Alkisah, menjelang tahun 1900, dua bersaudara Orville dan Wilbur Wright sedang sibuk berkutat dengan penelitian mereka. Menghitung, dan menganalisis hasil riset dengan teliti dan hati-hati. Lantai ruangan menjadi tempat tergeletaknya remasan-remasan kertas yang mati lemas. Pertaruhan mereka besar, masa depan yang canggih dan jawaban atas pertanyaan imajinatif mereka—setidaknya pada masa itu hal ini masih bisa dibilang imajinatif—yaitu “apakah manusia akan bisa terbang?”. Terbang dalam arti seperti burung, bukan melayang malas seperti balon udara atau Zeppelin, yang terlihat seperti lelaki tambun dengan bulat perut yang menyembul besar sedang melayang di langit.
Seperti bagaimana kisah awal mula sejarah lainnya, yang diawali dari sebuah usaha dan kerja keras, Orville dan Wilbur Wright memulai misi mewujudkan mimpi mereka dengan tertawaan dan cemohan orang lain. Kesulitan di sana-sini, bertempur dengan rasa minder dan kepercayaan diri yang terjun ketika orang-orang menganggap usaha mereka akan berujung omong kosong. Namun, dengan kalimat yang kebenarannya masih valid sampai sekarang, “effort doesn’t betray you”, dua bersaudara ini akhirnya membuktikan hasil kerja mereka dengan menjadi penemu pesawat terbang yang bisa mengangkut manusia—tentu pula mereka juga yang menjadi pilot pertama di dunia.
Kerja keras memang jarang sekali menghkianati. Kalaupun kamu merasa pernah dikhianati, mungkin kamu belum cukup keras bekerja, atau kamu terlalu manja, terlalu drama, atau terlalu trauma dengan kata “dikhianati”. Tentu saja, kerja keras juga akan menemui sandungan-sandungan, khususnya dalam kepercayaan diri.
Saya selalu menganggap suatu kerja keras terlahir dari perkawinan antara harapan/cita-cita/mimpi (atau sebangsanya), bersama niat yang sungguh-sungguh. Karena siapapun tahu, harapan tanpa niat tak akan melahirkan usaha, dan niat tanpa harapan hampir mirip dengan omong kosong. Kemudian, niat yang sungguh-sungguh berpoligami dengan rasa percaya diri. Karena percaya diri seolah menjadi modal yang jarang disadari seseorang ketika ingin melakukan sesuatu. Bagaimanapun, percaya diri akan satu tingkat menaikkan keyakinan seseorang akan keberhasilan. Kepercayaan diri merupakan tembok yang pertama kali menerima gempuran dari hal-hal yang akan membuat niat menjadi ciut, dan harapan menjadi pupus. Maka, keberadaan rasa percaya diri sangat penting ketika seseorang ingin menjalankan sesuatu. Lalu kenapa harus saya tulis berpoligami? Untuk yang ini sebaiknya tidak perlu terlalu dipikirkan.
Sejak kecil, tak pernah sekalipun saya membayangkan diri saya akan menjadi penulis. Saya ingin menjadi Power Rangers, jago berkelahi dan memukul Septian, teman sekelas sewaktu SD dan meminta kembali uang jajan saya yang pernah ia rampas. Bukan menjadi seseorang yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk duduk dan mengetik kalimat demi kalimat. Keinginan untuk menjadi penulis justru muncul belasan tahun kemudian, ketika saya baru menyadari betapa menyenangkannya menulis dan melahirkan karya.
Awal pertama kali saya senang menulis, mungkin sama dengan banyak penulis lainnya. Iseng, pelampiasan curahan hati. Puisi adalah tulisan yang membawa saya ke dunia tulis-menulis. Dari coretan yang sekadar curhat, menjadi puisi yang bisa dinikmati banyak orang. Di sinilah saya berterima kasih kepada teknologi bernama internet. Saya bisa menulis, menyebarkannya ke banyak orang, dan mendapat apresiasi dari banyak orang. Dikritik, diberi saran, hingga menerima pujian. Bergabung di situs online berkumpulnya orang yang tengah bersama-sama belajar menulis adalah salah satu keputusan saya yang secara pribadi saya syukuri. Saya bertukar pikiran, saling memberi komentar terhadap karya, dan memotivasi saya untuk menulis dan menulis. Lama kelamaan, dari menulis puisi, saya tertarik mencoba jenis tulisan lain seperti cerpen, cerita kilat, hingga fiksi mini.
