Sarongge adalah karya fiksi pertama Tosca Santoso. Cerita tentang “hutan, manusia, dan cintanya” itu dipicu oleh kegiatan menghutankan kembali areal Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Sarongge, Cianjur. Ia intens berkomunikasi dengan warga dan bergelut dengan persoalan hutan di sana. Hutan itu dikembangkan jadi sarana pendidikan dan ekowisata tentang hutan tropis. Bagaimana kisah Tosca, yang telah menjadi jurnalis selama lebih dari 25 tahun, menuliskan reforestasi di Sarongge dalam bentuk fiksi? Simak wawancara tim Indie Book Corner (IBC) dengan Tosca Santoso (TS) berikut ini:
IBC: Bagaimana awal mula perkenalan Anda dengan hutan Sarongge?
TS: Tahun 2008, saya mengelola Green Radio di Jakarta, dan salah satu tema Green Radio adalah mengurangi ancaman banjir di Jakarta. Itu bisa dilakukan antara lain dengan menghutankan kembali area gundul di hulu Jakarta. Saya mengajak pendengar Green Radio untuk bersama menanam pohon di daerah hulu. Dan, Green Radio bekerjasama dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango untuk mereforestasi area taman nasional yang telanjur jadi kebun sayur di Sarongge. Itu pertama kali, saya berjumpa dengan petani-petani yang membuka ladang sayur di bukit-bukit Sarongge.
IBC: Bagaimana perkembangan terbaru dari program adopsi pohon dan kondisi Sarongge sekarang?
TS: Adopsi pohon di Sarongge sudah selesai. Area seluas 38 hektar yang tadinya botak-botak karena dipakai berkebun sayur, sekarang sudah pulih menjadi hutan kembali. Ada pohon-pohon yang sudah setinggi 15 meter. Kalau tak ada gangguan, hutan itu bisa kembali mirip hutan primer dalam tempo 10 tahun mendatang. Habitat satwa juga makin baik. Sudah mudah ditemukan babi hutan dan monyet, juga burung-burung di bekas ladang sayur yang kini jadi hutan itu.
Adopsi pohon, saat ini dilanjutkan oleh Yayasan Prakarsai Hijau Indonesia, untuk wilayah sekitar Sarongge. Bukan di taman nasional, tetapi di tanah desa dan masyarakat. Seperti di Sukatani, Tunggilis. Karena tanahnya milik masyarakat atau desa, adopsi pohon kali ini memakai pohon-pohon bebuahan (avokad, nangka, jeruk, jengkol, petai). Hasilnya untuk petani yang lokasinya masuk dalam program adopsi pohon. Belakangan, kami juga mengajak petani untuk menanam kopi di pagar kebun mereka. Selain berfungsi untuk konservasi, tanaman buah juga tabungan tahunan untuk petani yang biasa mengandalkan sayur-mayur untuk kebutuhan sehari-hari.
IBC: Apa arti “aktivis” bagi seorang Tosca Santoso?
TS: Orang yang bergerak karena ide. Ia mempunyai gagasan dan berupaya mewujudkannya.
IBC: Mengapa Anda lebih memilih bergiat di sektor lingkungan hidup?
TS: Bumi yang cuma satu ini, tak boleh dirusak, dihabiskan oleh keserakahan kita. Kita berutang pada generasi mendatang, atas tempat hidup yang layak dan semakin baik untuk mereka.
IBC: Bagaimana latar belakang sebagai jurnalis sekaligus aktivis mempengaruhi gaya bercerita Anda dalam menulis novel ini?
TS: Jurnalisme mengajarkan saya untuk menghargai fakta. Tapi dalam menulis cerita, kecenderungan memasukkan terlalu banyak fakta, mungkin jadi gangguan.
IBC: Mengapa Anda memutuskan menulis pengalaman di Sarongge dalam bentuk fiksi?
TS: Niatnya ingin menjangkau pembaca lebih luas. Mereka yang tak tertarik dengan laporan jurnalistik, mungkin bisa didekati dengan cerita.
IBC: Selain menarasikan tentang permasalahan yang ada di hutan Sarongge, novel ini juga menarasikan tentang kisah sepasang kekasih: Husin dan Karen. Apakah mereka tokoh fiktif atau nyata? Dari siapa Anda mendapatkan inspirasi untuk membangun karakter dua tokoh ini?
Tokoh-tokoh itu fiktif. Inspirasinya saya dapat dari perjumpaan dengan teman-teman pegiat lingkungan, dan terutama petani Sarongge.
Kisah Karen dan Husin itu menginsiprasi desadeso, sebuah penyelenggara ekowisata alternatif, untuk menelusuri jejak mereka di hutan Sarongge. Wisata yang diberi tajuk The Forest Romance akan diadakan 16-17 September 2017 (lihat www.desadeso.com)
IBC: Terakhir, apa pesan Anda untuk pembaca Sarongge dan pencinta alam khususnya?
TS: Bubukuan hanya sekali berbunga dalam hidupnya. Setelah itu, mati. Meski begitu, ia telah memberi warna, keindahan yang muncul 9 tahun sekali. Mampirlah ke Sarongge pada tahun 2019, ketika bubukuan ramai berbunga, ketika sabuk putih, mirip sakura, melingkari pinggang Gunung Gede.
Bubukuan itu mengingatkan kita untuk berbuat baik pada alam, meski hanya sekali…