuar
jalan pulang
malam ini!
tidurlah di kayu perahu
sambil kau cumbu
bayang kekasih
di kibar layar!
hanya suara anjing
yang melolong
di kejauhan pantai
menemani sang penyair
menghabiskan araknya
di karang yang sekarang
penuh cahya kunang kunang
kehilangan perahu
dan cinta
yang ditelan
metafora muara
kata katanya… ahooi!
II.
aku tak mau
jadi mercusuar
pelayaranmu,
mercusuar yang sendiri
dalam dingin malam malam
kesepiannya,
aku ingin terbakar hangus
sampai mampus
oleh birahi
yang tak putus putus,
di manapun cinta terendus!
Jogja, 2008
Irwan Bajang (terverifikasi) –
Selama ini, mungkin sebagian pembaca mengenal Saut Situmorang sebagai penyair protes. Puisi-puisi dalam buku pertamanya, “Catatan Subversif” setidaknya membenarkan anggapan tentang hal tersebut. Lalu beberapa puisi lain yang pernah terbit dalam “Otobiografi” juga menyertakan deretan puisi-puisi yang ingin mengguncang banyak hal; ketimpangan sosial ekonomi, busuknya politik dan para politisinya, pertemuan dengan orang-orang miskin-malang dalam perjalanan hidupnya, dan deretan puisi kritis lainnya. Di buku yang memuat edisi lengkap puisi-puisinya ini, ia bahkan membuat sebuah sub bab “Puisi Politik” di mana ia banyak mengkritik ketimpangan sosial ekonomi Indonesia, bahkan dunia secara luas.
Kuatnya kesan itu tidak bisa lepas dari sikapnya pada banyak hal: ia adalah pemilik suara yang keras melawan beberapa ketimpangan dunia sastra akibat dominasi kelompok tertentu, ia adalah orang yang selalu berbicara blak-blakan pada penipuan, pada skandal sastra. Sikap ini telah ia buktikan dengan menulis sebuah buku “Politik Sastra” yang berisi tulisan-tulisannya sebagai respons atas dunia sastra yang sesungguhnya tidak baik-baik saja. Bahkan ia menjadi pesakitan dalam kasus Skandal Sastra yang melibatkan banyak punggawa sastra Indonesia dalam kasus buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” yang terbit dan direspons ramai dalam dunia sastra. Ia rela menjadi martir, menjadi pesakitan atas apa yang ia bela dan apa yang ia kritisi. Ia tegak di hadapan hukum, di hadapan jaksa dan hakim yang dengan “politis” mengetok palu untuk menjatuhkan hukuman padanya.
Begitulah Saut, berani, blak-blakan, keras, kritis, kontroversial, adalah predikat-predikat yang selalu mengikuti namanya.
Tapi Saut juga adalah sosok yang lembut sekaligus melankolis, ia menulis puisi-puisi cinta yang begitu menyentuh, bahkan cenderung mengiris-iris perasaan. Dengan gaya tutur yang terang-benderang, ia menghadirkan puisi-puisi cinta yang sanggup membuai dan bahkan membuat merinding pembacanya.
Puisi-puisi cinta dalam Perahu Mabuk adalah puisi-puisi cinta yang dipilih dan dihadirkan untuk menunjukkan sosok penuh kelembutan sebagai sisi lain hidup seorang penyair pemberani. Bukankah Pablo Neruda juga adalah seorang penulis sajak cinta yang begitu menghanyutkan? Bukankah semua puisi protes juga adalah bagian dari sesuatu yang lahir akibat kecintaan yang begitu mendalam?
Saut Situmorang lewat Perahu Mabuk membuat kita mengamini apa yang pernah disampaikan Che Guevara dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Carlos Quijano, editor Marcha, majalah mingguan independen yang radikal di Montevideo, Uruguay. Dalam surat itu, Che menulis; “…ijinkanlah saya mengatakan, bahwa revolusioner sejati senantiasa dibimbing oleh perasaan kecintaan yang dalam. Adalah mustahil membayangkan seorang revolusioner sejati yang tidak memiliki kualitas ini…”
Selamat membaca Puisi Cinta!