“Aku tidak ingin cinta yang sejati. Tapi biarkan aku mencicipi cinta yang bukan sesaat. Biarkan aku berjuang dan bertahan di sana. Biarkan aku tersiksa untuk terus belajar bersetia. Aku rela tenggelam di sana, sebagaimana segelintir orang yang beruntung mendapatkannya.”
― Puthut EA, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
“Benar bahwa kamu punya hak untuk mencoba menemukan pengganti perempuan itu. Tapi bukan begitu caranya. Ibarat seorang atlet yang cedera, seharusnya disembuhkan dulu luka itu, baru berlatih lagi dan bertanding lagi. Sebab jika ia terluka dan tetap berlatih serta bertanding, kamu akan semakin terluka, bahkan jika kasus itu sepertimu, bisa melukai orang lain.”
― Puthut EA, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
“Mengapa kamu beri aku imbalan yang sangat besar untuk kerjaku yang sangat sederhana ini? Sementara aku tahu orang-orang di sekitarmu kamu peras keringat dan pikirannya, kamu lucuti mental hidupnya.”
― Puthut EA, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
“Lalu datang masa gigil itu. Dingin yang membekap erat tulang punggungku. Memerasnya, memelintirnya sampai kepada rasa sakit yang tak tertanggungkan. Sampai kepada hening yang paling bening. Sampai kepada gunung hijau tinggi. Sampai kepada langit biru tinggi. Sampai kepada pucuk daun lembut tinggi. Sampai kepada aku yang kecil dan terbang. Aku benci kebebasanku. Aku benci kehebatanku. Aku benci orang yang mengagumiku. Aku benci orang yang menerimaku. Aku benci mengapa aku dibiarkan menempuh perjalanan sunyi ini seorang diri.”
― Puthut EA, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
Happy Ari, goodreads.com –
Cuma ini Pesan untuk pembaca novel yang susah didapatkan ini “…tapi hati-hati, novel itu sudah menjodohkan puluhan pasangan.
Danu Saputra, goodreads.com –
Buku ini selalu tepat waktu untuk dibaca, membuat saya merasa mengalami sendiri kejadian-kejadian di dalamnya.
Nadia Fadhillah, goodreads.com –
Baca novel ini rasanya seperti baca puisi. Pemilihan katanya bagus diksinya tepat dan cerdas.
Sialnya tokoh utamanya persis aku. Sial! ok
dhilayaumil –
“Aku telah mencintai seorang perempuan, dan dia meninggalkanku. Satu-satunya kesalahanku adalah karena aku terlalu mencintai perempuan itu, dan sialnya aku tidak bisa mencintai yang lain lagi.” (Hal. 15)
Novel ini berkisah tentang tokoh ‘Aku’–seorang lelaki, mantan aktivis ’98 yang hingga akhir cerita tak diketahui namanya–yang dalam perjalanannya melupakan dan menyembuhkan hati, justru dipertemukan kembali dengan yang dicintainya. Sayangnya, seperti judul novel ini, cinta tak pernah tepat waktu. Begitu pun untuk tokoh utama novel ini. Orang yang ia cintai tiba-tiba muncul di hadapannya. Bukannya senang, tokoh utama kita justru harus dihadapkan pada kenyataan bahwa perempuan yanh dicintainya sudah menjadi milik lelaki lain.
Maka, ia memilih mencintai dengan cara yang paling sunyi.
Dalam perjalanannya untuk menyembuhkan luka, Si Aku mengalami banyak kejadian yang kelak membuatnya merenung dan mengerti bahwa dalam hidup apa yang kita inginkan kadang-kadang tidak sepenting apa yang kita miliki. Bahwa luka, kadang-kadang tidak hanya memberikan rasa sakit atau perih, tapi juga pelajaran berharga dalam proses penyembuhannya.
Novel ini dibuka dengan prolog tentang betapa ‘sial’nya kehidupan tokoh Aku ini, terutama soal cinta. Selanjutnya pembaca akan dikenalkan dengan beberapa perempuan yang menjalin hubungan dengan tokoh Aku dalam rangka menyembuhkan luka hatinya. Berhasilkah ia melupakan mantan kekasihnya yang sudah menjadi istri orang lain? Bagaimanakah pergolakan pemikiran, proses pencarian cinta, dan upaya tokoh utama kita dalam menyembuhkan penyakit yang dideritanya? Silakan baca sendiri. 😀