Konon, selain dikenal sebagai kota penghasil mangga, Indramayu juga terkenal sebagai daerah dengan populasi telembuk terbanyak dan tercantik. Telembuk sendiri adalah bahasa khas pantura yang kerap digunakan untuk menyebut seorang Pekerja Seks Komersial (PSK). Tentu saja kata ini cenderung memiliki konotasi negatif seperti halnya lonte dan perek. Lalu bagaimana jadinya bila “telembuk” diangkat ke dalam sebuah kisah fiksi? Kedung Darma Romansha baru saja menerbitkan buku berjudul TELEMBUK (dangdut dan kisah cinta yang keparat). Simak proses kreatif di balik penggarapan novel ini lewat wawancara tim Indie Book Corner (IBC) bersama Kedung (K) berikut.
IBC: Kabarnya novel ini ditulis pertama kali ketika Kedung berusia 19 tahun. Bagaimana mulanya Kedung mendapat ide untuk menuliskan kisah ini di usia yang bisa dikatakan masih belia?
K: Semula datangnya dari hal-hal yang tak terduga. Memang saya berniat membuat sebuah tulisan mengenai daerah saya (Indramayu), tapi saya tidak terbayang bentuknya akan seperti apa. Apalagi sebuah novel panjang. Tapi sebelum saya menjelaskan lebih jauh, saya akan ceritakan lebih dulu kronolgisnya bagaimana saya berniat menulis tentang daerah kelahiran saya.
Saya dibesarkan oleh keluarga yang taat beragama. Kakek buyut saya dari ibu adalah seorang santri tulen. Dulu, menurut kakek saya, buyut saya beserta kakak dan adiknya ini mesantren ke Jombang, Jawa Timur dengan berjalan kaki. Hanya berbekal baju dan beras saja. Maka secara otomatis tradisi mesantren sebetulnya sudah ada sejak buyut saya. Tradisi yang sempat saya alami adalah ketika saya khatam Al-Quran dan diarak keliling kampung oleh nenek saya. Kata nenek, kalau salah satu cucunya khatam Al-Quran paling cepat, maka nenek dan kakek saya akan mengaraknya keliling kampung bak seorang raja. Dan waktu itu sayalah rajanya, karena saya cucu yang pertama kali khatam Al-Quran di antara cucu-cucu yang lain.
Nah, karena saya dididik dari keluarga yang taat beragama, secara otomatis hal itu menular kepada saya. Keinginan mesantren sudah terbesit sejak kelas 5 SD dan saya ngotot kepada ayah ingin dipesantrenkan yang jauh. Tapi keinginan itu baru terwujud ketika saya lulus SD.
Lepas SD saya mesantren di Krapyak Yogyakarta. Saya senang bisa mesantren. Apa yang saya impikan akhirnya terkabul juga. Saya boleh pulang hanya ketika liburan catur wulan saja. Kesempatan pulang kampung seperti ini biasanya saya gunakan untuk bertemu teman-teman saya yang begajulan, karena sejak SD saya sudah berteman dengan rombongan brengsek semacam ini.
Mulanya memang saya tertib ikut gabung remaja masjid di kampung, tapi lama-lama saya merasa bosan. Saya butuh udara segar. Akhirnya yang saya lakukan bersama teman-teman adalah mencari tanggapan tarling, dangdut, sandiwara, dan wayang untuk melepas penat saya di pesantren. Entah kenapa saya begitu nyaman berteman dengan gerombolan begajulan ini.
Kegiatan ini terus menerus saya lakukan hingga SMA. Di masa puber ini, pasukan begajulan makin menjadi. Apalagi saat itu musim perang antar kampung. Saya sempat merasakan sendiri bagaimana suasana perang, bawa golok, dan menyimpan belati untuk jaga diri. Sebagai anak pesantren yang tertib (sejujurnya saya memang tertib di pesantren, lumayanlah), tentu hal semacam itu asing bagi saya. Saya takut membacok orang, takut dimintai pertanggungjawaban, takut jikalau saya kena bacok lalu masuk rumah sakit maka yang repot adalah orangtua saya. Saya tidak mau itu terjadi. Saya juga takut jika saya membacok orang sampai mati lantas saya masuk penjara. Bagaimana masa depan pendidikan saya nanti? Berbagai kekhawatirkan itu terus bermunculan. Namun takdir memang berpihak pada saya, semua yang saya khawatirkan itu tidak terjadi.
Hingga suatu kali, ketika saya menginjak kuliah, salah satu teman karib saya berkata, “Man, kamu kan jurusan sastra, tukang nulis, tulislah tentang daerahmu sendiri. Tentang kita-kita ini.” Sejak saat itu saya mengiyakan dan berjanji akan menuliskannya. Entah dalam wujud apa.
