Barangkali kita akan sama sepakatnya, bahwa membaca Foucault, bukanlah perihal yang mudah. Teks-teks intelektual asal Perancis ini memang bisa menjadi oase yang sejuk, tetapi di lain sisi, dapat juga menjadi labirin yang menyesatkan.
Kendati begitu, tidak semua karyanya memang sukar dipahami. Boleh jadi, “Parrhesia” adalah satu dari sekian karya Foucault yang ringan untuk dibaca—mematahkan pakem kerumitan atas teks-teksnya sendiri.
Setidaknya ada dua alasan kenapa teks ini mudah untuk dipahami. Pertama, Foucault tidak menulis dan mengoreksinya secara langsung, melainkan dilakukan oleh Josep Pearson. Ia mengumpulkan enam buat kaset ceramah Foucault di Universitas California, Berkeley, pada semester musim gugur 1983.
Keseluruhan ceramah tersebut diberi judul “Wacana dan Kebenaran” sebagai bagian dari pembelajaran tentang apa itu parrhesia—yang dalam konsep Yunani, memiliki arti “keterusterangan dalam berbicara kebenaran”.
Kedua, kerja penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Bukankah satu prasyarat dapat menerjemahkan teks-teks filsafat—termasuk Foucault—adalah pendalaman yang kuat atas teks-teks filsafat tersebut? Barangkali hal ini yang telah dilakukan Haryanto Cahyadi dengan begitu baik.
Apa Itu Parrhesia?
Parrhesia sendiri memiliki makna yaitu “berbicara bebas”, dalam bahasa Inggris free speech. Seseorang yang menggunakan parrhesia, disebut sebagai parrhesiastes (Foucaultt, 2018). Istilah ini bisa dilacak jauh pada masa perkembangan sejarah kesusastraan zaman Yunani—muncul pertama kali dalam karyanya Eurupides, perkiraan tahun 488-407 SM.
Seorang parrhesiastes, dalam menyampaikan wacana, tidak menyembunyikan apapun. Dilakukan dengan begitu jelas dan terang, sehingga dapat ditangkap maksudnya dengan jelas pula. Menurut Foucault, menjadi parrhesiastes, maka akan melekat padanya risiko dan bahaya.
Sebagai contoh, andaikan seorang guru memberikan pelajaran kepada muridnya, dan yang ia sampaikan adalah sebuah kebenaran. Hal tersebut belum dapat dikategorikan sebagai parrhesia. Sebab tidak ada risiko dan bahaya dalam penyampaian tersebut. Berbeda jika yang menggunakannya adalah rakyat biasa terhadap penguasa dan menyakiti penguasa tersebut (Foucault, 2018).
Meski begitu, tidak selamanya parrhesia berhubungan dengan penguasan dan berisiko terhadap nyawa. Mengambil risiko dengan memberitahukan yang salah—meski menimbulkan murka—maka penerapannya juga bisa disebut sebagai parrhesia.
Bagi Foucault, Parrhesia memang berkaitan erat dengan keberanian untuk menghadapi bahaya. Dalam ujudnya yang paling ekstrem, menyatakan kebenaran adalah “permainan” hidup dan mati (Foucault, 2018).
Jika menyampaikan kebenaran itu baik? Bagaimana dapat dikatakan parrhesia yang menciptakan krisis terhadap lembaga demokrasi? Akan penulis jelaskan di bagian akhir.
Peyoratif dan Krisis Lembaga Demokrasi
Ada dua macam perkembangan parrhesia menurut Foucault. Pertama, terdapat arti peyoratif dan maknanya bisa dikatakan dekat dengan “ocehan”, yakni mengucapkan sembarangan atau segala sesuatu yang terlintas di benak seseorang tanpa kualifikasi. Arti ini muncul dalam salah satu karya Plato, sebagai penanda atas konstitusi demokratis yang buruk tatkala setiap orang memiliki hak untuk menyampaikan pesan kepada sesama warga; Kedua, yang tidak berkembang secara peyoratif—bisa dijumpai dalam naskah-naskah klasik kesusastraan Yunani—maka maknanya bersifat positif. Menyampaikan kebenaran dengan cara yang tulus. Ciri kedua dari parrhesia ini adalah selalu terdapat koinseidensi yang presisi (extract coindcidence) antara kepercayaan (belief) dan kebenaran (truth) (Foucault, 2018).