Kemudian saya menyadari kesenangan lain dari menulis, saya bahagia ketika orang mau membaca karya saya dan mengapresiasinya entah itu dalam bentuk pujian, kritikan, komentar, ulasan, atau sekadar direspons dengan sepasang alis yang naik-turun dengan cepat—perihal yang terakhir ini, saya memang pernah mendapatkannya.
Apresiasi orang lain terhadap karya yang kita buat cukup vital dalam membentuk kepercayaan diri. Saya sendiri tentu mengawali kisah kepenulisan saya dengan banyaknya kritik dari orang lain terhadap karya saya yang pelan-pelan saya selidiki sendiri kekurangannya, belajar memperbaiki, meniru—bukan menjiplak—karya penulis lain yang saya kagumi, hingga akhirnya saya berhasil menulis karya yang lebih dominan mendapat pujian. Kepercayaan diri naik berlipat-lipat hingga akhirnya kepercayaan diri itu seolah tiba-tiba sembunyi di balik pintu ketika seorang teman menanyakan “kenapa kamu tidak menerbitkan buku saja?”.
Sudah sewajarnya, suatu keberhasilan akan disambut dengan tantangan baru yang lebih tinggi tingkatannya. Lebih sulit, sekaligus lebih memuaskan jika kembali berhasil dilewati. Bagi mereka yang telah menghasilkan banyak karya dan telah melalui berbagai macam proses kepenulisan, menerbitkan buku adalah tantangan tinggi berikutnya.
Bagi mereka yang sudah begitu percaya diri karena merasa telah cukup banyak menulis dan belajar, mungkin akan lebih siap ketika ingin menyodorkan naskahnya ke penerbit. Meskipun, tentu ada pula mereka yang mendadak ragu-ragu karena merasa belum siap, merasa belum pantas, takut ditolak, takut terkenal, alergi pujian, atau apapun yang sebenarnya menggambarkan kepercayaan diri yang perlahan luntur dan mencair seperti lelehan es krim.
Saya sendiri mungkin termasuk golongan yang kedua. Saya terus belajar membuat tulisan yang baik. Menerima masukan, membaca banyak karya bagus, dan akhirnya perlahan muncul keinginan untuk menerbitkan buku. Memasuki tahun kedua kuliah, saya pun mencari bermacam-macam info mengenai penerbitan buku, dan yang paling pertama saya temukan adalah penerbit-penerbit besar. Saya terbiasa membaca semua info yang ada dahulu sebelum bertanya. Membaca persyaratan, ketentuan, dan sebagainya. Harapan saya ciut karena tidak menemukan ketentuan dan persyaratan untuk menerbitkan buku puisi. Ya, saya hanya punya naskah puisi yang saya kumpulkan sejak pertama kali belajar menulis puisi.
Sembari mencari-cari info menerbitkan buku puisi, di kepala saya terus berputar pertanyaan “apakah saya pantas?”, dan terngiang-ngiang di mana pun saya berada. Hingga akhirnya dengan berbagai alasan yang tercipta seenaknya dari rasa percaya diri saya yang runtuh, saya memutuskan untuk mundur beberapa saat, tidak mencari info penerbitan lagi, melainkan mengalihkan pencarian cerita pengalaman orang lain yang berhasil menerbitkan buku. Tiba-tiba saya merasa malu.
