Novel ini pernah mendapat somasi dari Majelis Mujahidin Indonesia. Pemicunya adalah ketika resensi Chavchay Syaifullah dimuat di Harian Media Indonesia, 6 November 2005. Berkisah tentang Adam Hawa yang tak ada dalam Kitab Suci.
Dalam resensi Endah Sulwesi dituliskan: “penulisnya menyajikan dua versi “unik” mengenai penciptaan Adam. Versi pertama, ia mengartikan secara harfiah Adam yang dibuat dari tanah. Versi kedua, Tuhanlah yang “melahirkan Adam”. Karena Tuhan tak memiliki rahim dan vagina, maka Adam lalu dikisahkan lahir lewat ketiak Tuhan yang dipenuhi bulu. Sungguh imajinasi yang, hmm, nakal. Saya bisa paham jika ada pembaca yang tidak berkenan dan misuh-misuh. Saya tidak tahu deh bagaimana reaksi FPI kalau membaca novel tipis ini.”
Bagian Satu: Adam dan Maia ~ 11
Bagian Dua: Adam dan Hawa ~ 52
Bagian Tiga: Maia dan Idris ~ 78
Bagian Empat: Khabil dan Munah ~ 101
Bagian Lima: Marfu’ah dan Khabil ~ 124
Bagian Enam: Adam dan Marfu’ah ~ 151
piosantos –
Awalnya, ADAM dilukiskan sebagai manusia pertama yang memiliki kegalauan identitas. Setiap malam hanya ditemani oleh Si Penjaga Mimpi, yang selalu memberinya bermacam-macam cerita dalam tidur Adam. Maksudnya di sini adalah mimpi, bunga tidur. Pertanyaan terbesar Adam, tentang kelahirannya, diceritakan oleh Si Penjaga Mimpi ini dengan dua versi: Bahwa Adam lahir diciptakan dari tanah (yang kemudian akan diceritakan pada keturunan-keturunannya lewat kitab suci), dan versi keduanya Adam dilahirkan lewat ketiak Tuhan. Kesombongan pertama Adam dalam cerita ini nampak dari pilhan Adam yang lebih suka dengan ide cerita kedua karena dia tidak menyukai konsep tanah yang kotor dan hina. Dalam kesendiriannya pun, Adam juga berharap mendapatkan teman yang setara, karena selama ini dia selalu merasa asing diantara ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya di Taman Eden. Tuhan Yang Maha Baik sampai tiga kali mengabulkan permohonan Adam lewat kedatangan Maia, Idris, dan sampai pada akhirnya Hawa, namun tetap saja kesombongan Adam membuatnya tidak pernah bersyukur hingga ajalnya.
Buku yang cukup ringan dan menghibur dari sisi penceritaan ini mengandung pesan yang sangat tajam di dalamnya. Sosok Adam, sang Putera Tuhan, yang dengan segala kesombongannya merasa memiliki hak atas segala apapun di muka bumi beserta segala hukumnya, menurut saya tak jauh berbeda dengan kaum-kaum yang menyindir tulisan Gus Muh dan memberi label ‘sesat’ pada buku ini. Kita bisa membandingkan sosok ADAM dengan kaum-kaum yang merasa benar dan sudah menjadi wakil Tuhan di bumi ini, kaum-kaum yang bisa dengan mudahnya merendahkan dan memberi label ‘sesat’ pada mereka yang tidak sejalan. Lalu ada MAIA sebagai gambaran mereka yang memberontak dan tidak mau ditindas begitu saja, yang memiliki sakit hati mendalam pada Tuhan dan mereka yang terlalu tinggi merasa sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dan ada HAWA, yang menggambarkan mereka yang benar-benar tunduk pada suami, yang di satu sisi bisa menunjukkan bahwa kekerasan bisa diimbangi oleh kelembutan, namun di sisi lain terlalu pasrah dan tidak punya keberanian bahkan untuk sedikit mempertahankan hak-haknya. Padat akan filsafat dan isu sosial bagi mereka yang mau membuka pikiran ketika membaca buku ini, namun bisa seketika menimbulkan judgement bagi mereka yang berpikiran sempit.
Siapa kamu, sampai merasa sebenar itu dan membawa nama Tuhanmu demi menengakkan ‘kebenaranmu’? Sesombong itukah kalian wahai ADAM, yang merasa setinggi itu sebagai ‘Wakil Tuhan’ sampai merasa berhak merendahkan kaum yang tidak sejalan dengan hukum kalian?
Baca. Baca. Baca. Pesan Tuhan tidak pernah sekaku dan sesempit itu.