Ketika Emak Memakai Celana Dalamku adalah sekumpulan cerita dwibahasa (Indonesia-Inggris) yang mengisahkan kehidupan seorang ibu yang cukup nyentrik dalam mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Dinarasikan dengan cara penulisan yang unik, sifat nyentrik Emak, si tokoh utama, dapat dilihat dari tingkah laku sehari-hari maupun ucapannya. Meski pembaca sering dibuat tertawa dan terheran-heran dengan sosok Emak, namun sebenarnya kisah ini juga menangkap keprihatinan seorang orang tua tunggal dalam membesarkan anak-anaknya.
Bagaimana proses di balik penulisannya? Simak wawancara IBC dengan sang penulis, Ahmad Zaenudin (A), berikut ini.
IBC: Membaca kisah-kisah dalam buku ini, rasanya sang penulis memiliki ingatan yang kuat pada masa lalu. Bagaimana proses kreatif di balik penulisan kisah ini?
A: Sebenarnya saya sudah berniat menulis tentang Emak saya sejak lama, karena kehidupannya yang saya pikir sangat menarik. Tetapi kesibukan dan hal lain selalu membuatnya tertunda, selain saya belum tahu bentuknya akan seperti apa. Selama itu, saya hanya sempat bercerita atau curhat kepada teman-teman terdekat. Baru ketika saya sedang traveling di Osaka, seorang teman bernama Yogi, tiba-tiba melontarkan ide, “Ditulis dengan jenaka saja, lha wong ceritanya memang lucu gitu!”
Tapi niatan masih tinggal niatan. Barulah beberapa hari setelah Emak meninggal dunia, dua tulisan pertama lahir begitu saja. Saya sedang berduka, dan menulis benar-benar menjadi tempat pelarian yang sempurna, murni untuk membebaskan diri saya sendiri. Ingatan-ingatan akan masa lalu datang begitu saja. Waktu itu saya menulisnya dalam bahasa Inggris, agar teman-teman terdekat saya yang hanya bisa berbahasa Inggris juga dapat mengerti. Dari situlah, ide kreatif buku ini pelan-pelan mulai terbentuk.
Ini bukan sebuah memoar, tetapi hanya sepenggal atau dua penggal kisah yang saya ingat tentang Emak saya. Meski begitu, saya ingin membuat sebuah kisah yang utuh. Setelah delapan kisah selesai ditulis, saya mulai mengorganisir susunannya. Memang kisah ini seperti cerpen, tapi saya benar-benar ingin membuatnya utuh dari satu cerita ke cerita yang lain –seperti TV series. Setiap cerita bisa berdiri sendiri, tapi akan lebih menarik jika dibaca semuanya.
IBC: Mengapa Anda menuliskan kisah ini dalam dwibahasa? Apa pertimbangannya?
A: Seperti yang saya uraikan di atas, pada mulanya saya menulis dua tulisan pertama dalam bahasa Inggris. Dari situlah saya berpikir, kalau memang ingin membuatnya menjadi buku, ya sudah, ditulis dalam dwibahasa saja. Selain bisa dibaca oleh orang yang hanya bisa berbahasa Inggris, juga bisa dibuat belajar untuk mahasiswa atau mahasiswi yang ingin memperdalam bahasa Inggris, atau sebaliknya untuk orang asing yang ingin memperdalam bahasa Indonesia. Saya pikir ini ide bagus. Membuatnya berbeda, mengisi niche pasar, dan menjangkau pembaca lebih luas. Bagi saya, menulis dalam dwibahasa juga menjadi pengalaman menarik tersendiri.
IBC: Karakter Emak dalam kisah ini cukup unik dan jenaka. Bagaimana cara Anda menghidupkan karakter tersebut? Apakah pengalaman pribadi Anda cukup memengaruhi penulisan kisah ini?
A: Tentu saja pengalaman pribadi saya sangat memengaruhi. Tapi pengalaman itu tidak terasa jenaka ketika saya mengalaminya. Jujur, saya justru sedih ketika itu. Saya sedih melihat Emak saya seperti itu. Karakter Emak baru terlihat jenaka ketika saya mulai curhat kepada teman-teman terdekat, mereka rata-rata malah tertawa, “Masak sih? masak sih?” kata mereka. Jadi saya pikir sedih dan jenaka tipis bedanya, tinggal mana yang kita pilih. Menghidupkan karakter Emak dengan sedih atau jenaka sama mudahnya bagi saya.
IBC: Berapa lama waktu yang Anda habiskan untuk menyusun draf buku ini? Adakah kendala yang cukup berarti, mengingat ini adalah karya pertama?
A: Draf selesai dalam sembilan bulan, plus dua bulan proses penyuntingan dari saya dan editor. Saya kerjakan part-time, biasanya akhir pekan atau malam-malam ketika tidak bisa tidur. Kendala besar berasal dari saya sendiri, ketakutan bahwa saya tidak bisa melakukan ini. Kendala lainnya adalah menghidupkan adegan-adegan kecil yang menyertai ide cerita. Saya takut time-frame-nya tidak sesuai atau terlalu mengada-ada, membuat karya ini seperti karya fiksi belaka. Tapi pada akhirnya, saya pikir ini adalah cerita tentang ibu, semua hanya berdasar pada ingatan (meski saya tetap melakukan riset kecil-kecilan dalam beberapa hal, seperti kapan film Brama Kumbara itu beredar). Saya tidak bisa mencegah ada hal-hal kecil fiksional yang mungkin mendramatisir cerita, apalagi kejadiannya sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Saya harus mengakui, ada yang saya besar-besarkan, atau sebaliknya, ada yang saya kecil-kecilkan.
IBC: Apa pesan yang ingin Anda sampaikan kepada pembaca lewat buku ini?
A: Nikmati hidup ini selagi sempat – love this while you can life, dan jika Anda sedang bersedih, ingatlah bahwa kegembiraan atau kejenakaan tepat berada di sebelahnya.
IBC: Terakhir, apa arti Emak bagi seorang Ahmad Zaenudin?
A: Emak membuat saya menjadi anak kecil lagi. Someday, somewhere in the other world, she will hold my hand again, getting on and getting off from the bus again, traveling from one beautiful place to another again.