artikel, Kolom

Hamsad Rangkuti, Obituari dari Stasiun Kereta

Sebuah berita duka mampir di beranda. Manusia abad ini begitu banyak memiliki beranda, Facebook salah satunya. Sastrawan Hamsad Rangkuti meninggal dunia. Berita ini mau tak mau menarik ingatan saya, kembali menuju waktu 15 tahun yang lampau. Pertama kali mengenal Hamsad Rangkuti, tentu saja dari karyanya, namanya melekat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison yang kerap saya baca.

Pertemuan pertama terjadi ketika secara tak sengaja melihatnya membacakan cerpen di taman Ismail Marzuki, Cikini. Hamsad membacakan cerpennya secara teatrikal sekali, tiap usai membaca kertas-kertas yang dipegangnya langsung dibuang pada tong sampah yang tersedia di sebelahnya. Aksinya tak sampai di situ, ketika tengah seru-serunya membaca, penonton dikejutkan teriakan seseorang yang membuat Hamsad menghentikan membaca, teriakan orang itu kemudian ditimpali teriakan orang lain tak jauh dari situ, dua orang dalam kerumunan penonton itu kemudian bertengkar satu sama lain. Hamsad menghentikannya lewat pengeras suara, menengahi mereka.

Pertengkaran antara dua orang itu bukan pertengkaran sungguhan, melainkan bagian dari skenario pembacaan cerpen “Lagu di Atas Bus” yang tengah dibacakan Hamsad. Saya jatuh cinta pada cerpen itu karena pesan nasionalismenya sangat kuat sekali. Cerpen itu menceritakan orang-orang dalam bus yang saling berebut memperdengarkan lagu daerah atau lagu kesukaannya masing-masing. Seusai pertengkaran sengit orang dalam bus kemudian sepakat mendengarkan lagu Indonesia raya.

Sepulang dari acara itu, saya pulang dan pergi ke stasiun Cikini. Di ujung peron saya berdiri sendirian menanti kereta listrik, tiba-tiba sosok Hamsad muncul melintas, ia berjalan ke ujung lebih jauh dari tempat saya berdiri. Saya memperhatikannya berdiri di keremangan peron, ia memandangi daun-daun menjuntai dari pelataran stasiun yang tinggi itu. Kereta tiba. Kami memasuki gerbong yang sama, Hamsad ikut berdesakan dalam KRL bersama saya malam itu.

Setelah pertemuan tanpa perkenalan itu, saya kemudian terus menerus melihat Hamsad di areal stasiun. Dulu saya “Ngelapak” buku di peron salah satu stasiun. Hamsad kerap mampir ke lapak itu, buku akhirnya membuat kami menjadi akrab satu sama lain, kami kerap berbicara banyak hal, ia mengomentari cerpen-cerpen dalam koran, kadang membicarakan tentang Sastrawan yang dikenalnya.

Suatu ketika saya ditantang seorang teman menulis naskah teater, entah mengapa, meski tak tahu apa-apa tentang teater saya menyanggupinya. Saya kemudian berniat mengadaptasi cerpen Hamsad, “Lagu di Atas Bus”, yang pernah saya lihat dibacakan Hamsad sendiri dulu. Saya menulis naskah itu di sebuah studio di tepi kali Ciliwung dengan sebuah mesin tik. Naskah itu jadi, tetapi naskah itu kemudian ditolak oleh panitia.

“Rud, naskahmu terlalu berat, bisa bikin yang lain?” kata sang panitia.
“Berat bagaimana maksudmu? Naskah ini sangat cocok dengan tema acara,” saya membela diri. Tetapi panitia bersikeras mengganti. Meski kecewa, saya akhirnya menulis ulang naskah lain, kali ini bukan naskah adaptasi karya siapa pun, itu adalah karangan saya sendiri.

Naskah itu diterima, malah kemudian diminta untuk tampil dua kali dengan naskah yang sama di panggung yang lebih besar. Ketika saya mengutarakan masalah itu pada Hamsad, Hamsad menyemangati saya.

“Tak apa, kadang kau memang harus menyesuaikan dengan penonto, mungkin panitia menganggap penonton tidak akan bisa mencerna naskah abang yang kau garap, tak apa, minimal kau jadi berani menampilkan karyamu sendiri.” Begitu kira-kira Hamsad berkata pada saya ketika kembali berjumpa di stasiun. Saat itu dia juga mengajak saya menghadiri sebuah acara sastra di mana ia diundang sebagai pembicara, tetapi saya tak bisa ikut.

Saya cukup sering berjumpa dengan Hamsad, semua perjumpaan paling banyak terjadi di stasiun. Kereta memang seperti tak bisa dipisahkan dengan Hamsad, Ia tak cuma menulis kisah-kisah tentang kereta dan manusianya, ia bahkan mungkin orang Indonesia pertama yang membuat perhelatan pernikahan dalam kereta listrik Jakarta-Bogor. Hamsad meminta izin KAI, semula mereka tak mengizinkannya, namun dengan berbagai cara akhirnya KAI memberi izin.

Perjumpaan saya terakhir dengan Hamsad, seingat saya di rumahnya yang kecil di Depok, saya di ajak seorang teman penyair mengantarkan surat undangan untuk beberapa Sastrawan, Gerson Poyk, Goenawan Mohamad, dan beberapa nama lain, termasuk Hamsad. Di ruang tamunya yang kecil, terdapat beberapa lukisan. Ada lukisan Popo Iskandar salah satunya. Termasuk juga lukisan karya Hamsad sendiri. Selain menulis, Hamsad dulu rupanya juga sempat melukis.

Setelah itu, yang datang adalah kabar duka. Ia sekarang pergi dan tak akan kembali lagi. Hanya ingatan dan karyanya yang tetap hidup di ingatan saya.

Bang Hamsad, inilah kenangan kecil di benakku tentangmu. Sastrawan besar yang hidup sederhana hingga akhir hayatnya. Hanya ragamu yang mati, tetapi namamu akan tetap hidup di tengah masyarakat Sastra Indonesia. Stasiun-stasiun itu tentu akan merindukanmu, ia merindukan sepasang mata tua yang tak henti memperhatikan tingkah manusia di dalamnya. Kereta itu akan terus melaju sampai ia tak bisa berjalan lagi, suatu saat nanti.

Selamat jalan, Bang Hamsad. Sampai jumpa di dunia yang berbeda.

Moh. Rudi, adalah seorang kolektor dan penjual buku bekas dan langka.

Related Posts

Tinggalkan Balasan