Acara, Berita

Mengupas Fakta Kolektor Mitos bersama Michell

Bertempat di Radio Buku, buku kumpulan cerita pendek berjudul Kolektor Mitos karangan Halim Bahriz ikut menjadi bagian dari Apresiasi Sastra ke 10. Buku ini dikupas oleh Dewi Kharisma Michellia serta dimoderatori oleh Irwan Bajang.

Sebelum membahas beberapa hal menarik dari kumpulan cepen ini, Michell terlebih dahulu membahas sosok Halim. Latar belakang Halim sebagai seorang yang aktif di komunitas kesenian, penyair, serta pegiat teater memberikan andil dalam membangun cerita-cerita dalam Kolektor Mitos.

Jika sebelumnya Halim sudah banyak menelurkan buku puisi, Kolektor Mitos adalah debut prosanya. Menurut Michell, Kolektor Mitos adalah puisi yang mencoba menjadi prosa. Itulah sebabnya beberapa orang yang sudah membaca buku ini berpendapat bahwa kata-kata yang digunakan dianggap berlebihan, dalam artian diksi yang digunakan terlalu puitis untuk sebuah prosa.

Cerita-cerita dalam buku ini  mengambil kisah nostalgia masa muda seperti persahabatan, reuni, dan percintaan. Namun dominasi nostalgia masa muda itu masih diimbangi dengan beberapa  tema refleksi sosial. Michell menceritakan pengalamannya pertama kali membaca karya Halim, yaitu sebuah manuskrip puisi berjudul Fotosintesis Tubuh yang banyak mengeksplorasi tubuh. Ada bagian dalam Fotosintesis Tubuh menceritakan bagaimana seseorang masuk ke dalam tubuhnya dan tubuh orang lain, serta kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan dengan tubuh.

Eksplorasi tubuh ini juga dapat ditemui dalam beberapa cerita di buku Kolektor Mitos, seperti “Sebuah Makam dalam Cahaya” yang menggambarkan tubuh manusia seperti robot. Bagi Michell, bukan cerita berjudul “Kolektor Mitos” yang unggul dalam buku ini, melainkan “Mutan”. Jika diperhatikan, “Mutan” merupakan cerita yang relatif panjang dibandingkan delapan cerita lainnya.

Dalam “Mutan”, Halim mengambil pengalamannya ketika mengikuti lokakarya teater. Selain memuat tema sosial yang mengambil Jakarta sebagai setting-nya, cerita ini juga menerangkan hubungan antara tubuh dengan kosmos. Juga tentang bagaimana kehadiran tubuh dalam kosmos bisa mengubah sesuatu. Ia menjelaskan bagaimana ruang di Jakarta sudah begitu sempit dan tidak layak untuk ditinggali hingga menjadikan manusia hidup seperti mutan.

Hal lain yang disoroti oleh Michell adalah kemampuan Halim mengolah karakter perempuan dengan baik. Tidak banyak penulis—terutama penulis laki-laki—yang bisa melakukannya. Halim berhasil melakukannya dalam cerpen “Ibuku Seorang Lelaki” dan “20 Tahun dari Curam Kenangan”. Bahkan dalam “20 Tahun dari Curam Kenangan”, pembaca akan dibuat bertanya-tanya siapa si penulis surat tersebut? Apakah laki-laki atau perempuan? Menurut Michell lewat dua cerpen tersebut, pembaca dapat melihat bagaimana Halim menulis tentang perempuan dengan “suara perempuan” dan menghargai gender.

Meski masih belum bisa lepas dari identitas pengarangnya sebagai seorang penyair, Kolektor Mitos bisa disebut sebagai debut prosa yang berhasil.

 

Related Posts

Tinggalkan Balasan