1. Buat akun di bukuindie.com
2. Pilih buku yang kamu suka
3. Berikan resensi di kolom komentar
4. Berikan penilaian bintang 1-5
5. Peserta boleh meresensi lebih dari satu buku
6. Lomba resensi berlangsung selama Juli 2015
4. Resensi terbaik diumumkan 10 Agustus 2015
HADIAH:
PAKET BUKU SENILAI RP.500.000,-
CINDERAMATA SENILAI RP.200.000,-
Judul buku : out of the truck box
Penulis : iqbal aji daryono
Edisi : pertama, mei 2015
Awal membaca tentang info buku ini “ out of the truk box” di salah satu web kece yaitu mojok.co, sebenarnya sudah banyak tulisan mas iqbal yang membuat saya selalu ingin membacanya. Dan dengan terbitnya buku ini , saya jadi yakin tak salah untuk cepat-cepat membelinya langsung di Jogja, wal hasil dapat bonus tandatangan si penulis. Benar sekali seperti apa yang di tuliskan kawan-kawan di mojok. Buku ini tidak berisi perjalana seperti buku travelling. Buku ini lebih membuka wawasan bagaimana seharusnya menjadi manusia yang berkeyakinan dan bisa saling menghormati antar ummat manusia, bukan hanya ummat beragama.
Di ostrali sini, pada dasarnya , semua hal asal diklaim sebagai keyakinan , akan mendapat penghormatan.Nah, apakah sikap hormat demikian adalah buah dari ajaran kristen yang dianut orang ostrali? Boleh jadi. Tapi sependek pengamatan saya, saya pribadi tak berani menyebutnya begitu. Orang-orang di sini adalah mereka yang menyentuh gereja hanya untuk dua urusan saja: perkawinan dan kematian.
Maka, saya tak bisa melihat landasan lain yang membentuk mereka , selain kemanusiaan.
Percakapn sore itu pada akhirnya memberi saya pelajaran tentang manusia. Acapkali seorang manusia tak berdaya dengan berita online yang sehari-hari kalian baca. Dengan bersabar , bergaul dan banyak teman, sebisanya melakukan klarifikasi belakang layar, tidak buru-buru percaya pada persepsi awal kita saat membaca berita, boleh jadi kita akan berhasil mengenali fakta-fakta sesunggguhnya di balik timbunan berita-berita.
Sebenarnya tugas negara terkait agama warganay cukup dengan menjamin kemerdekaan berkeyakinan, menyediakan fasilitas untuk para pemeluk keyakinan (poin ini yang membedakan dengan negara sekular , negara sekular tidak turut campur sama sekali dalam penyediaan fasilitas ), mengatur dengan mekanisme yang adil agar tidak terjadi gesekan antar-keyakinan, dan dan menegakkan hukum apabila terjadi tindakan yang merugikan pemeluk keyakinan dalam menjalankan keyakinannya.
Buku ini memberikan banyak pandangan lain bagaimana warga negara opstari yang penuh warna bisa sedemikian hingga saling menghormati. Seperti setelah kejadian sidney siege, yang malah banyak orang yang akan membantu untuk ummat muslim mengenakan atriubutnya di tempat umum. Atau juga terkait bom bali. Mereka memang marah, tetapi tidak berlangsung lama. Selesai saat itu juga.
Cara penulis membandingkan perbedaan peraturan-peraturan yang berlaku di indonesia dan ostrali pun sangat menarik, tidak menjatuhkan dan tidak menonjolakan. Penulis membandingkan secara nyata bagaimana penerapan peraturan. Kemudian menyerahkan sendiri pada pembaca untuk menilainya.
Buku ini juga membuat pembaca banyak berpikir, karena banyak di bagian cerita yang menggantung. Silahkan pembaca menilai sendiri bagaimana dari hasil penelitian si penuluis. Penulis tidak memaksakan kehendak, bahwa pembaca harus juga mengamini apa yang dilamai oleh sang penulis.
Kekurangan buku ini mungkin hanya dari segi cover yang kurang menarik, tapi cukup memberi banyak pertanyaan apa yang di maksud dengan “out of the truk box”. Dan penulisan yang di sesuaikan dengan pakem si penulis sendiri. Tapi sangat menarik, seperti kata penulis jadi tidak perlu memiringkan kepala saat membacanya.
Buku yang sangat menarik untuk dibaca.
Dan ini salah satu kaliamt yang saya sukai.
paulo coelo bercerita tentang seorang dokter jiwa yang mengurungkan niat untuk “ menyembuhkan “ seorang gila. Alasannya, dokter itu sangat paham, bahwa andai dia berhasil dengan upaya “ penyemuhan” nya pun, si gila justru akan kehilangan kebahagiaanya. Kebahagian pada dunianya sendiri.
penilaian: ****
Eaaaaaa salah paham. Resensi di kolom komentar, maksudnya di kolom buku yang hendak diresensi atau di kolom komentar tautan ini? huahua
“Jebakan Jaring-Jaring Sarelgaz”
Judul : Sarelgaz
Penulis : Sungging Raga
Tebal : 116 halaman
Penerbit : Indie Book Corner
Cetakan : I, Oktober 2014
ISBN : 978-602-3090-06-8
Suatu pagi ketika saya sedang online, entah mengapa saya ingin sekali membuka tab baru untuk searching “penulis muda Indonesia”, dan mesin pencari akhirnya memunculkan sederetan nama yang cukup saya kenal. Diantara nama-nama itu, tersebutlah Sungging Raga dengan apresiasi yang cukup menarik. Dan itu yang membuat saya tertarik untuk memiliki buku solonya.
