Orang-orang yang tinggal di bagian timur Indonesia adalah warga negara Indonesia yang diakui keberadaan mereka, setidaknya di Kartu Tanda Penduduk (KTP), tercantum kewarganegaraannya.
Namun, walaupun mereka warga negara Indonesia, kenyatataan yang saya lihat mahasiswa Papua di Gorontalo, tempat saya tinggal saat ini, mereka selalu dikucilkan. Saya tidak begitu paham mengapa mereka dikucilkan. Di kampus saya, terdapat sebuah stigma untuk menjauh atau menjaga jarak dari orang-orang Papua, dengan alasan aroma yang keluar dari tubuh mereka tidak disukai oleh mahasiswa lain.
Selain itu, sebuah stigma yang ada di kalangan mahasiswa adalah, orang Papua adalah orang yang terbelakang dalam hal intelektual, teknologi dan bahkan budaya. Masih banyak yang menganggap mereka primitif.
Sebagai orang yang belum pernah menginjakan kaki di tanah Papua. Saya sebenarnya belum pantas untuk membuat sebuah opini tentang Papua (baik itu tentang Kekerasan HAM, toleransi, adat, rasialisme) atau apa pun yang berhubungan dengannya. Menulis tentang orang Papua, dari saya sendiri adalah sebuah pertanyaan dari dalam hati:
“Orang Papua adalah Warga Negara Indonesia. Mempunyai hak yang sama dan setara dengan penduduk lainnya di Indonesia. Tapi kenapa mereka seperti dikucilkan oleh orang-orang non-Papua?”
Padahal dalam Undang-undang No.12 Tahun 2006 yang mengatur tentang kewarganegaraan republik Indonesia, di mana azas kewarganegaraan yang dianut adalah ius sanguinis yakni, kewarganegaraan berdasarkan pertalian darah. Selain tentang kewarganegaraan, ada banyak undang-undang yang mengatur tentang hak warga negara untuk merdeka dan bebas dari penjajahan. Misalkan, pada pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang mengatur tentang hak warga negara untuk memiliki kedudukan sama dalam hukum. Atau dalam pasal 27 ayat 2 UUD 1945 mengatur tentang hak warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
***
Saya kuliah disebuah kampus yang terletak di Kota Gorontalo. Di kampus itu, terdapat sejumlah mahasiswa dari berbagai daerah, termasuk dari Papua. Di kampus saya ini, mahasiswa Papua seperti dikucilkan. Selalu tersisihkan, baik di kelas, dalam forum, maupun dalam hal-hal lain.
Suatu waktu, saya mengajak ngobrol salah seorang kawan saya yang berasal dari Papua. Namanya Lenus, dia orang asli Papua (OAP). Kesehariannya di kampus sama seperti mahasiswa biasa, mengikuti perkuliahan dan mendapatkan nilai. Lenus mengambil Program Studi Ilmu Administrasi Bisnis.
Lenus datang jauh-jauh dari Papua kuliah di Gorontalo hanya untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya, agar kelak ketika dia di wisuda, pulang kembali ke Papua dan membangun tanah kelahirannya agar bisa sejajar dengan daerah lainnya di Indonesia. Padahal yang saya tahu, di Papua sendiri ada banyak perguruan tinggi yang tak kalah dengan perguruan tinggi di banyak tempat di Indonesia.
Setelah itu dengan bersemangat Lenus bercerita tentang perjalanannya dari Papua ke Gorontalo. Ia sendiri mengambil jalur laut, dengan waktu tempuh 7 hari atau seminggu. Selain jalur laut, mahasiswa perantau asal Papua bisa menggunakan jalur udara, yang lebih cepat tetapi memerlukan biaya yang cukup besar.
“Kawan, ceritakan kepada saya tentang daerahmu Papua,” pinta saya pada Lenus.
“Di Papua itu tidak seperti di sini (Gorontalo),” katanya.
“Bedanya apa kawan?” tanya saya.
“Kalau di sini, di jalan-jalan itu hanya ada motor dan mobil. Tapi kalau di Papua itu juga ada pesawat. Biasa kami pakai untuk ke sana kemari,” ucap Lenus.
Saat itu ia mengenakan sebuah gelang khas bintang kejora warna merah dan garis-garis biru yang melingkar di pergelangannya.
Perbincangan itu saya tekankan dalam seputaran kehidupan kampus. Lenus juga pernah mengikuti pemilihan putra-putri kampus. Hanya dia satu-satunya peserta laki-laki asal Papua. Ia tipikal orang yang percaya diri, dan tidak berkecil hati sedikit pun untuk mengikuti kegiatan itu, meski kadang ada saja yang memandangnya sebelah mata. Belakangan saya mendengar kabar, bahwa kawan saya itu telah pindah ke kampus di kampung halamannya di Papua.
