Kolom, Pemasaran Buku

Mitos-Mitos tentang Penerbitan Konvensional

Jadi ceritanya naskahmu sudah selesai, sudah mantap untuk diterbitkan, tapi kamu masih galau bagaimana dan di mana menerbitkannya. Yaelah, gitu aja kok bingung, santai aja keles.

Ada dua macam penerbitan menurut  Wikipedia; penerbitan konvensional dan penerbitan indie (juga biasa disebut penerbitan mandiri atau self publishing). Jika kamu seorang penulis pemula yang tidak memiliki cukup budget untuk menerbitkan bukumu, tentu kamu butuh penerbitan konvensional untuk menerbitkannya. Eits, tapi tunggu dulu, kamu sudah tahu belum apa saja mitos tentang penerbitan konvensional? Kalau belum, ada baiknya kamu cari kursi, duduk selonjoran yang anteng, pakai kacamata baca (kalau emang punya dan butuh), lalu membaca artikel ini.

(Diterjemahkan dari 5 Myths of Traditional Publishing – www.wiseinkblog.com)

 

Mitos #1: Bukumu; Kuasamu.

Bukumu itu seperti bayimu. Kamu membawanya dalam dirimu selama berbulan-bulan, dan setelah proses yang panjang dan menyakitkan untuk membawanya ke dunia, kamu mungkin ingin menjadi satu-satunya orang yang menamainya.

Ketika kamu menyerahkan naskahmu ke penerbitan konvensional, maka naskah itu menjadi milik mereka. Mereka memiliki kekuasaan eksekutif atas desain sampul, tata letak, dan judul. Bahkan ketika kamu benar-benar menyukai nama “Andromeda,” jika penerbit percaya “Kelly” lebih mungkin diajak ke pesta dansa oleh New York Times, maka itulah nama yang akan mereka pakai dan tidak ada yang dapat kamu lakukan tentang hal itu.

Tentu saja, orang-orang yang memberi nama bukumu adalah para profesional, dan mereka memiliki alasan yang baik kenapa mereka ingin memveto judul bukumu.

 

Mitos #2: Kamu berhasil! Sekarang berhentilah dari pekerjaanmu.

Kebanyakan penulis baru dengan penerbitan konvensional akan mendapatkan keuntungan sebesar 10-100  juta (keuntungan di depan mungkin atau tidak mungkin terjadi, tergantung pada penjualanmu). Paling tidak, kamu punya pendapatan yang cukup untuk membayar kopi yang kamu beli saat sedang menulis.

Bahkan dalam skenario bagus, kamu akan lebih baik berada di belakang konter membuatkan latte dibanding menjadi penulis yang sedang berjuang. Starbucks bahkan memiliki asuransi kesehatan untuk karyawannya.

Intinya: bukumu adalah bayimu, bukan ternak. Menulis, terlepas dari bagaimana cara kamu  mempublikasikannya, bukanlah sebuah karier yang harus kamu cari dengan berorientasi pada uang.

 

Mitos #3: Penerbitmu akan meluncurkan kampanye pemasaran yang besar.

Sebagian penerbit besar menyediakan anggaran besar untuk pemasaran mereka bagi nama-nama yang besar dalam daftar mereka (yang bisa jadi tidak termasuk penulis pemula). Sebagian penerbit kecil menyediakan sedikit atau bahkan tidak sama sekali anggaran pemasaran. Bagaimanapun kamu akan mendapatkan dukungan, tetapi mungkin kamu tidak akan mendapatkan tur launching buku.

Banyak penulis yang menerbitkan buku secara konvensional menggunakan uang mereka sendiri untuk iklan, sama seperti penulis yang menerbitkan buku secara mandiri (kecuali belakangan mereka mendapatkan lebih banyak untung dari iklan mereka, sehingga buku-bukunya dapat terjual sepuluh kali lebih banyak). Penulis yang namanya ada di tengah-tengah daftar diperkirakan bisa saja menjual 10.000 eksemplar, yang mungkin cukup mendapatkan untung.

 

Mitos #4: Jika kamu mendapat uang muka, bukumu dijamin akan terbit.

Ini bukan sekadar mitos, lebih kepada asumsi: jika penerbit telah membayar untuk sebuah buku, mengapa mereka tidak menerbitkannya? Tapi, jika penerbit memberikan sedikit sekali uang muka, mereka mungkin tidak terlalu berinvestasi pada karyamu. Toh bukan mereka yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menulis buku itu. Kejam ya?

Penulis buku terlaris USA Today Dean Wesley Smith mengklaim telah menjual tujuh belas buku yang tidak pernah dicetak. Hal seperti itu terjadi juga pada Jane Austen.

Jika kamu mempublikasikan secara konvensional, kami sarankan pastikan dalam kontrak tertulis bahwa penerbit akan menerbitkan bukumu dalam jangka waktu tertentu (biasanya 18-24 bulan). Dapatkan hak-hak itu kembali!

 

Mitos #5: Setelah kamu menerbitkan sebuah buku, kamu dapat mengharapkan hal itu terjadi lagi.

Jadi bukumu tidak terjual seperti apa yang diinginkan oleh penerbitmu. Tapi kamu adalah seorang penulis, kamu tidak akan menyerah hanya karena novel pertamamu kurang sukses.

Kamu dan penerbitmu sudah seperti keluarga sekarang, dan kamu tahu mereka sama bersemangatnya untuk kembali pada bisnis seperti kamu.

Kelihatannya seperti itu, padahal sebenarnya tidak begitu. Jika buku pertamamu tidak menghasilkan banyak uang, penerbitmu mungkin tidak akan mau bukumu yang berikutnya. Begitu juga dengan teman-teman mereka. Sedikit kesalahan dan kamu dapat secara tidak resmi ditendang dari klub elit penulis-penulis yang melakukan penerbitan konvensional.

Hal ini terjadi pada penulis-penulis tengahan sepanjang waktu. Sementara beberapa dari mereka membuang mesin ketik mereka, semakin berambisiuslah mereka untuk kembali kepada teman lamanya, penerbitan mandiri.

 

———-

Jadi begitulah kurang lebih beberapa mitos tentang penerbitan konvensional. Kamu boleh berharap bahwa naskahmu bisa diterbitkan oleh mereka dan akan banyak keuntungan kamu dapatkan. Tapi kamu juga harus selalu siap jika pada akhirnya naskahmu dicampakkan dan karier menulismu menjadi jalan yang berat nan berliku. Jika mentok tak ada satu pun penerbitan konvensional yang mau menerbitkan naskahmu, jangan buru-buru gantung diri. Karena self publishing jawabnya. Kami akan dengan senang hati menerbitkan karyamu. Ciee mesem..

 

Tinggalkan Balasan