di jemarimu semua berubah menjadi puisi, serupa midas meremas cemas menjelma emas. di jemarimu sunyi berharap lagi
engkau ingin berdiang pada unggun sajak, tapi malam demikian telengas, menggigilkan udara dengan segala kenang
ingin serupa cermin, yang jujur dengan diam yang melebihi kata. engkau berkata: wahai pertapa, mulutmu gua tersunyi yang pernah ada
“ini musim ketiga? kemarau di kalender ajisaka. angin dingin menyusup di terik cahaya.”
tak menjawab tanyaku. engkau malah berseru, “menye-menye, galau ababil.” mengabukan segala pikiran tentang politik dan kekuasaan. di malam yang puisi,
“hidup butuh sarkas yang keras, ironi yang tak terperi getirnya. agar tetap tegar yang sanggup bertahan.” matamu semakin berapi
aku menduga di dalam kepalamu ada seekor ikan berkecipak melawan arus, menuju hulu rindu, menuju sumber asal mula
“anti-mainstream” engkau bergumam sendiri. aku melihat ikan yang mewariskan jejak para anarkis berenang dalam kepalamu.
“jika ada paragraf rindu. aku tak mau tersesat di situ.” matamu api membakar helai demi helai segala masa lalu.
di menara gading itu engkau berumah, diasuh badai angin. “tak ada gading yang tak retak,” ujarmu dari gedung gading menara gading
ketika aku bercerita tentangmu, anak-anak berseru: “cungguh? miapah? ciyus?” berulang-ulang
berulang-ulang cetar membahana
Review
Belum ada ulasan.