Puisi

Katalis, Revenant, Tapekong, 5 Puisi Musa bin Hamdani

Holosen
                         
siapa sangka malam berpulang
sebelum beribu tangkai alfirin gugur
dari bibirmu. jejak-jejak liur samar

seperti senja di ufuk tenggara
seperti kita yang ditinggal cahaya
dan masih bermukim,
di atas tanah masygul ini

hari tak lagi bernama, tak ada manusia
yang terlihat. hanya seorang pecinta
dalam tapa
―mungkin ia dari langit kedua

napasnya koak gagak,
barangkali setelah 12.000 buah sabda
utusan terakhir menjelma jubahnya
yang paling dingin dari kutub mana pun

sementara, puluhan tahun
hujan tertahan di langit
adalah lebuh bagi jiwa kita
melabuhkan irama pada jerit

dan kita terpejam, ia bergumam
“sepanjang langkah
di kaki gunung tanpa puncak
ubunku berpalung, menampung peluh
lillah, segera sembuh segala sembah”

dan kita berkedip, ia bernada
dalam sesap “inilah tamasya.
memecah jutaan bongkah darah,
membujuk ombak berahi
beranjak dari samudera islah”

ah, kita pun baka
bersamaNya
dalam desah

2017

 

Tapekong

demi sirnanya sunyi
sejak masa silam, akhirnya aku
tenggelam ke dalam palung
tanpa ujung di hatimu

di sini, jiwa adam melebur
pada arus asing yang begitu hidmat
pada pintu-pintu sejumbuh langit:
kidung-kidung namamu mengalun
kudus sekaligus bius

dan nampaknya tak ada batas
bagi kediamanmu, milyaran bunga
menari. melahirkan negeri paling ngeri
ketimbang samudera imanku,
di semesta senyummu

ruap dupa dan dingin dosaku
menjadi ritual sakral
membangun kota-kota suci,
bersama langkanya
ledakan napas pertemuan kita;

puing-puing bulan, jantung firman
dan ribuan mata anak-anak
adalah kiblat baru
dalam dinasti lubukmu

dan biarkan dukamu
menjelma anggur hitam
yang kureguk tiap malam;

menggenapi simpuh ini, mengusir
senja terakhir
kembara rinduku
pada kekal kediamanmu.

2017

 

Stigi

aku percaya pandanganmu
tentang ajal
menyiratkan jiwa,
alpa mengenal cinta

sejak tahun-tahun diyakini
malam tak lagi asing bagi kita.
menduga sosok
di balik tirai gemerlapan itu
pada adegan yang tak terduga;

cekam tawa
adalah hidup manusia

tak perlu risau atas hujaman
peluru yang dilepaskan

ledakan hanya pelipur lara
bagi kembara sunyi
menuju gurun
di mataNya yang lain

bukankah kita pengintai
sekaligus terintai
terbiasa terlelap
tanpa atap?

tapi pada maut, kerinduanku memudar
setelah kecup déja vu
meninggalkan memar
saat lembayung memencar

kita makin gemetar
dalam kelana mencari leher-leher
jenjang, mengguratnya bagai tarawangsa,
dalam sebuah upacara

di tiap jeda
hanya gempa dalam dada
membahagiakan kita
hanya dari ribuan pandangan
sepi yang baru terlahir;

lalu sepasang elang
terbang dari rimba mata kita,
lalu hati kita remang
atas bangkai-bangkai benua
yang terlupakan.

amatilah sepasang bilur
di wajah ini, seperti keyakinanmu
abadi tapi tak pernah berdiam diri

ya, melengkapimu dalam tiap pertunjukan,
lebih berkesan ketimbang mendengar
khotbah-khotbah picisan, lambat laun
merenggut cahaya nalar dan hati
dalam hitungan hari.

mesti dalam percakapan kita,
tak ada tawaran. titik atau koma
hanya kita, hanya kita nyala
yang dibiarkan menjadi tanya
―nyatanya tak fana

biar kita kekal bercakap
dalam gelap, lengking simfoni
berhamburan
menegaskan kealpaan
yang orang-orang kira surga.

2017

 

Revenant

tidak, aku tidak takut mati
sebab aku tahu rasanya mati.

dari dingin paling menusuk
napasmu ranggas seperti gugur
daun-daun cemara
yang tak berdaya
diterpa badai petang itu,

dari balik timbunan
ranting-ranting ajal,
tercium buhur tubuhmu
kuhirup dalam-dalam
seperti rami terakhir
di malam paling mencekam
sebelum kita tenggelam
di lautan darah pribumi

dan sepanjang jalan itu
langit seakan berduka
pada napasku yang tersisa,
sebelum bulir-bulir merah
merayakan pestanya, sementara
dari tanganmu. ledakan senapan
hanya jerit dari dasar batin
kemalangan seorang pendeta
setelah firman-firman
diubahnya menjadi jelaga

ketika batu-batu sungai
menatapmu dengan basahnya,
aku pun benar-benar kembali
padamu. setelah melepas diri
dari pelukan maut yang lebih cinta
dari hujaman paruh sejuta elang
lebih mesra dari rintih ritmis
bibir perawan.

mari kita saling menjamu
sekadar saling melepas nyawa
tanpa amarah
tanpa degup fitnah.

1437

 

R

setipis mungkin, tak mudah
mengucapnya. lidahku tak kuasa
menjeda cecap pangset pupilmu,

tapi lebih dulu  kuimani sebagai sosok
yang menjaga alun ombak dalam lubuk
membening genang gelisah,
membatasi tandak hujan
sebelum singgah senyum sunyi.

kekalnya adalah lancip pedang
tanpa gagang, asah tubuhnya

mengasuh kawanan kenangan
meluput pindaian angka-angka
umpama langkah bulan
membelah batas angkasa.

maka sebagaimana kental
bunyi awal namamu,
tak henti kuamati setiap inci kulit
juga jelaga putih yang lekat
di wajahmu,

sesulit mengucapnya. tak segegas
iblis menjilati dada kapan saja,
sebab tak hanya hati
yang layak dimandikan basah kauni,
tapi juga atma dan cinta
mesti mukim di  langit matamu
lewat tangan do’a, tangan lembut
paling ampuh menyentuh sukma.

maka ihlaslah untuk islah
manakala kelak suatu musim
demi sebuah takzim,
kita saling menaungi
meski semua
sesulit mengucapnya.

1437

 

Katalis

barangkali arasy’ runtuh
menghantam segala ruh
dan menjelma megatruh

seruan adzan
tak selaras bibir perawan

adalah kenikmatan cinta
yang kujarah dari cuaca

seketika hasratku senja
menahbiskan dosa sebagai
ritus pemarunan surga.

mata langit
mengutus kawanan namdur
menancapkan paruh-paruh yang hancur

tiba-tiba setelah
berdentuman firmanmu
sepasang tebing menyatu
menjelma noldorin;
berduri, sembilu abadi.

dan debur-debur ombak
bagai kalimat suci
dari lisan seorang padri
menuntun sujud yang sarat
hasrat bagi tubuh berkarat.

1435

Tentang Musa bin Hamdani

Musa bin Hamdani adalah nama pena dari Muhammad Sa’iquddin Ashshofy, Lahir di Bandung, 23 Juli 1993. Bermukim di Perbatasan Bandung-Cimahi. Juru Kamera buruan.co. Bergiat di komunitas Arena Studi Apresiasi Sastra Universtias Pendidikan Indonesia (ASAS UPI).

Related Posts

Tinggalkan Balasan