Sungging Raga memang cukup produktif di dunia sastra Indonesia. Dengan style yang ia hadirkan secara berulang-ulang dalam Sarelgaz ini, seolah meyakinkan bahwa seperti inilah style baru.
Sebut saja Hipotenusa, cerpen semi gothik yang mengisahkan hubungan antara manusia dan iblis yang dari keduanya akhirnya melahirkan sosok mahluk setengah manusia dan setengah iblis. Dari perkawinan antara dua golongan mahluk yang berbeda alam itu, dibangunlah sebuah konflik sederhana namun cukup menggigit. Isara yang dalam Hipotenusa ditakdirkan sebagai perempuan yang menikah dengan iblis dan sekaligus sebagai ibu kandung Oxymora merawat tanggung jawabnya sebagai orang tua. Bagaimana Isara dengan jiwa keibuannya meminta Oxymora agar tak menjadi iblis seperti ayahnya.
Disinilah terasa kepiawaian Sungging Raga dalam menjaga konflik agar tidak melebar. Namun, barangkali menjaga konflik agar tak melebar sudah banyak dimiliki oleh para penulis. Satu hal yang membedakannya, dalam proses merawat konflik agar pembaca tetap fokus, Sungging justru menghadirkan konflik baru yang cukup erat dengan konflik yang dibangun sebelumnya.
Diceritakan bahwa suatu hari Oxymora didatangi seorang temannya dari kaum iblis yang mengabarkan bahwa ayahnya si Raja Iblis telah mati dibunuh oleh Dukun Voodo. Iblis itu meminta Oxymora untuk menuntut balas dendam atas kematian ayahnya. Namun apa yang terjadi? Sungging Raga justru meloncati batas-batas yang dibangunnya dari semula, tentang Oxymora yang 50% manusia dan 50% iblis. Sungging merubah tabiat Oxymora dengan memenangkan jiwa kemanusiawian Oxymora yang tak mau membalas dendam.
“Kau benar, Isara, sudah terlalu banyak iblis di dunia ini,” kata Oxymora menutup cerita.
Selain Hepotenusa, ada pula Abnormabilia, Pesugihan Zombie, Isara, Nahalenia, Kutukan Kurir Kematian dan Sarelgaz sendiri yang jika ditarik seuntai benang merah akan terasa gaya-gaya dan genre yang senada, genre semi gothik. Dan dari beberapa cerpen semi gothik itu, ada prasangka yang mengganjal di benak saya: barangkali Sungging cukup suka dengan kartun Jepang.
. Bagaimana bisa dikaitkan dengan kartun jepang?
Ya. Kisah hidup Oxymora tak jauh berbeda dengan kisah hidup Inuyasha yang dalam anime Jepang dikisahkan sebagai manusia setengah iblis yang pada saat-saat tertentu bisa berubah menjadi iblis sepenuhnya. Nahalenia lebih jelas lagi. Nama itu juga dipakai dalam anime Jepang sebagai tokoh antagonis dalam serial Saylor Moon. Kemiripan ini barangkali saja kebetulan atau barangkali itu memang proses kreatif penulis. Namun, tentu saja kisah-kisah dalam Sarelgaz ini berbeda.
Sebenarnya ada hal lain yang cukup menonjol dari kumpulan cerpen ini. Kisah cinta yang cacat dihadirkan secara halus hampir setiap cerita. Kisah cinta antara manusia setengah iblis dengan guru sekolahnya, seorang lelaki miskin yang mencintai seorang perempuan sampai akhirnya ia rela di tengkap laba-laba raksasa, kisah cinta sepasang kekasih yang sama-sama tunanetra, kisah sepasang kekasih yang ingin kaya sampai mengambil pesugihan dan kisah-kisah cinta cacat lainnya yang diliputi aroma gothik.
Hal ini mungkin cukup diisyaratkan lewat sampul merah bergambar laba-laba. Laba-laba yang disimbolkan sebagai mahluk yang selalu menghuni kesunyian, menurut saya cukup mewakili kumpulan cerpen ini. meski demikian, ada beberapa cerita yang sedikit kontras dari keseragaman tema yang diangkat. Misalkan saja, Sepertiga Malam dengan tema berbeda namun tetap menarik untuk dibaca. [ ]
Tuban, Januari 2015
(resensi ini pernah dimuat di Koran Rakyat Sumbar edisi Sabtu,14 Februari 2015 )
Oya, untuk buku kumpulan cerpen Sarelgaz, saya berikan lima bintang (*****).
Dari Datuk Ke Sakura Emas
Judul : Dari Datuk Ke Sakura Emas
Penulis : A. Fuadi, dkk.
