Wawancara

Membincang Perempuan dalam Fiksi bersama Ni Komang Ariani

Kartini boleh jadi sudah memikirkan nasib perempuan Indonesia sejak tahun 1800-an. Di negeri ini, laku kesetaraan gender juga sudah mulai meningkat drastis. Sayangnya, stereotip negatif tentang perempuan masih saja langgeng.
Masih dalam nuansa peringatan Hari Kartini, ada baiknya kita merenungkan kembali kehidupan perempuan melalui wawancara dengan Ni Komang Ariani, seorang penulis cerpen yang fokus pada isu-isu perempuan. Dalam Ketut Rapti, kumpulan cerpennya yang segera terbit, ia banyak menuliskan kegelisahannya dalam balutan kisah-kisah perempuan dan adat Bali, daerah asalnya.

Berikut wawancara kru Indie Book Corner (IBC) dengan Komang Ariani (K):

IBC: Pada tahun 2011 Komang pernah diundang sebagai pembicara dalam Ubud Writer and Reader Festival. Apa topik yang Komang bicarakan saat itu?

K: Pada saat itu, saya diundang setelah saya mengirimkan novel saya Senjakala. Saya diundang untuk menjadi salah satu pembicara. Saya diminta untuk membicarakan pengetahuan saya mengenai tema festival, yaitu “Nanduring Karang Awak” yang merupakan kutipan dari syair yang diucapkan seorang tokoh Bali, yaitu Ida Pedanda Made Sidemen. Frasa itu pada intinya bermakna menumbuhkan kesederhanaan pada diri sendiri dan instrospeksi diri. Hidup tak semata-mata untuk mengejar materi, namun juga menumbuhkan sisi positif di dalam diri.

IBC: Banyak media yang sudah mempublikasikan cerpen-cerpen Komang. Apa yang menjadi inspirasi Komang dalam menulis?

K: Yang paling banyak menginspirasi saya dalam menulis adalah kegelisahan atas apa yang terjadi di sekitar saya. Saya bertanya-tanya dan merenungkan hal itu, mengapa hal seperti itu bisa terjadi. Jadi cerpen yang saya tulis pernah bercerita tentang presiden kita saat ini, Jokowi. Pernah juga menceritakan seorang pembantu yang bekerja di rumah saya, yaitu “Mak” dan “Baju Bekas”. Juga tentang kehidupan seorang istri seperti “Katanya Saya Takkan Bosan.”

IBC: Sebelumnya Komang sudah pernah menerbitkan novel dan kumcer seperti Bukan Permaisuri dan Senjakala. Sekarang premis apa yang ingin disampaikan melalui kumcer Ketut Rapti?

K: Saya tidak mempunyai teori atau premis tertentu. Semua cerpen saya didorong oleh kegelisahan dan perenungan atas apa yang terjadi di sekitar saya. Saya biarkan cerita mengalir tanpa terlihat ke mana arahnya. Saya ingin pembaca digiring ke dalam pengalaman dan perasaan yang dialami oleh tokohnya, termasuk cerukan tak terduga yang kemudian terjadi.

IBC: Cerpen-cerpen dalam kumcer ini ditulis dengan gaya penulisan yang begitu jujur dan santun. Dari mana Komang beroleh gaya penulisan seperti itu?

K: Saya tidak yakin dengan kata “santun” ini. Hampir semua cerpen saya mengandung pemberontakan dan protes keras dengan apa yang diyakini oleh orang kebanyakan. Namun tentu saja saya tak menyampaikannya mentah-mentah atau melalui cerita yang penuh sumpah-serapah.

IBC: Selain latar belakang sebagai orang Bali, mengapa Komang memilih mengekspose kehidupan perempuan Bali atau menggunakan tokoh yang memiliki latar belakang sebagai orang Bali?

K: Saya orang Bali yang tinggal sebuah kampung di Gianyar, yang terkenal sangat kental dengan adat-istiadatnya. Hidup saya adalah hidup orang Bali yang sesungguhnya. Barangkali agak berbeda dengan kehidupan orang Bali pada novel-novel Oka Rusmini yang sudah dibaca banyak orang. Orang Bali sendiri hidup dengan berbagai warna dan memiliki kisahnya masing-masing.

IBC: Apakah cerita-cerita yang terhimpun dalam kumcer Ketut Rapti merupakan pengalaman pribadi penulis atau hasil observasi? Bagaimana proses kreatif Komang dalam menuliskannya?

K: Sebagian merupakan pengalaman pribadi yang dimasukkan ke dalam alur cerita yang komikal dan absurd. Cerita “Ketut Rapti” sebetulnya bermula dari protes keras saya pada “diskriminasi terhadap dialek” yang membuat seseorang tak dianggap layak untuk menjalani sebuah pekerjaan. Namun pada cerita Ketut Rapti yang kedua, ada dilema dan paradoks yang terjadi belakangan. Ternyata segala hal selalu bertaut dengan hal yang berkebalikan. Saat Ketut Rapti kehilangan akar kelokalannya, ia pun harus menghadapi timbulnya bencana baru yang tak kalah pelik.

IBC: Beberapa cerpen dalam kumcer ini sudah diterbitkan di beberapa media, pernahkan ada respon langsung dari pembaca, baik apresiasi maupun kritik? Jika ada, bagaimana respon mereka?

K: Ya, cukup banyak respon diberikan pembaca terhadap cerpen-cerpen tersebut. Reaksinya sangat beragam. Seorang pembaca mengatakan, alangkah putus asanya menjadi tokoh perempuan dalam cerpen “Katanya Saya Takkan Bosan”. Ada juga pembaca yang mengatakan menyukai cerpen “Pohon Kelapa di Kebun Rindi”, namun sampai akhir cerita masih bertanya-tanya apa yang sesungguhnya dialami tokohnya. Ada juga merasa jijik membayangkan rupa-rupa lidah dalam cerpen “Lidah Ketut Rapti II”. Sangat beragam. Banyak di antara sosok yang saya jadikan sumber riset cerpen, tak mengetahui dirinyalah yang sedang diceritakan dalam cerpen itu.

IBC: Terakhir, menurut Komang, mengapa Ketut Rapti patut untuk dibaca? Khususnya bagi para pembaca perempuan.

K: Melalui kumpulan cerpen ini, saya ingin mengajak pembaca untuk membongkar hal-hal yang selama ini dipercayainya. Saya berharap perempuan Indonesia dapat berpikir, “perempuan juga manusia”. Mereka harus menghargai esensi diri sebagai manusia, yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Melalui kisah-kisah dalam cerpen ini, saya berharap perempuan Indonesia tak terlalu keras terhadap diri mereka sendiri. Menghargai dan mencintai diri sendiri, sehingga mereka pun tak menjadi keras terhadap perempuan lain.

Tinggalkan Balasan