semakin lama jadi orang asing,
sampai dia lupa pulang.
padahal, dingin makin menggigit tulang
apa yang dicari selama ini?
merantau, untuk melupakan jalan pulang?
—Jalan Pulang
ketidakadilan merajalela, bung
yang miskin makin sengsara
yang kaya membeli perkara
tikus rakus komplotan gayus
jual beli bisnis negeri kasus
—Bisnis Kasus
Seperti dua puisi yang ditulis dengan gaya dan nada yang berbeda di atas, membaca tulisan Heri Latief dalam buku ini, saya seolah dihadapkan pada dua sisi yang berbeda dari sang Penulis. Puisi-puisinya—seperti puisi-puisi Heri Latief yang dulu—berbicara dengan cara yang lugas, kadang keras, mengutuk ketidakadilan, korupsi, pelanggaran hak, orang yang dihilangkan penguasa, kemiskinan dan kerakusan negara. Cap gaya menulis semacam ini sudah menjadi ciri Heri Latief sejak awal kemunculan puisinya di dunia internet. Tapi bukan hanya lantang protes, dalam beberapa puisi, salah satunya Jalan Pulang di atas, juga beberapa puisi lain, Heri Latief memunculkan sisi lain dari diri dan puisi-puisinya. Lebih lembut dan kadang sendu. Selain menulis tentang isu-isu sosial di puisinya, Heri Latief menulis juga puisi kerinduan, cinta, pulang, dan tema sejenis yang kebanyakan ia arahkan juga pada kerinduan akan kampung halamannya.
Di bagian kedua, dalam catatan atau eseinya, Heri Latief jauh lebih berbeda lagi. Kalimat-kalimat dan paragraf yang pendek dan lugas terasa jauh lebih lembut lagi ketimbang puisi-puisinya. Selingan humor sesekali membuat geli, membacanya membuat senyum sendiri. Tapi, selain gaya ungkap, sesungguhnya tak ada yang berbeda antara puisi dan esei Heri, ia tetap saja sosok penulis yang murung, khawatir, dan selalu ingin ambil bagian dalam situasi sosial. Kecenderungan menulis seperti itu tak pernah bisa ia bendung.
Menghadapi tulisan ini, saya dihadapkan pada dua sisi sang Penulis. Membaca puisi (yang ia sebut puisi berlawan), saya jadi membayangkan Heri Latief memegang megaphone di jalanan terik nan panas. Ia berteriak dengan puisi-puisinya yang siap merangsek masuk ke jantung kekuasaan lalim yang ia kritisi dengan keras. Ia memiliki suara lantang, keras, dan memekik ke telinga dengan sajak-sajak potes sosialnya. Sementara membaca eseinya, saya merasa seperti diundang bertandang ke beranda rumahnya. Di sana Heri menyuguhkan kue dan teh manis, sembari bercerita tentang bagaimana kampung rantau, keindahan, kebersihan, keteraturan dan segala yang ia ingat. Namun dalam cerita manis itu, ia juga menceritakan kisah-kisah ironi. Misalnya, bagaimana Belanda yang maju, bersih dengan sistem politik yang cenderung stabil, juga memiliki permasalahan menumpuk; kekurangan tempat tinggal penduduk, para bajingan pemabuk yang bersembunyi di bawah gereja dan para gerilyawan yang bergentayangan di malam hari menduduki bangunan-bangunan kosong untuk mereka tinggali bersama gerombolan miskin lainnya.
Heri Latief bercerita tentang kanal sungai yang rapi, kereta yang cepat di Belanda, tapi juga kisah manusia yang tak pernah usai memperjuangkan haknya. Di beranda eseinya ini, Heri lebih lembut bercakap-cakap, tidak garang seperti kebanyakan puisinya. Tapi, sekali lagi, ada yang tetap tidak bisa ia sembunyikan, aura protes yang tak bisa ia pendam.
Heri Latief pergi merantau cari pengalaman sejak 1982. Mulanya ke Hamburg, lalu ke Neumunster, dan Berlin Barat. Di sana ia kuliah jurusan Ekonomi dan Politik. Di Jerman Barat ia aktif berpolitik antirezim Suharto, jadi anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia di Hamburg dan Perhimpunan Indonesia Berlin Barat. Tahun 1986 pindah ke Belanda sampai saat ini.
Semua tulisan dalam buku ini ditulis dari tanah yang jauh. Tanah rantau yang sekarang sudah sangat akrab dengan dirinya. Sebagai aktivis yang banyak menyuarakan suara kaum yang termarginalkan, tak heran kiranya, meskipun merantau lebih dari dua puluh tahun, Heri tak bisa lupa bagaimana kampung halamannya. Tubuhnya pindah, tapi semangat dan hatinya selalu mengingat kampung juga negaranya.
Kegemaran sekaligus pekerjaan hariannya sebagai juru masak bisa jadi memberi ruang refleksi bagi Heri untuk memasak dan menulis sajak atau esei. Heri Latief sepertinya tahu bagaimana takaran dan cara penyajian yang pas untuk buku ini. Ia tak hanya menyajikan makanan utama yang pedas dengan porsi yang banyak, ia menyiapkan semacam makanan pembuka dalam puisi-puisinya. Ia lalu menutup sajian dengan hidangan esei yang manis, refleksi bersama akan tanah air yang ia dan kita (mungkin masih) miliki ini.
Jogjakarta, November 2013.