Sebagai pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami.
(Surat Kartini kepada Estella Zeehandelaar, 11 Oktober 1901)
Hari ini, Indonesia kembali memperingati tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Mengenakan kebaya, bersanggul rapi, menyanyikan lagu karangan W. R. Supratman , berdiskusi, menggelar beragam lomba-lomba lucu, lantas apalagi yang dilakukan bangsa ini untuk mengenang seorang Raden Ayu asal Jepara ini? Agaknya sudah terlalu sering Kartini disebut sebagi tokoh emansipasi dan feminisme. Namun, sudahkah Kartini dikenang sebagai seorang pembaca yang rakus sekaligus penulis yang giat?
Semasa menjalani masa pingitan, Kartini memanfaatkan kotak bacaan (leestrommel) langganan ayahnya. Buku, koran, dan majalah dari dalam dan luar negeri dari kotak bacaan itu dibacanya untuk mengisi hari-hari yang terisolasi dengan dunia luar. Kakak kesayangannya, Kartono, juga kerap memberi beragam bacaan untuk Kartini. Ketika sekolahnya di Hogere Burger School Semarang libur, ia pulang membawa buku bacaan dengan beragam tema. Dari buku tentang pengetahuan modern dengan topik emansipasi dan revolusi Prancis hingga novel-novel populer. Istri Asisten Residen Jepara kala itu, Marie Ovink-Soer, memperkenalkannya pada majalah progresif yang memperjuangkan hak perempuan, De Hollandsche Lelie. Lewat De Hollandsche Lelie, kelak Kartini akan memiliki sahabat pena dari Belanda.
Dalam sebuah surat panjang kepada Nyonya Abendanon, Kartini bahkan sempat menceritakan bagaimana ayahnya menyukai kegemaran anak perempuannya dalam membaca. Meski tidak semua yang ia baca dapat segera dipahami, Kartini tidak putus asa. Bagian yang tidak dimengerti ia catat, kemudian mencoba memahaminya perlahan. Jika masih tidak paham ia akan bertanya pada Kartono, ketika sang kakak pulang ke rumah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Kartini pernah membaca karya-karya Multatuli, karya Augusta de Witt, kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner. Tentu saja, semuanya ia baca dalam bahasa Belanda.
Kartini menjadi sangat terkenal karena kefasihan dan kemahirannya menulis dalam bahasa Belanda. Namanya juga telah dikenal dunia lewat kumpulan surat kepada Estelle Zeehandelaar yang dibukukan dalam Door Duisternis tot Licht. Buku ini diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang dan diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Ratusan surat korespondensi Kartini setidaknya menjadi saksi betapa seringnya ia menorehkan tulisan. Adiknya, Roekmini, menyaksikan sendiri bagaimana kakaknya selalu sibuk menulis. Siang tidak beristirahat, malam menulis sampai jauh malam. Jam lima pagi ia sudah memasang lampunya lagi untuk meneruskan tuliskannya.
Ini adalah manifes kepengarangan Kartini: kepengarangan adalah tugas sosial. Kartini menyadari bahwa kemahirannya menggunakan bahasa Belanda dapat digunakan sebagai alat untuk membantu usahanya mendatangkan perbaikan bagi nasib perempuan Jawa. Dalam masa hidupnya yang singkat, setidaknya Kartini telah berhasil mengusahakan pemberdayaan dan pendidikan bagi kaum perempuan.
Tulisan-tulisan Kartini, selain Habis Gelap Terbitlah Terang, telah dipublikasikan di majalah dan jurnal internasional. Kisah Kartini bersama ayah dan saudarinya ketika mengunjungi pesta besar menyambut kedatangan Gubernur Jenderal Kooseboom dan Nyonya di Semarang diterbitkan oleh majalah De Echo dengan judul Een Gouverneur Generaalsdag. Het Huwelijk Bij de Kodja’s yang menceritakan upacara perkawinan suku Koja di Jepara dimuat dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Ned-Indie. Selain artikel, Kartini juga menulis prosa tentang tanah kelahirannya dengan judul Van Een Vergeten Uithoekje (Pojok yang Dilupakan).
Sebenarnya banyak majalah-majalah yang meminta izin untuk menerbitkan surat-suratnya, bahkan konsep-konsepnya tentang pendidikan dan pengajaran, tetapi ia menolak dengan alasan masyarakat saat itu belum bisa untuk diajak bicara tentang itu. Akhirnya, ia membiarkan persoalan-persoalan itu tinggal jadi pembicaraan di kalangan terbatas saja.
Kartini hidup di awal abad 20, di mana akses bacaan dan informasi jauh lebih sulit diperoleh bila dibandingkan saat ini. Ia juga giat menuliskan pengalaman dan pemikirannya. Lantas, bagaimana dengan generasi yang hidup di era banjir informasi ini akan mengenang dan meneladaninya?