Ada banyak sekali penulis di planet ini, dan hampir semuanya mampu menulis dengan baik dan benar. Dan ini anehnya, ternyata kemampuan menulis dengan baik dan benar tidaklah cukup untuk membuat seseorang menjadi penulis yang cukup berpengaruh. Menjadi penulis handal mungkin iya, tapi menjadi penulis yang dikenang karyanya begitu lama, bahkan jadi legenda dan rujukan penulis lainnya—hm, belum tentu.
Lalu apa yang membuat seorang penulis menjadi legenda?
Jawabnya; menjadi berbeda. Berbeda (baca: distinction) di sini, dalam istilah Pierre Bourdie punya makna yang—meski agak njlimet—tapi cukup menarik. Pandangan Bourdie di Distinction: A Social Critique of The Judgement of Taste sangat asyik jika kita bahas sebagai jembatan untuk memahami mengapa penulis bisa punya pengaruh. Dalam kajiannya, Bourdie mengkritisi mengenai rasa estetik kita yang mengotak-ngotakkan selera seni. Selera yang sejalan dengan bagaimana kita memiliki status sosial.
Kita bisa ambil contoh mengenai spesifikasi dari profesi penulis dalam hal karya sastranya; penyair, esais, cerpenis, atau novelis, kesemuanya adalah bentuk klasifikasi status sosial. Setiap klasifikasi memarginalkan (atau merendahkan dalam bahasa kasarnya) bentuk-bentuk status yang lain. Seorang penyair merasa lebih estetik daripada kelompok penulis yang lain, seorang esais merasa lebih rasional daripada yang lain, seorang cerpenis merasa lebih handal daripada yang lain, dan seorang novelis merasa lebih hebat daripada yang lain.
Perasaan “lebih” ini alamiah, sebab gagasan Bourdie juga menyoal mengenai perasaan ingin “menjadi berbeda”, to be distinction, yang ada pada setiap manusia. Motif inilah yang kemudian membuat manusia berlomba-lomba untuk menjadi “tidak sama” dengan apa yang ada di lingkungannya. Menjadi tidak sama, tentu ingin menjadi unggulan dan menyisihkan yang lain (baca: the others).
Gagasan ini pada dasarnya merupakan kritik tajam terhadap gagasan Immanuel Kant bahwa karya seni punya entitas sendiri, bebas kepentingan, luhur, dan bahkan dianggap suci. Pandangan ini dianggap Bourdie menutup mata realitas sosial bahwa sebuah karya seni dipandang memiliki “seni” hanya karena pakar menganggap itu sebuah karya seni. Ada kepentingan yang bermain yang membuat karya-karya “yang lain” tidak bisa lulus uji kompetisi sebagai sesuatu yang dianggap “seni”.
Keberadaan standar yang diberlakukan, ukuran yang ditetapkan, dan medium yang digunakan sebagai parameter sejatinya hanya rasionalisasi untuk menyingkirkan golongan the others ini ke bentuk seni—yang biasanya ditambahi embel-embel “alternatif”; menjadi seni alternatif.
Si Alternatif.
Penyebutan “alternatif” bukan tanpa sebab. Pandangan ini menyadarkan kita bahwa ada rezim-rezim ilmu pengetahuan—dalam hal ini ilmu kesenian—yang membuat sesuatu jadi dominan dan yang lain jadi pihak yang didominasi. Dan tidak hanya dalam berkesenian, di kehidupan sehari-hari kita mengenal benar dikotomi ini.
Contoh lain, misalnya soal sebutan “pendidikan alternatif”, sebuah sebutan untuk memberi tempat sebuah konsep pendidikan yang tidak diterima oleh industri pendidikan pada umumnya. Pendidikan pola pesantren misalnya, meski lebih tua daripada pola pendidikan Barat di negeri ini, namun dominasinya kalah karena standar yang berlaku di dunia pada umumnya adalah pola pendidikan Barat.
