Tak pernah sedikit pun terlintas di benak Ellaire Cantara Amani bahwa dirinya, bisa-bisanya, dijemput oleh kereta yang melayang di udara.
Kala itu adalah pagi hari di pengujung bulan Januari. Langit cukup cerah kendatipun hawa dingin menyelimuti Jakarta—tak seperti biasanya, namun tak ada yang benar-benar peduli, kecuali keluhan atas cuaca yang mudah bikin sakit masuk hitungan. Bekasbekas hujan semalaman membasahi aspal jalanan. Terik mentari menyeruak masuk dari balik tirai putih kamar gadis bernama panggilan El itu, menerpa rambutnya yang pirang berantakan.
Jarum pendek jam dinding singgah di simbol lima. Sudah sejam semenjak El duduk melamun di pinggir ranjang. Matanya mengawang-awang.
“Tunggulah sepuluh tahun lagi.” El bekernyit, pelipisnya berdenyut tatkala suara aneh itu bergema lagi dalam rongga telinganya. Kepalanya terasa kompong meskipun pecahan-pecahan peristiwa yang menjadi bagian dari mimpinya masih berputar-putar tak mau pergi. Aneh sekali. Seolah-olah ia terjebak dalam dunia hampa yang tak bosanbosannya memutar suara itu laksana kaset rusak, yang secara aneh juga tidak bosan-bosannya didengar El.
Bunyi cicit entah burung apa dari luar jendela memutus ikatan El dengan dunia hampa itu. Akhirnya ia mengerjap-ngerjap, mencoba mengembalikan kesadarannya, lalu bangkit dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Hanya sekadar membasuh seperlunya, menggosok gigi, mengambil wudu, kemudian keluar lagi. Udara dingin menelusuk tulangnya, sehingga El buru-buru memakai pakaian: kaus lengan pendek abu-abu, bawahan sekolah biru muda, serta kaus kaki putih—perpaduan warna-warna kesukaannya selain si favorit yang sesungguhnya: hitam. Selain itu, ia mengenakan jaket sekolah pula, karena ia pikir bawahan sekolah tanpa atasannya masih kurang meyakinkan untuk naik bus sekolah secara gratis.
…
Penggalan Black Circus: Peti Penyimpan Rahasia
Review
Belum ada ulasan.