Kecaman sebenarnya sudah muncul pada pengguna parrhesia negatif—hal yang sudah umum dalam pemikiran politik Yunani—setelah perang Peloponnesos. Perdebatan tersebut menghadirkan hubungan parrhesia dengan lembaga-lembaga demokrasi (Jonnet, 1933).
Masalahnya sebagai berikut: demokrasi didirikan oleh politea, konstitusi, di mana demos, rakyat, menjalankan kekuasaan, dan semua orang setara di hadapan hukum. Namun konstitusi seperti itu dikutuk untuk memberikan tempat yang setara pada semua bentuk parrhesia, bahkan yang paling “buruk”. Parrhesia berbahaya bagi demokrasi, karena diberikan kepada warga yang paling buruk sekalipun, memiliki pengaruh berlimpah, tidak bermoral, atau dungu—yang justru dapat membimbing warga ke dalam tirani dan membahayakan polis (Foucault, 2018).
Parrhesia dan demokrasi, keduanya telah menciptakan kenyataan yang paradoks—yakni antinomi antara parrhesia (kebebasan berbicara) itu sendiri dengan demokrasi—mengawali sebuah perdebatan panjang dan sengit tentang sifat sesungguhnya dari hubungan-hubungan membahayakan yang kelihatannya ada antara demokrasi, logos (wacana), kebebasan dan kebenaran (Foucault, 2018).
Paradoks ini muncul dalam tesisnya Isokrates; ditulis pada pertengahan abad keempat, yang merujuk pada parrhesia dan kebebasan berbicara dalam demokrasi. Ada perbedaan sikap yang sangat kontras antara warga Athena ketika menyikapi hal tersebut. Misalnya ketika mereka lebih memilih penasihat untuk urusan rumah tangga adalah orang yang cerdas dan unggul, sementara untuk masalah politiknya, mereka cenderung menyerahkannya kepada orang yang tidak memiliki kompetensi sama sekali.
Tidak hanya itu, yang dijelaskan oleh Isokrates, bahwa bukan saja warga Athena, mereka menyimak orator yang paling dungu, juga bahkan tidak bersedia mendengar para pembicara yang sungguh-sungguh baik, karena mereka menolak memberi pembicara yang baik tersebut kesempatan untuk didengar.
Perbedaan ini, bukan karena diantara mereka, yang satu dapat memberikan nasihat yang baik, atau yang satunya memberikan nasihat yang buruk. Tetapi dalam hal; orator yang buruk, yang diterima oleh rakyat, memberikan sebatas apa yang ingin mereka dengar. Karena itulah, Isokrates menyebut para pembicara ini seperti “penjilat” (Foucault, 2018).
Sementara bagi Plato, ia tidak menyalahkan bahwa parrhesia menjadi hal yang keliru karena memberikan kepada semua orang, kebebasan untuk berbicara atau peluang, termasuk warga yang buruk sekalipun, atau bukan karena dapat membuahkan keputusan-keputusan yang buruk dalam pemerintahan, juga memberikan sarana bagi pemimpin yang dungu dan korup untuk meraih kekuasaan dan menjadi seorang tiran, melainkan kebebasan berbicara dalam demokrasi tersebut, manakala setiap orang punya cara hidupnya sendiri, gaya hidupnya sendiri.
Dan untuk bagian penutup, penulis akan mengutp Foucault (2018), “…Karena itu, parrhesia sejati, dalam arti yang positif dan berdaya kecam, tidaklah ada tatkala demokrasi itu ada.”***
Chalid Pelu, Sedang belajar di Jogja.
Judul Buku : Parrhesia
Penulis : Michel Foucault
Penerjemah : Haryanto Cahyadi
Penerbit : Marjin Kiri
Dimensi : 12×19 cm l Softcover
Tebal : 219 hlm l Bookpaper