Rasisme Kepada Orang Papua
Suatu ketika di tahun 2017. Kami melaksanakan kuliah orientasi, yang mengambil tempat di Makassar, Sulawesi Selatan. Pelaksanaan kuliah orientasi diikuti oleh seluruh mahasiswa semester 4 (genap). Semua mahsiswa yang mengikutinya terlihat antusias. Termasuk mahasiswa asal Papua, yang pada saat itu dua orang yang ikut. Keduanya adalah perempuan.
Sewaktu para mahasiswa mengikuti perjalanan ke instansi-instansi Pemerintah Kota Makassar menggunakan bus. Para mahasiswa lain menolak untuk satu bus dengan mahasiswa yang asal Papua. Dengan alasan yang sangat tidak logis bahwa, para mahasiswa asal Papua, mengganggu kenyamanan mahasiswa lain dengan aroma tubuh dari mahasiswa Papua.
Hingga akhirnya, mahasiswa asal Papua itu kemudian dipindahkan ke mobil lain, agar mahasiswa yang protes itu tidak terganggu.
Saya merasa malu dengan sikap teman-teman yang protes itu. Sikap mereka telah menyinggung perasaan dari mahasiswa Papua. Tak ada toleransi dan justru cenderung bersikap rasis kepada orang Papua. Saya sering bertanya kepada diri sendiri, “Apakah toleransi diajarkan hanya untuk teori, atau disebut-sebutkan dalam forum?”
Sekali lagi saya tekankan, saya bukanlah orang yang tepat untuk menulis tentang Papua. Papua bagi saya adalah daerah yang misterius. Banyak mitos-mitos yang ada sampai saat ini, yang belum diketahui oleh publik. Berita-berita, kabar, atau tulisan tentang Papua beredar di berbagai media. Tetapi, sampai detik ini belum ada yang mampu menjawab kapan akan berakhirnya ketidakadilan kita terhadap saudara yang tinggal di timur Indonesia.
Mereka tetap merasakan hal yang sama semenjak negeri ini merdeka. Mulai dari kekerasan HAM (hak asasi manusia), rasisme, hingga eksploitasi terhadap sumber daya alam.
Warga Papua atau Orang Asli Papua (OAP) adalah bagian yang paling penting dari sejarah negara ini. Secara administrasi (KTP) mereka merupakan rakyat Indonesia yang perlu dilindungi, diperhatikan. Baik dari pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, akademisi, mahasiswa, terutama dari masyarakat.
Teman saya Lenus K. Weanach asal Papua menjadi representasi dari wajah masyarakat Papua. Cita-cita untuk membangun daerah terdengar sederhana, namun termaktub di dalamnya sebuah kekecewaan terhadap pemerintah Indonesia, yang dari dulu hingga sekarang banyak memberikan janji namun sering dilupakan. Apa yang terjadi pada mahasiswa Papua tadi juga terjadi di banyak tempat.
Toleransi, kata yang seharusnya dijunjung tinggi di manapun, hanya menjadi sebuah kata tanpa makna. Menjadi bahan diskusi, menambah wawasan, dalam praktek kehidupan justru berbanding terbalik. Kasus kekerasan terhadap mereka, bukan hanya di luar pulau Papua, tetapi di pulau mereka sendiri juga masih ada.
Stigma buruk terhadap mereka selalu ada. Tukang bikin onar, suka mabuk, bahkan dicap separatis. Kesalahan ditimpakan kepada mereka, karena dianggap sebagai biang masalah. Tetapi, ketika mereka berusaha bersuara dengan cara mereka sendiri, malah dikebiri, ditindaki dengan perlakuan yang tidak manusiawi.
Indonesia telah berdiri 70 tahun lebih. Kebijakan yang diambil, yang seharusnya menjadi solusi di tengah mereka terhadap permasalahan yang ada, sampai saat ini belum ada yang efektif. Perhatian terhadap persoalan pembangunan, kesejahteraan sosial terfokuskan di belahan lain Indonesia ini. Mungkinkah pemerintah melupakan atau sengaja melupakan mereka?
Saya tidak bisa menyalahkan pemerintah sepenuhnya. Saya terus berharap, di negeri akan datang, sebuah harapan kepada rakyat Papua untuk mendapatkan hak yang sama seperti yang lain. Semoga.***
Muh. Fadhil A.If. Hadju*
Mahasiswa STIA Bina Taruna Gorontalo, jurusan Ilmu Administrasi Negara, Semester delapan.
*Tulisan ini merupakan opini penulis sebagai bentuk refleksi setelah membaca buku Ufuk Timur Sebuah Perjalanan dan Perjumpaan di Tanah Papua yang ditulis oleh Christopel Paino.