Kolom

Jalur Indie Bukan Jalan Buntu

Beberapa waktu ini, saya agak terusik dengan obrolan beberapa orang, “ya wis, nek ra iso di mayor yo neng indie wae. Musti diterbitkan kok, Bro tapi yo ngunu ” (ya sudah, kalau enggak bisa di mayor ya di indie saja. Pasti diterbitkan kok, Bro… tapi ya begitu). Tunggu dulu. Kalimat seperti itu menurut saya mengandung unsur-unsur yang negatif.

Lho, ada apa?

Begini, indie bukanlah sebuah jalan akhir untuk menerbitkan karya-karyamu. Indie bukan seperti pintu/lorong terakhir yang menyalamatkanmu dari depresi labirin-labirin cara menerbitkan karya. Bagi saya, indie adalah bagaimana kita menemukan pintu atau lorong lainnya, bukan jalan terakhir ketika sebuah karya tidak medapat tempat di industri arus utama.

Adakah yang salah dengan cara menerbitkan karya secara indie? Saya rasa tidak ada. Kesalahan utama ada pada persepsi kita, persepsi mereka yang mendiskrimanasi penerbitan indie dan membandingkannya dengan industri buku arus utama.

Biar dikerucutkan: saya akan fokus pada cara menerbitkan karya. Aktivitas yang dilakukan di kantor redaksi penerbitan indie, sama saja dengan apa yang terjadi di redaksi sebuah penerbit secara umum. Ada penyuntingan, penataan letak, perancangan sampul, cetak dan distribusi buku.

Penyuntingan/Editing. Penyuntingan adalah proses menyiapkan naskah siap cetak atau siap terbit dengan memperhatikan sistematika penyajian, isi, bahasa, menyangkut ejaan, diksi, dan struktur kalimat. Tiap-tiap penerbitan pasti memiliki penyunting yang memang sudah cakap di bidangnya. Penyuntingan ini vital. Kenapa? Karena hasil penyuntingan akan memengaruhi kualitas sebuah buku. Baik atau belum baiknya sebuah buku.

Penyunting atau editor adalah orang yang paling penting dalam proses penerbitan sebuah buku. Nah, di tubuh redaksi indie, bisa saya pastikan selalu ada penyunting—baik bekerja paruh waktu ataupun pekerja tetap—yang telah disiapkan untuk menguliti sebuah naskah.

Di Indie Book Corner sendiri, ada empat orang editor yang bekerja di bawah naungan ‘kepala suku’ editor. Apa tugas mereka? Ya, sama. Mereka melakukan proses-proses seperti memeriksa ejaan, memperhatikan diksi, membenarkan logika-logika cerita yang patah dan menyelaraskan aksara. Nah, yang dikerjakan oleh penyunting arus utama dan indie sama saja, kok. Tak ada yang berbeda.

Tata Letak/Layout. Mari kita berjalan santai ke langkah kedua, tata letak (layouting). Sebuah naskah yang sudah melewati proses penyuntingan, otomatis akan melompat indah ke fase selanjutnya. Kenapa harus ada penataan letak? Begini. Penata letak atau layouter akan bertanggung jawab pada berdirinya huruf-huruf yang hidup pada tubuh naskah. Pada proses ini, dibutuhkan seorang penata letak yang piawai menciptakan kenyamanan membaca. Sebab buku adalah karya seni, maka kesalahan tata letak tidak boleh membuat cacat karya seni tersebut.

Seorang penata letak pada umumnya mengatur besar kecil dan pemilihan sebuah font yang tepat. Ia juga menjaga kenyamanan jarak untuk menciptakan keindahan penempatan tiap-tiap paragraf.

Kita buat saja contoh, sebuah naskah puisi misalnya. Buku puisi ini mengangkat kisah-kisah percintaan yang berbeda teritori dan kritik sosial terhadap Yogyakarta yang saat ini telah membiarkan kota menjalar ke setiap sudut desa. Setidaknya sudah terbayang puisi-puisi di buku itu seperti apa, kan? Jika belum terbayang, anggap saja yang menjadi penyair adalah Saut Situmorang. Eh, jangan deh. Saya ganti saja ke Jokpin.

Baiklah. Apakah mungkin jika naskah-naskah puisi tadi akan dihidupkan dengan font ‘courier new? Sial! Ini font untuk coding di skripsi! Pasti melelahkan. Sudahlah membaca puisi itu membuat pusing, ditambah lagi dengan kehadiran font yang bikin mata bekerja ekstra, dan mengingatkan pada luka skripsi. Duh, cape deh!

Tugas penata letak lainnya adalah membuat tipografi yang indah. Mengatur spasi tiap huruf dan sedikit banyak memoles halaman-halamannya. Ada juga penata letak yang memasukkan ilustrasi di beberapa halaman. Jika dirasa dengan memasukkan ilustrasi mampu menghidupkan isi puisi tersebut, maka tindakan ini harus dilakukan. Penata letak juga akan bertanggung jawab pada penempatan nomor halaman: apakah akan ditaruh di tengah, di kiri, di kanan, di bawah atau di atas. Itu menjadi perhatian serius bagi tiap penata letak.

So? Selain bacaan yang nyaman/asyik, menampilkan bacaan dengan keindahan itu juga perlu. Dan, lagi-lagi tidak ada bedanya antara indie dan arus utama: sama-sama memiliki penata letak.

Desainer/Ilustrator. Okay, masuk ke bagian ketiga, yaitu merancang desain sampul. Mengutip kalimat seorang teman diskusi saya Irwan Bajang: “hakimilah sebuah buku dari sampulnya”. Wow! Pasti beberapa orang akan kontra dengan pernyataan ini. Tapi saya adalah orang yang kontra pada kontra mereka. (loh?).