Sampai Jogja saya terus memikirkan ucapan dan janji saya pada kawan saya itu. Nah, pada kesempatan berikutnya saya melakukan riset. Saya napak tilas kembali perjalanan saya bersama para begajulan itu. Saya sempat diantar untuk mewawancarai telembuk. Saya mewawancarai teman-teman saya secara sembunyi-sembunyi. Tepat ketika berusia 19 tahun itulah saya menuliskannya dalam sebuah fiksi. Selama proses penulisan saya sempat kehilangan hasil wawancara dan mandek menulis. Waktu itu saya masih belum punya komputer, jadi saya membeli kertas buram dan menuliskannya secara manual. Untungnya sebagian besar sudah ditulis secara manual meskipun belum selesai. Itulah awalnya.
IBC: Mengapa memilih telembuk sebagai tokoh sentral dalam novel ini?
K: Kita tahu stigma telembuk/ PSK selalu negatif. Tapi kita tidak pernah mau tahu kenapa orang ingin jadi telembuk? Kenapa kita bisa berpikir kita lebih suci dari telembuk? Kenapa kita begitu yakin kalau kita yang paling berhak masuk surga ketimbang mereka? Kenapa? Kenapa seolah-olah pintu taubat bagi mereka sudah tertutup? Kenapa kita selalu berpikir begitu?
Indramayu memang dikenal dengan telembuknya. Di mana-mana orang mengaku telembuk dari Indramayu tapi benar tidaknya tidak tahu. Nah, lewat novel ini saya jelaskan hal itu. Selain mangga dan padinya, Indramayu dikenal dengan telembuknya yang cantik-cantik, tapi Indramayu tidak punya lokalisasi yang legal seperti Sarkem, Saritem, dan sebagainya. Hal ini pula yang saya bicarakan di novel ini.
Tapi di dalam novel TELEMBUK ini tidak hanya melulu membicarakan tentang percintaan, telembuk, dan dangdut. Itu hanya bagian darinya, inti masalahnya bukan itu. Inti masalahnya yaitu Anda harus membacanya, supaya Anda tahu bagaimana cara menyikapi novel ini.
IBC: Kalau tidak salah, novel ini mulanya terdiri dari tiga bagian yaitu: Kelir Slindet, Telembuk dan Sepenggal Kabar dari Kota Mangga. Tolong jelaskan apakah pembaca TELEMBUK tidak akan kebingungan mengikuti kisah ini? Terutama bagi pembaca yang belum pernah membaca Kelir Slindet sebelumnya
K: Novel ini memang awalnya terdiri dari tiga sub bab dalam satu novel. Tapi sebelum saya membicarakan lebih jauh saya akan ceritakan kronologisnya dulu.
Ketika saya meninggalkan novel saya yang mandek, yaitu ketika saya menulisnya pertama kali secara manual di kertas buram (sekitar tahun 2003), saya meninggalkannya sama sekali sampai pada tahun 2005. Di tahun 2005 ini saya kembali menulis ulang novel saya. Kebetulan waktu itu saya sudah punya komputer second pentium 3. Untuk penulis pemula seperti saya itu sudah beruntung. Saya tergerak untuk menuliskan ulang novel saya ini karena ada lomba novel DKJ. Tapi akhirnya novel saya itu hanya selesai di sub bab pertama saja dan mandek di sub bab kedua. Kemudian saya tinggalkan kembali novel saya. Hingga pada tahun 2008, saya membaca pengumuman lomba novelette tabloid Nyata. Saya pikir daripada novel saya menganggur lebih baik saya ikutkan saja. Sub pertama novel saya yang berjudul Kelir Slindet saya ikutkan lomba novelet. Saya edit, pangkas, dan disesuaikan dengan ketentuan lomba. Alhasil saya menang juara pertama. Karena saya juara pertama, akhirnya saya tergerak kembali untuk menyelesaikan novel saya itu. Tepat pada tahun 2009 saya menyelesaikan novel saya secara utuh.
Pada tahun 2013, novel saya diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU). Tapi mereka hanya mau menerbitkan yang sub bab pertama saja: Kelir Slindet. Itu pun dengan syarat beberapa bagian harus dipangkas karena menurut GPU konten dalam novel tersebut bisa menimbulkan konflik. Saya sendiri bingung, yang bikin konflik di mananya? Bagi saya novel ini sangat spiritual. Tapi sudahlah, akhirnya saya mengalah juga untuk dipangkas di beberapa bagian.