Banyak penulis besar yang pada perjuangan mereka menjadi penulis, telah merasakan bermacam-macam penolakan. Tapi di antara cerita-cerita tersebut, saya tertarik dengan cerita penulis yang tampil dengan buku indie. Tentu saja ini info baru untuk saya. Pencarian pun saya putar lagi dengan mencari info penerbit indie, dan justru akhirnya saya temukan di komunitas menulis tempat saya biasa berbagi tulisan. Saya mengontak pemimpin redaksinya, mendapat sambutan yang menyenangkan, bertanya-tanya, berdiskusi, hingga akhirnya sepakat. Buku puisi saya akan diterbitkan bersama Indie Book Corner.
Selama proses menerbitkan buku, saya kembali ditodong pisau yang mulai mengoyak rasa percaya diri. Sesekali saya berpikir apakah saya sudah pantas menerbitkan buku dan melangkahi mereka yang saya anggap guru di komunitas menulis, sementara mereka sendiri belum menerbitkan buku. Lalu pertanyaan apakah buku saya akan dibaca banyak orang, bagaimana mengenalkan kepada teman-teman awam mengenai buku saya yang diterbitkan secara indie.
Memang ada saja hal-hal yang bisa menggoyang rasa percaya diri. Gangguan itu kadang datang dari orang lain, tapi lebih banyak datang dari diri sendiri. Rasa percaya diri yang paling pertama digoyang, hingga muncullah keragu-raguan. Meski kecil, tentu jika dibiarkan akan menjadi hambatan besar untuk tetap maju. Keragu-raguan kerap membuat diri beralasan, beralasan, dan mencari-cari alasan. Jika kamu merasa sudah pada tahap ini, maka kamu mulai malas untuk percaya diri.
Malas percaya diri harus dibuang jauh-jauh jika tetap ingin meraih keinginan. Bayangkan saja bagaimana jika Wright bersaudara sempat mengikuti keputusasaan mereka saat hampir menyerah dan mengatakan sepertinya manusia baru akan bisa terbang seribu tahun lagi. Memang sudah banyak yang menjadikan Wright bersaudara sebagai contoh usaha keras. Saya sebenarnya ingin mengangkat kisah penemu Ulekan pertama kali biar beda, tapi saya tidak menemukan infonya. Baik, kembali ke bahasan. Mungkin tidak ada pesawat terbang sekarang (atau jika imajinasimu tinggi, kamu bisa membayangkan sebuah dunia paralel yang menggambarkan penemu pesawat terbang bukanlah Wright bersaudara. Mereka sudah menyerah, namun orang lain melanjutkan penelitian mereka, dan namanya tertulis sebagai penemu pesawat terbang. Atau pesawat terbang memang tidak pernah diciptakan, namun ada penemuan lain yang memiliki fungsi seperti itu). Saya sendiri tidak bisa membayangkan dunia paralel saya sendiri seandainya saya mengikuti rasa malas percaya diri sewaktu menerbitkan buku secara indie. Mungkin saya akan menjadi mahasiswa tukang galau biasa yang karya-karyanya dibiarkan berdebu saja, mungkin tetap menjadi saya yang biasa-biasa saja, menjadi atlet panjat pinang, makan kerupuk, dan mudik tanpa ada semringah dari keluarga “Wah, selamat datang, tante sudah baca bukumu, lho!”.
Berhati-hatilah ketika kamu mulai malas malas percaya diri, jangan mengikuti alasan-alasan yang lebih akrab disebut ngeles. Alasan dan ngeles memang obat ampuh untuk menenangkan diri dan membuat diri merasa tetap berada di jalur aman. Namun efeknya hanya sementara, selayaknya obat penenang lainnya. Sayangnya, itu hanya akan menghambat diri untuk berhasil. Ini tentu berlaku untuk mereka yang ingin menerbitkan buku. Terlebih menerbitkan secara indie, yang perlu usaha dan kepercayaan diri ekstra untuk mempromosikan buku-bukunya.
Jadi, jangan malas percaya diri, tunjukkan kepantasan untuk menjadi seorang penulis. Jika itu sudah dilakukan, maka duduklah, dan nikmati hidup yang pelan-pelan berubah.
–Andi Wirambara, penulis–