Hal tersebut menunjukkan satu hal, ada sebuah “rezim” yang membuat sebuah konsep pendidikan lebih tinggi atau lebih rendah dari konsep pendidikan yang lain. Contoh lain, ada sebutan “pengobatan alternatif” untuk pengobatan macam terapi akupuntur, bekam, bahkan mungkin kerokan. Hanya karena cara penyembuhan semacam itu dipandang “tidak lazim” menurut rezim medis yang dikenal dalam ilmu pengetahuan modern pada umumnya, maka seampuh apapun khasiatnya, tetap akan disisihkan dan dibuang.
Pola ini juga berlaku juga pada karya sastra. Tulisan-tulisan yang dianggap “baik” memiliki standar yang berbeda sesuai dengan siapa yang memiliki wewenang label “baik” tersebut. Hal yang sama juga berlaku dalam pola penerbitan sebuah karya sastra. Kita bisa melihat bagaimana penerbitan besar menetapkan standar-standar yang pada akhirnya menjadi rujukan bagi penulis-penulis—bahkan juga bagi pembaca sebagai konsumennya.
Ide mengenai penerbitan indie seperti yang telah dilakukan Indie Book Corner (IBC) misalnya, jelas membuatnya berada pada posisi “alternatif” jika dibandingkan dengan dominasi rezim penerbitan buku lainnya. Posisi ini bukannya tanpa risiko, karena pihak alternatif harus lebih fleksibel dalam menanggapi beragam fenomena dan harus bernegosiasi jika ingin tetap survive. Inovasi dan kreativitas selalu ditempa secara berkala untuk posisi-posisi “alternatif” agar tetap mampu bersaing dengan pemodal-pemodal yang lebih besar.
Unik, berbeda, dan menarik.
Menjadi berbeda memang menarik, namun bukan berarti tanpa risiko. Barangkali karena sepanjang kita hidup, kita dibiasakan untuk menjadi manusia yang sama seperti yang lain. Sejak kita mengenyam pendidikan dasar sampai sejak kita makan mi instan, kita disuguhkan pola dan rasa yang seragam. Artinya, benar-benar seragam dari rasa yang (ingin) kita makan sampai motif/warna pakaian kita sekolah. Standarisasi semacam ini tanpa disadari membuat kita gampang digenalisir jadi “sekelompok manusia” daripada “sekumpulan individu”.
Hidup kita akhirnya mengikuti standar-standar yang sudah diciptakan. Standar kesuksesan, misalnya; berprestasi, menikah, punya anak, kerja di kantor, hidup bahagia, mati masuk surga. Standar yang kita benarkan sendiri karena pola ini diterima dengan anggukan terlebih dahulu tanpa melihat realitas yang ada.
Alasan pola standarisasi memang logis dan memang cukup diperlukan. Dengan adanya standarisasi, maka klasifikasi dan pengelolaan massa akan lebih mudah. Kita jadi gampang diatur; entah sebagai warga negara, sebagai masyarakat, maupun sebagai anggota keluarga.
Pola semacam itulah yang kemudian membuat tema distinction milik Bourdie jadi semakin menarik. Karena jika kita menyadari dan hendak melakukannya, maka kita punya dua opsi; rela menjadi pecundang atau siap menjadi pemenang?
Orang-orang yang berhasil keluar dari pakem-pakem standar tentu akan dipandang berbeda. Namun perbedaan tersebut tidak melulu membuat seseorang jadi pemenang. Jika dirasa apa yang dilakukan tidak masuk silogisme standar komunal, maka ia bisa dicap sebagai “orang gila”—meskipun bisa jadi sebenarnya ia yang paling waras. Namun jika berhasil masuk logika standar komunal, maka ia akan dianggap sebagai suksesor yang melegenda.
Dalam dunia kepenulisan banyak contoh untuk menjelaskannya. Kita bisa melihat bagaimana melegendanya Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo dengan surat kabar pertama nasionalnya yang berbahasa Melayu; Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Putri Hindia (1908). Tirto begitu “berbeda” karena ia pribumi pertama di Nusantara yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda untuk mengritik pedas Pemerintahan Kolonial.