Begini, jamaah buku yang berbahagia. Sebuah buku haruslah digarap secara serius dalam tiap langkahnya. Buku menjadi tanggung jawab penerbit dan penulisnya sebelum dilepas ke pasar dan tangan pembaca. Buku yang baik, juga tidak akan digarap main-main, (meskipun beberapa orang menganggap menulis adalah main-main, dan ini dibuktikan dengan fenomonologi “Bro, minta bukumu dong… kan kita teman? Hehehe—Sekilas intermezo).

Coba kita kilas: berapa orang yang membeli sebuah produk, baik itu mobil, telepon genggam, risoles dan kue ulang tahun, yang menjadikan tampilan sebagai tolok ukur pertama pembeliannya? Tak bisa dipungkiri juga, kita memantapkan niat untuk duduk dan berlama-lama di sebuah cafe karena melihat tampilan dan desain interiornya, kan?

Kembali ke desain sampul buku. Pada fase ini, desainer akan membuat diskusi dengan penyunting dan penulis, bagaimana merancangnya. Biasanya, tiap-tiap anggota memberikan usulan. Si penulis maunya begini, lalu dideskripsikan ke desainer, eh tahu-tahunya penyunting menolak dengan beberapa alasan. Atau desainer, memberikan beberapa pilihan kepada penulis dan penyunting, eh enggak tahunya si penulis yang menolak. Nah, pemilihan desain sampul buku kadang membuat sebuah diskusi yang alot antara tiga anggota tadi. Tapi pada akhirnya, akan muncul gagasan paling akhir bagaimana wajah buku tadi.

Mungkin teman-teman bertanya, kenapa penyunting dilibatkan pada fase perancangan sampul buku. Jadi begini, penyunting adalah salah satu orang yang memahami isi naskah si penulis. Sampul buku tidak boleh keluar dari isi naskah, dan penyunting juga akan memikirkan, apakah desain itu akan menarik mata para pembaca/pembeli atau tidak. Konon, desainer penerbitan indie suka ’nyeleneh’ tiap kali membuat desain buku. Dan, ini menjadi salah satu pembeda, maaf saya rasa kurang tepat, sepertinya ciri khas ya? Okay, saya ganti. Dan, ini menjadi salah satu ciri khas buku-buku penerbitan indie.

Naskah sudah disunting, diatur tata letaknya, dan sudah didesain sampulnya. Apa ada dari tiga fase tadi yang tidak sama dengan penerbit arus utama? Ting tong… masih ada kelanjutannya.

Cetak. Mungkin pembeda yang paling kentara antara Indie dan arus utama adalah dalam hal oplah cetakan. Bagi penerbitan indie, menerbitkan 500 eksemplar saja sudah banyak, tapi jika kamu tanya pada arus utama, tentu jumlah itu adalah jumlah yang sangat, sangat, sangat sedikit. Bayangkan, bagi arus utama 3000 eksemplar itu masih sedikit.

Uh… saya tidak akan berpanjang lebar membahas ‘power’ percetakan mereka. Toh itu enggak menjadi masalah serius. Ada dua cara mencetak buku di percetakan: offset dan print on demand. Apa itu offset, apa itu print on demand? Biar saya sederhanakan, offset pada umumnya adalah mencetak buku secara borongan/mencetak buku dalam jumlah banyak. Semakin banyak kita mencetak, semakin ‘murah’ angka yang kita dapatkan untuk setiap eksemplar buku. Berbeda dengan print on demand, cara mencetak ini adalah mencetak dengan jumlah sesuai pesanan. Harga buku agak mahal sedikit, tapi tidak membuat resiko mengeluarkan ongkos banyak dan menumpuk di gudang.

Setelah dicetak apalagi prosesnya? Ya ini dia: mendistribusikan serta mempromosikan buku.

Banyak cara menjual buku; memakai jasa distributor, konsinyasi ke beberapa toko buku, menitipkannya ke gerai foto kopi, ke warung kopi, cafe, angkringan, mendatangi acara-acara komunitas, dan masih banyak lagi cara-cara kreatif lainnya. Tapi itu biasanya salah satu nasib dan kerja keras yang harus dilakukan oleh seorang penulis indie.

Tak sedikit penulis indie yang ingin mendistribusikannya ke toko buku besar. Dan yang menjadi sasaran adalah ‘raksasa’ penerbitan yang memiliki toko buku, percetakan, perusahaan tisu dan hotel itu. Tak perlu saya sebutkan, pasti pembaca yang bahagia sudah tahu. Sedikit memberikan informasi, untuk memasukkan buku ke toko, penerbitan akan bekerja sama dengan distributor, dan pada umumnya distributor meminta potongan persentase sebesar *55-60% dan oplah minimal adalah 1000 eksemplar. Dengan oplah segitu, buku akan diedarkan, tetapi saya pastikan tidak merata di seluruh provinsi. Jadi, kalau ingin merata, ya perbanyak oplah cetak bukumu.

**

Bagaimana, dengan penjelasan fase-fase di atas? Tidak ada beda, tho, antara penerbitan indie dan arus utama? Saya juga tidak ingin mendiskriminasi pasar indie dan arus utama. Semuanya sudah ada rezeki dan jalannya masing-masing. Menurut saya, yang menjadi pembeda dari penerbitan indie dan arus utama hanya pada kuantitas dan kekuatan persebaran buku. Kalau soal kualitas, penerbitan manapun siap bersaing. Jangan ragu menerbitkan bukumu.

 

Salam brewok.

Related Posts

Tinggalkan Balasan