artikel

Jualan Buku Memang Tidak Semudah Jualan Kacang

Catatan kecil dari status Facebook Pemred IBC

Beberapa tahun silam, saya ingat betul, penerbitan buku indie sering dilirik hanya karena kemampuannya mampu menyusun dan menerbitkan buku sesuai selera penulis.

Belakangan, gejala itu tidaklah berkurang sama sekali. Hanya saja dalam penjualan, banyak penulis indie yang sebenarnya tidak merasa harus ngotot ngejar kesuksesan penjualan bukunya dalam target-target tertentu.

Ada semacam kesadaran bersama bahwa pasar indie tidak menjanjikan secara finansial, terutama jika dibandingkan dengan penerbit-penerbit besar yg punya oplah berpuluh kali lipat. Pada akhirnya penerbitan indie sering dilihat hanya sebagai akses untuk mendapatkan modal sosial. Pengakuan, citra, eksistensi, dan tentu saja ini penting untuk beberapa karier penulis di bidang-bidang lain.

Namun, arus ini nyatanya sedikit banyak mulai berubah.

Beberapa penulis indie memang masih mengandalkan buku karyanya sebagai etalase diri. Menjadikannya sebagai stan galeri pameran akan pertunjukkan sebagus apa kemampuannya dalam menulis.

Hanya saja tidak sedikit juga penulis yang sudah punya citra positif semacam itu jauh sebelum karyanya dibukukan kemudian diterbitkan. Lalu ‘personal branding’ yang terbangun sejak mula itu menjadi bagian penting dari keberlanjutan penerbit indie secara umum.

Pembaca tidak lagi peduli penerbit buku APA yang menghasilkan karya-karya bagus, tapi SIAPA yang menulis buku tersebut. Jika dulu penerbit adalah promotor dalam menunjang citra penulis, kali ini justru penulis-penulis baguslah yang menunjang keberlangsungan citra sekaligus citarasa penerbitan.

Jokowi, Ahok, Risma, sampai Ridwan Kamil adalah gambaran yg juga menunjukkan gejala tersebut di dunia politik. Pemilih tokoh-tokoh ini kebanyakan sudah tidak lagi (mau) peduli siapa partai pendukung di belakangnya.

Reputasi partai yang belakangan mulai menurun tingkat kepercayaannya di mata masyarakat membuat sosok-sosok ini menjadi etalase penting bagi partai pengusung.

Jika dulu partai adalah promotor setiap calon, kali ini zaman memungkinkan itu dibalik. Partailah yang saat ini justru bergantung pada reputasi calon yang diusung. Orang sudah lagi peduli calon itu “diterbitkan” dari Partai apa.

Pada akhirnya arti sebenarnya dari penerbit indie adalah ketika setiap penulis merupakan penerbit bagi dirinya sendiri. Menjadikan mereka punya kuasa atas karya apa yang (menurut mereka) cocok dengan pembaca dan calon-calon pembaca buku mereka.

Selera mungkin sulit untuk diciptakan, tapi percaya sajalah kalau selera senantiasa bergerak dan memungkinkan digerakkan, diarahkan untuk jadi muara baru yang potensial bagi masa depan penerbit-penerbit indie yang tentu saja, mandiri, dalam gagasan, prinsip hingga tata kelola keuangan.

Related Posts

Tinggalkan Balasan