Sebegitu “berbeda” Tirto, sampai Pemerintah Kolonial perlu untuk menyingkirkannya dari Pulau Jawa ke Pulau Bacan (sekarang dekat Halmahera, Provinsi Maluku Utara). Dan hampir setengah abad kemudian, senasib, “pendongeng” Tirto; Pramoedya Ananta Toer juga mengalami hal yang sama karena karyanya dianggap “berbeda”. Pram dibuang. Dibuang dalam makna yang sebenarnya dari Pulau Jawa.
Meskipun begitu, keduanya jelas lebih baik nasibnya daripada Widji Tukhul yang sampai harus membayar “perbedaan” tersebut dengan nyawanya di era Jendral Soeharto berkuasa.
Sekilas, memang terlihat bahwa “berbeda” berarti menjadi pecundang, karena jelas kalah dominan. Namun, coba lihat ketika rezim berubah. Apa yang dulu dianggap “berbeda” dengan makna negatif, bisa menjadi “berbeda” dengan makna positif. Berbeda tidak melulu menjadi pecundang, ia bisa dinilai sebagai usaha untuk menjadi unik dan menarik.
Dalam dunia kepenulisan (terutama yang ingin mengandalkannya sebagai mata pencaharian), sebuah karya akan berhasil jika telah menciptakan sebuah pengaruh—bisa dalam arti profit maupun idelogis. Namun, menjadi sosok legenda seperti itu bukanlah jalur hidup yang bebas risiko. Paling tidak ada contoh lain untuk menjadi “berbeda” dengan sebuah negosiasi yang cukup berhasil.
Lihat bagaimana Andrea Hirata sukses dengan membawa kenangan suram masa kecilnya. Barangkali karena setiap pembaca memiliki keterwakilan di sana. Kenangan yang tidak mengenakkan ketika kecil dan berharap itu bisa menjadi pelecut untuk bernasib baik seperti Andrea.
Atau lihat bagaimana Ahmad Fuadi lihai dalam segment santrinya di Negeri 5 Menara. Ada berapa banyak santri atau mantan santri di negeri ini? Dengan membawa masa kecilnya sendiri, Fuadi sukses membawa kenangan komunal soal pesantren ke benak kita sebagai pembaca. Mengapa? Karena banyak pembeli novel mereka menganggap karya keduanya unik dan berbeda.
Keduanya paling tidak memberi sebuah cara menulis “berbeda” dengan berkompromi terhadap industri karya sastra. Cara yang seringkali luput, bahwa kisah setiap manusia adalah kisah yang layak diceritakan.
Sebagai manusia, kita adalah individu yang berbeda dengan 8 miliar manusia yang lain. Jumlah yang menunjukkan varian yang tak mungkin sama di antara kita sebagai manusia. Setiap pengalaman manusia, di mana pun, siapapun, dalam kondisi apapun, tidak bisa sama persis dengan pengalaman manusia yang lain. Dan atas dasar itulah motif distinction-nya Bourdie ada, karena memang manusia memiliki amunisi untuk menjadi berbeda dari kisahnya sebagai manusia maupun karyanya sebagai penulis.
Indie untuk Jadi Diri Sendiri.
Anggapan “every people is special” mungkin bisa ditanggapi dengan sinis. Bukankah artinya tidak ada orang yang spesial kalau semua orang itu spesial? Namun, anggapan ini bisa benar adanya jika setiap manusia mampu mencari “perbedaan”-nya sendiri dibandingkan orang-orang di sekelilingnya.
Dengan menjadi diri sendiri kita bisa menjadi penulis yang berbeda. Seolah membenarkan gagasan dunia idea Plato; bahwa keberadaan dunia ini ada karena kita memikirkannya—bukan justru sebaliknya, maka jangan khawatir bahwa kisah Anda akan sama dengan orang lain karena dunia ini berbeda bentuknya bagi setiap manusia.
