Melalui akun Facebook-nya pada 24 Juni 2017, Irwan Bajang mengunggah status berjudul Buku Tanpa Penerbit dan ISBN di berandanya. “Habis lebaran nanti saya mau menerbitkan buku. Tanpa penerbit dan tanpa ISBN. Serius. Saya ingin tunjukkan pada semua penulis bahwa menerbitkan buku itu tidak perlu rumit dan tidak perlu aturan aneh-aneh. Ini serius. Saya bahkan nggak akan pakai nama penerbit yang saya dirikan dan saya kelola selama ini,” tulis pendiri Penerbitan Indie Book Corner.
Kemudian Ricardhus Benny Pradipta menanggapi status Irwan, “Buku Tanpa Penerbit , Tanpa Review Kritik (endorsement), dan Tanpa ISBN itu dibeli atau tidak? Sesudah kuliah selesai, saya akan menerbitkan buku. Tanpa penerbit dan tanpa ISBN. Serius. Saya juga ingin tunjukkan pada semua penulis bahwa menerbitkan buku itu tidak perlu rumit dan tidak perlu aturan aneh-aneh. Ini serius. Saya bahkan nggak akan pakai nama penerbit yang membesarkan nama saya selama ini.”
Penerbit Buku dan ISBN
Secara sederhana penerbit buku adalah suatu badan usaha yang bergerak di bidang pengelolaan penerbitan buku, contohnya Gramedia Pustaka Utama, Kompas, Mizan, Indonesiatera, dan lain-lain. Badan usaha ini biasanya dikelola oleh beberapa orang, mulai dari penyunting, pemeriksa aksara, penata isi, penata artistik, bagian pemasaran, dan sebagainya.
Penerbit buku biasanya menerima karya-karya penulis yang layak diterbitkan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, tergantung masing-masing penerbit. Kriteria utama dalam industri buku, biasanya, adalah naskah-naskah yang berpotensi daya jual atau ditulis oleh pengarang yang sudah dikenal oleh kalangan pembaca buku. Jasa penulis disebut dengan royalti –yang nilainya sekian persen dari harga buku– dibayarkan pada kurun waktu tertentu. Industri selalu berkaitan dengan modal. Modal mengelola, mencetak, menjual-memasarkan buku.
Sementara ISBN (International Serial Book Number) adalah nomor penerbitan sebuah buku yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional. Salah satu maksud adanya ISBN ini adalah agar sebuah buku yang diterbitkan dapat diketahui pula oleh negara lain atau seluruh dunia. Untuk mendapatkan ISBN, sebuah penerbit akan mengajukan surat permohonan kepada Perpustakaan Nasional. Sejak 2014, pengurusan ISBN memang “agak rumit” karena sebuah penerbit harus memiliki surat notaris.
Dewasa ini tidak sedikit penerbit yang muncul dan menawarkan kemudahan bagi penulis untuk menerbitkan buku dengan sebutan “penerbitan mandiri” (self-publishing). Melalui penerbitan ini urusan ISBN sampai pemasarannya sudah bisa dikelola oleh penerbitan tersebut. Mengenai royalti, sudah pula dipajang pada situs internet penerbit.
Membuat Buku Sendiri
Bisakah membuat buku sendiri tanpa penerbit dan ISBN? Bisa, dan mudah saja. Kalau sudah siap, baik sampul dalam format JPG maupun isi dalam format PDF, naskah bisa langsung dikirim ke sebuah percetakan.
Selain sudah banyak penerbitan yang memberikan kemudahan tanpa perlu mempermasalahkan isi apalagi mutu karya, banyak percetakan yang muncul di pencarian internet. Banyak percetakan yang mencantumkan biaya cetak, nomor telepon, atau alamat surat elektronik di website atau sosial medianya. Percetakan akan mencetak naskah sesuai dengan permintaan (sampul, isi, spesifikasi bahan buku). Dengan adanya sistem print on demand (POD) jumlah buku yang dicetak bisa minimalis, semisal 10-20 eksemplar per judul. Hal ini semakin meramaikan industri perbukuan.
Tidak perlu nama penerbit. Kalau mau, buatkan saja. Misalnya “Penerbit Slamet Bersaudara”, tanpa perlu repot mengenai legalitas apa pun. Kalau sekadar untuk membukukan karya sendiri, boleh saja tanpa ISBN. Tanpa ISBN berarti buku yang diterbitkan tidak tercatat pada katalog Perpustakaan Nasional. Bagi penulis yang tidak mempermasalahkan keberadaan arsip bukunya dalam katalog resmi Perpustakaan Nasional, tanpa ISBN pun buku bisa tercetak dan terbit. Toh, yang terpenting naskah bisa dibukukan dengan biaya sendiri yang sudah disepakati dengan pihak percetakan.
Kisaran Biaya Cetak untuk Satu Judul Buku
Dengan modal sekitar Rp.700.000,00 untuk wilayah di luar Jawa (terkait dengan ongkos kirim), buku yang dikerjakan dengan cara self-publishing bisa dicetak dengan jumlah sekitar 20 eksemplar. Mengenai biaya cetak, bisa langsung dicari melalui mesin pencari internet. Perlu diingat, semakin sedikit oplah cetak buku maka biaya cetak semakin mahal.
Seseorang yang biasa menulis pasti memiliki naskah yang siap dibukukan. Mengenai berapa halaman atau tebal-tipis sebuah buku, bisa diperkirakan sendiri berdasarkan ukuran buku. Kemudian naskah yang sudah ada tersebut diolah sendiri. Salah satu hal yang perlu diperhatikan sebelum mencetak naskah menjadi buku, sampul dan isi sudah dipersiapkan dalam format JPG dan PDF.
Dengan kesiapan naskah sekaligus modal sekitar Rp.700.000,00, apakah sulit bagi seseorang dengan penghasilan bulanan sekitar Rp.3.000.000,00? Jika sudah diperhitungkan secara saksama, misalnya menabung Rp.200.000,00, atau Rp.100.000,00 per bulan, tentu bukanlah hal yang sulit.
Siapa Pun Bisa Mewujudkannya
Apa yang disampaikan oleh Irwan Bajang dan Ricardhus Benny Pradipta tentang menerbitkan buku tanpa penerbit dan ISBN bukanlah suatu khayalan yang muluk-muluk. Naskah dan biaya. Dua hal saja yang paling penting agar siapa pun bisa menerbitkan bukunya sendiri tanpa perlu repot memikirkan bagaimana mutu buku, siapa peminatnya, dan seberapa laris buku terjual. Kalau sekadar menerbitkan buku tanpa penerbit dan ISBN, ya, memang begitu mudah mewujudkannya. Bukankah tujuannya cuma membukukan karya sendiri?
Kalau bisa mudah, mengapa harus dipersulit?