Tebal : 168 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : April 2011
ISBN : 978-979-22-6982-6
Pramoedya Ananta Toer pernah bilang, “Barang siapa mempunyai sumbangan pada kemanusian dia tetap terhormat sepanjang jaman, bukan kehormatan sementara. Mungkin orang itu tidak mendapatkan sesuatu sukses dalam hidupnya, mungkin dia tidak mempunyai sahabat, mungkin tak mempunyai kekuasaan barang secuwil pun. Namun umat manusia akan menghormati karena jasa-jasanya.”
Barangkali demikianlah apa yang dilakukan oleh A. Fuadi, dkk saat membuat bunga rampai cerpen ini. Kumpulan cerpen ini lahir ketika Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin (disingkat PDS) mengalami defisit anggaran. Kemudian tercetuslah ide untuk membuat kumpulan cerpen ini yang mana seluruh royaltinya disumbangkan untuk PDS.
Terlepas dari semua itu, naskah dalam buku ini menarik. Ada empat belas naskah dari empat belas penulis dengan latar belakang yang berbeda, dengan tema dan gaya bercerita yang berbeda-beda pula. Dari perbedaan itulah terbentuk cita rasa yang lezat dalam buku ini. Ada yang mengangkat lokalitas, urban, mitos, dan tema lainnya.
Sebut saja M. Aan Mansyur dengan cerpen berjudul Di Tempatmu Berbaring Sekarang. Cerpen ini mengangkat kisah cinta segitiga yang menjala dua hati lelaki (Pilang dan Tumbra) dan satu perempuan (Kukila) dalam naungan adat. Kisah cinta mereka disaksikan dan direkam sepenuhnya oleh sebuah pohon angker untuk kemudian disampaikan kepada tokoh yang di kemudian hari terlentang di bawah pohon itu. Menariknya, kisah cinta itu bukanlah kisah cinta yang wajar. Pilang, seorang pemuda yang biasa saja telah menganyam kisah cinta dengan Kukila sejak remaja. Pilang berjanji tak akan mau menikah dengan gadis selain Kukila.
Di lain sisi, Tumbra anak kepala adat tidak suka hubungan mereka berdua lantaran Tumbra sendiri mencintai Pilang, cinta sesama jenis yang disimpan diam-diam. Sebab, jika sampai masyarakat tahu bahwa Tumbra menyukai sesama jenis, berdasarkan hukum adat yang berlaku dia kan dihukum dengan cara ditenggelamkan ke dasar sumur.
Maka, demi melihat Pilang tidak menjadi milik orang lain selain dirinya, Tumbra menikahi Kukila. Dan tentu saja, nasib anak kepala adat lebih mujur. Sayangnya, pernikahan Tumbra dan Kukila amat absurd. Sebagai sepasang suami-istri, mereka tidak pernah bersama. Rumah tangga mereka lebih beku dari Antartika. Sedangkan, nasib Pilang yang ditinggalkan sangat mengharukan. Pilang bersetia setiap malam duduk di bawah pohon angker itu, sambil menikmati rokoknya menghadap ke arah barat, ke rumah panggung Tumbra-Kukila demi menyaksikan Kukila duduk di beranda rumah.
M. Aan Mansyur membuat cerita ini tak hanya sampai disitu. Setelah Kukila dan Pilang saling pandang dalam remang-remang, Kukila kemudian kembali ke kamar dan Pilang pun pulang. Tumbra yang masih bertahan dengan perasaan cintanya, setiap Kukila selesai bertukar pandang dengan Pilang, dia menggantikan posisi Kukila. Dia memandangi pohon angker sambil membayangkan bahwa di bawah pohon itu seorang Pilang tengah duduk memandangnya.
Di akhir kisah, cerpen ini terasa begitu menohok. Ketiga tokohnya (Pilang, Kukila dan Tumbra) akhirnya datang ke pohon angker. Semula Kukila kaget dan khawatir kalau-kalau Tumbra akan menghukumnya karena menemui lelaki lain diam-diam. Namun nyatanya tidak. Disana, mereka justru mengungkapkan perasaan masing-masing dan mereka berjanji setelah itu mereka akan gantung diri di ranting pohon angker.
Cerpen-cerpen lain dalam buku ini juga menarik sebab ditulis oleh penulis-penulis terkemuka, antara lain ada A. Fuadi, Alberthine Endah, Andrei Aksana, Asma Nadia, Avianti Armand, Clara Ng, Dewi “Dee” Lestari, Dewi Ria Utari, Happy Salma, Icha Rahmanti, Indra Herlambang, Putu Fajar Arcana dan Sitta Karina. Selain itu, naskah dalam kumpulan cerpen ini menyoroti berbagai sudut kehidupan yang ada di negeri ini.
Demikianlah, buku ini diracik oleh chef-chef cerpen terkemuka yang berjuang untuk menyelamatkan peradaban baca Indonesia. Mari turut serta menyelamatkan dunia baca tulis Indonesia. Mari membaca!
***
Tuban, 2015
Untuk buku ini, saya berikan empat bintang (****).