Hanya sayangnya, beberapa perbedaan kadang tidak bisa dinegosiasikan begitu saja—apalagi jika kita bicara soal pasar. Dalam perspektif ekonomi, penulis yang “terlalu berbeda” kadang tidak dilirik oleh penerbit-penerbit mayor karena dianggap tidak memenuhi standar keuntungan tertentu. Hal yang tidak bisa dilawan begitu saja, sebab bicara menjual tulisan (dalam hal ini buku) berarti bicara untung-rugi. Dan di sana ada motif ekonomi-politik yang bermain.
Sampai pada titik ini, kualitas sebuah tulisan akhirnya berpatokan pada standar yang diciptakan penerbit-penerbit mayor. Patokan yang bisa jadi berangkat dari dua hal; pertama, reputasi seorang penulis dan kedua, tema yang diusung dianggap cukup populer. Standar ini menunjukkan bahwa publik tidak menentukan sendiri seleranya, namun ditentukan oleh bagaimana sebuah rekam jejak dalam memori kolektif. Rekam jejak ini sendiri (reputasi penulis dan tema populer) sayangnya merupakan pemaksaan wacana yang distimuluskan secara terus menerus ke calon pembeli buku sebagai konsumen.
Untuk lebih memudahkan cara berpikir ini, kita bisa ambil contoh kasus lain. Misalnya kita percaya bahwa shampo anti-ketombe berguna untuk menghilangkan ketombe. Dalam iklan yang selalu kita tonton, berketombe selalu diwacanakan sebagai sesuatu yang buruk. Anda akan dianggap tidak bersih, kotor, jorok, dan akan kehilangan kepercayaan diri jika berketombe. Pada akhirnya, ketombe akan dianggap problem yang cukup mengganggu. Padahal kalau dipikir-pikir kembali, dengan atau tanpanya ketombe di kepala Anda, sebenarnya hidup Anda akan baik-baik saja bukan?
Cara pandang yang sama juga muncul dalam scene di film The Wolf of Wall Street (2013) karya Martin Scorsese. Dalam salah satu scene-nya, Jordan Belford (Leonardo Di Caprio) sedang makan bersama teman-temannya. Tiba-tiba Belford meminta salah satu rekannya untuk menjualkan pena untuknya.
“Tolong jualkan pena ini untukku,” kata Belford.
“Mungkin kau perlu menuliskan namamu di tisu itu,” kata rekan Belford.
“Maaf, aku tidak punya pena,” jawab Belford lagi.
“Berarti kamu harus membeli pena ini.”
Dialog yang singkat, tapi menjelaskan logika bagaimana kita sebagai konsumen sejatinya dipaksa untuk membeli sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Dialog itu mencerminkan bahwa “kebutuhan” sejatinya diciptakan oleh pihak penjual.
Konstruksi wacana yang sama sebenarnya juga berlaku dalam dunia kepenulisan dan penerbitan buku. Oleh sebab itulah keberadaan penerbitan indie dirasa memiliki peran penting. Bukan hanya sebagai sebuah bentuk resisten atau cara alternatif, namun juga sebagai wadah untuk membuktikan diri bahwa tidak selamanya pasar adalah tuhan (dengan “t” kecil) yang menentukan sebuah karya dinilai berhasil atau tidak.
Jadi, tidak perlu khawatir atau ragu untuk membuat karya yang “berbeda”. Tidak perlu takut untuk menulis mengenai—atau menjadi—diri sendiri. Sedikit beranalogi saja, kisah atau pengalaman setiap manusia itu ibarat emas dalam tai. Meskipun ada di dalam tai, tetap saja itu emas. Bikin terpesona. Ketika sudah ada dalam etalase dan ditonton orang-orang, mereka tidak lagi peduli dari mana emas itu tadinya berasal. Ketika tulisan Anda memang luar biasa, orang tidak akan lagi peduli siapa Anda atau darimana buku Anda diterbitkan.
Maka, untuk para tai, siap untuk menulis dan menerbitkan karya yang “berbeda” kali ini?
Ahmad Khadafi
Editor Indie Book Corner (IBC)
Twitter: @khadafi_14