Jika Anda berencana menata letak sebuah buku bertema surealis dan akan bangga saat hasil desainnya disebut absurd, segera pilih Comic Sans untuk tipografi bagian isi!
Tidak sedikit yang menilai estetika Comic Sans itu nol belaka. Ia dikenal sebagai font yang dibuat dengan penuh guyonan. Sialnya lagi, selera humornya payah. Ia digunakan para desainer, hanya saja untuk menjadi representasi tipografi yang buruk. Bahkan, pernah muncul sebuah situs web bernama bancomicsans.com —kini telah mati—yang berisi olok-olok terhadap Comic Sans. Sampah sisa olok-olok itu masih bisa Anda temukan di situs-situs lain.
Si pembuat Comic Sans, Vincent Connare, tak mau ambil pusing menanggapi hal ini. Ia malah bangga karena kemunculan para pencela tadi membuat Comic Sans menjadi satu dari sekian tipografi terpopuler yang pernah ada. Dalam wawancaranya dengan redaksi font.com, Connare berkelakar: “Desainer utama Twitter pernah mencuit tentang keluhan yang paling sering muncul di server mereka: pertama, maskapai penerbangan; kedua, Comic Sans; ketiga, Justin Bieber. Lihat kan, bahkan Justin Bieber tidak bisa mengalahkan Comic Sans!”
Font ini mulai dibuat pada 1994 ketika Connare masih bekerja di Microsoft. Ia berencana membuatnya untuk sebuah program aplikasi bernama Microsoft Bob. Menyasar konsumen anak muda, aplikasi ini dilengkapi dengan artificial intelligence berupa anjing virtual yang bisa diajak berdialog. Connare merasa terganggu dengan tulisan di kotak dialog percakapan si anjing yang ditulis dengan font Times New Roman.
Merasa font itu terlalu kaku dan pastinya tak akan cocok untuk Microsoft Bob, Connare berencana membuat font-nya sendiri. Sayang, ketika aplikasi itu harus rilis pada Agustus 1995, font pengganti belum siap. Comic Sans baru muncul setelahnya dengan menjadi “anak haram” Windows 95 Plus Pack.
Memboncengnya Comic Sans pada sistem operasi paling populer pada zamannya itulah yang membuat font ini ikut terkenal. Bagaimana tidak? Hari ini, setiap orang punya komputer. Bagi mereka yang bukan desainer, memilih font untuk dokumen tak perlu banyak pertimbangan. Faktor simpel sudah cukup membuat Comic Sans langsung menjadi pilihan. Lagi pula, ia sama tuanya dengan font-font yang muncul di koran-koran, hanya saja dalam versi “fun”.
Comic Sans memang dicintai, tapi bukan oleh para desainer. Di Wall Street Journal, Connare membenarkan hal itu dengan berkelakar: “If you love it, you don’t know much about typography.”
Namun demikian, bukankah suatu hal—apapun itu—akan terlihat indah jika ditaruh sesuai pada tempatnya? Monster-monster burik di dalam jurang neraka misalnya; atau alat kelamin yang letaknya ada di antara selangkangan; atau sisa-sisa makanan di dalam tong sampah.
Dengan semangat skeptis dan keindahan relatif tersebut, para pencinta Comic Sans kemudian membuat gerakan bersama untuk mencitrakan font ini sebagai tipografi yang tetap dipandang elegan. Mereka membuat akun twitter bernama @comicsansprjct dengan deskripsi biodata yang menantang: “We are the Comic Sans defenders. We fear no fonts and we will make the whole world Comic Sans. Because Helvetica is sooo 2011.”
Mereka berkampanye dengan mengunggah gambar desain poster, logo, buku, maupun video yang menggunakan Comic Sans sebagai tipografinya. Selain itu, mereka juga pernah membuat petisi untuk Google berjudul “Save Comic Sans!”. Sebelumnya, muncul petisi lain yang melarang Comic Sans sebagai font yang tersedia di Gmail.
“Gerakan ini harus dihentikan. Comic Sans adalah media penting untuk teriak-teriakan yang tidak disarankan, pidato yang ofensif, dan surel yang ditujukan kepada mantan kekasih. Bergabunglah dengan kami untuk memberi tahu Google agar tetap menyimpan Comic Sans dan kekonyolan klise yang dilakukannya!”
Apakah mereka ini kekanak-kanakan dan kurang kerjaan?
Bagi orang yang setiap harinya bekerja dengan susunan-susunan huruf, tindakan seperti contoh di atas adalah tindakan yang menyenangkan. Bahkan, sampai taraf tertentu, kampanye-kampanye itu menjadi pekerjaan penting. Bagi seorang desainer –apalagi yang spesifik menekuni bidang tipografi– berkenalan dengan sebanyak-banyaknya font sama pentingnya dengan seberapa banyak menambah relasi. Mengombinasikan perpaduan Serif dan San Serif akan menjadi sama pentingnya dengan memilih perpaduan antara kemeja dan celana untuk berpesta.
Jika hal itu sudah terjadi, kita tidak akan benar-benar membenci satu atau dua font. Alih-alih benci, bisa jadi kita akan terharu ketika memasang Garamond karena kita tahu kemunculannya merupakan titah langsung Raja Francis I; ia dimodifikasi oleh banyak perupa di zaman lampau; sempat hilang selama 200 tahun; hingga akhirnya dikembangkan oleh Adobe lengkap dengan small caps, titling caps, expert fonts, dan swash cap seperti sekarang.
Lamat-lamat kita bisa segan menempatkan Helvetica untuk judul di sampul-sampul buku, mengingat perjalanannya sebelum terpilih menjadi font terbagus yang pernah ada, Helvetica sempat menuai kritik dari para desainer posmodernis. Font ini bahkan punya film dokumenter khusus yang digarap oleh Garry Hustwit untuk mengakomodir perdebatan para desainer modernis dan posmodernis.
Dan untuk Comic Sans, kita akan tahu di mana tempat yang sesuai untuknya. Bisa saja, kita menempatkannya di sampul-sampul buku berikut isinya dengan teknik khusus—tentu dengan genre, ilustrasi, dan tema yang sesuai. Kita juga bisa menempatkannya di desain baliho atau poster di jalan-jalan. Bahkan, kita bisa berpikir ulang untuk menempatkan Comic Sans di batu nisan. Lebih dari itu, kita juga akan tahu bahwa estetika sebuah karya seni tidak selamanya berlaku mutlak.
“Daya tahan lebih penting ketimbang kekuatan, kesabaran lebih penting ketimbang keindahan,” ujar kritikus seni era Victoria, John Ruskin. Dengan demikian, jelas bukan bagaimana kita harus memandang derajat Comic Sans?