Nah, inilah awal bagaimana novel saya akhirnya jadi dwilogi. Buku pertama Kelir Slindet dan kedua TELEMBUK (dangdut dan kisah cinta yang keparat).
Di dalam novel TELEMBUK (dangdut dan kisah cinta yang keparat) ini terdapat dua sub bab, yaitu “Telembuk: Kisah yang Tak Selesai” dan “Sepenggal Kabar dari Kota Mangga”. Artinya, novel ini sudah selesai. Di dalam novel TELEMBUK (dangdut dan kisah cinta yang keparat) juga disediakan prolog bagi yang belum membaca Kelir Slindet untuk mengikuti kisahnya. Prolog itu untuk mengantarkan pembaca sebelum memasuki kisah telembuk ini.
IBC: Apa perbedaan antara Safitri dalam Kelir Slindet dengan Safitri dalam TELEMBUK secara umum?
K: Safitri dalam Kelir Slindet itu adalah Safitri dalam masa transisi. Baik usianya ataupun secara kejiwaan. Benturan awal konflik ini terjadi di Kelir Slindet. Latar belakang masalah dan pendahuluannya ada di Kelir Slindet. Sedangkan pembahasan ada di TELEMBUK (dangdut dan kisah cinta yang keparat) dan kesimpulan ada di pembaca tentunya.
Safitri di TELEMBUK adalah Safitri yang sudah remaja menjelang dewasa. Ia sudah mulai matang menyikapi hidup. Meskipun di beberapa bagian ada juga tingkah konyolnya. Apalagi ketika dia bertemu Mak Dayem. Mak Dayem ini salah satu tokoh favorit saya juga di TELEMBUK.
IBC: Konon TELEMBUK adalah hasil riset selama 13 tahun. Bisakah Kedung menceritakan hal-hal menarik yang dialami selama proses riset itu?
K: Sebetulnya riset 13 tahun itu adalah perjalanan prosesnya sampai menjadi novel sambil riset terus berjalan. Jadi riset itu terus berjalan ketika novel itu belum sepenuhnya jadi. Nah, di dalam perjalanan ide-ide muncul begitu saja. Baik dari riset tulisan seperti koran atau hasil riset wawancara saya dulu.
Hal yang paling menegangkan adalah ketika mewawancarai seorang telembuk yang ternyata teman saya sendiri. Bagaimana perasaan saya mewawancarai orang yang saya kenal? Bagaimana tanggapan orang ketika melihat saya sebagai alumni pesantren mengobrol dengan seorang telembuk di warung, sementara orang-orang tidak tahu maksud dan tujuan saya? Termasuk teman saya (telembuk) itu, dia tidak tahu kalau saya sedang mewawancarainya. Obrolan kami mengalir begitu saja. Hanya teman saya yang tau kalau saya sedang melakukan riset, yaitu teman yang kemana-mana selalu mengantar saya.
Hal menarik dalam proses riset ini banyak sekali. Coba Anda bayangkan saja berteman dengan para berandal yang mempunyai banyak musuh. Sewaktu-waktu Anda mungkin bisa kena imbasnya. Sewaktu-waktu dari belakang ada yang membacok Anda, ada yang memukul Anda atau bahkan menculik Anda. Hal-hal semacam itu yang saya khawatirkan saat proses riset berlangsung.
Hal yang paling menegangkan namun konyol bagi saya yaitu ketika memasang togel. Ketika waktu menunjukan pukul dua belas malam, saya dan teman saya harap-harap cemas sambil mendatangi rumah bandarnya melihat nomor yang keluar. Waktu itu masih belum ada handphone. Kejadian itu saya ulang beberapakali untuk merasakan ritme rutinitas mereka memasang togel. Sampai beberapa orang menceritakan mimpi-mimpinya ketika mereka menang togel. Misalnya, mereka akan menikah dengan si anu, mereka akan bertobat setelah menang togel dan akan membuka warung, dan banyak lagi. Namun belum sekalipun saya melihat mereka menang sampai sekarang.
IBC: Dilansir dari laman goodreads.com, Kelir Slindet dinilai memiliki kekuatan lewat lokalitas yang diangkatnya. Nah, sekarang apa yang ingin Kedung sampaikan lewat TELEMBUK ?
K: Di TELEMBUK ini lokalitas sudah tentu kuat, bahkan sangkat kental karena berakar dari cerita yang sama. Lewat novel ini pula terungkap rahasia yang belum terjawab di novel Kelir Slindet. Di sini pun saya mencoba menggunakan teknik penulisan yang eksperimental, namun tentu saja dengan cerita yang berakar pada realitas juga.