Kolom

Catatan Singkat Soal Logika Penyuntingan Naskah

 

Jika ada yang bilang ke Anda menulis itu mudah, maka sejatinya orang itu sedang mencoba membohongi Anda. Meski kebohongan itu ditutupi dengan beragam asumsi dan logika yang sepertinya menarik. Kemudian ketika ia bilang menyunting adalah pekerjaan sepele—sehingga tidak perlu dilakukan setelah Anda menulis, maka jelas orang itu bukan dan tidak akan pernah jadi—penulis yang baik.

Kalau begitu, seberapa pentingkah proses penyuntingan dalam tahapan penulisan? Pertanyaan ini sama dengan pertanyaan; seberapa penting Indonesia memerlukan MPR/DPR untuk seorang Presiden? Ya. Sepenting itu. Mengerti?

Proses penyuntingan adalah tahap di mana naskah kita dikoreksi, dicari kesalahannya, kemudian dilakukan eksekusi pembenahan. Sekilas memang tidak sulit, sederhana sekali, tapi yang sederhana itu belum tentu mudah. Dalam proses penyuntingan, penulis tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri, mau dia sehebat apapun dalam pemahaman EYD atau tata kalimat, paling tidak ia perlu orang lain untuk mengoreksi. Logikanya semacam ini; kita akan sedikit sulit mengkritik diri sendiri daripada harus mengritik orang lain. Dan tentu saja menulis dan menyunting adalah dua pekerjaan yang berbeda. Menulis memakai insting dan kecakapan mengolah kata dalam kepala, sementara menyunting adalah pemusatan kedisiplinan dan ketelitian pada tulisan yang sudah jadi.

Penyuntingan di sini berarti memperbaiki logika kalimat, alur cerita, serta pembenahan kata-kata yang  dianggap tidak efisien. Tugas editor memang terkait dengan hal-hal tersebut, namun sebagai catatan, lebih baik tidak melakukan (semacam) penulisan ulang untuk memperbaiki naskah yang sedang diedit. Resikonya style penulisan awal akan jadi bias sehingga karakter penulis asli akan sedikit “hilang” pada poin-poin yang diubah oleh si editor. Tentu saja ada beberapa pengecualian, misalnya memang sudah dikomunikasikan terlebih dahulu dengan penulis, dan penulis menyetujui. Hanya saja, secara etika hal itu sebaiknya tetap dihindari. Sebab hal ini adalah soal penghargaan seorang editor tehadap penulis.

Lalu bagaimana eksekusi di tahap penyuntingan? Usahakan untuk mengubah beberapa kata atau posisinya—atau bahkan kalau memang diperlukan—lakukan saja penghapusan. Sekali lagi, setidaknya jangan mengubahnya terlalu banyak, paling tidak untuk bagian satu kalimat. Itu batas maksimal. Jika Anda ingin melakukan lebih, maka komunikasikan dulu dengan penulis. Bisa jadi penulis merasa keberatan karena merasa batas-batas ekspresinya dilampaui. Nah, sampai tahap itu, berdiskusilah dengan penulis, agar efisiensi dan logika kalimat bisa selaras dengan style yang diinginkan oleh penulis. Jadi jngan main eksekusi paksa.

Beda soal untuk penulis yang memberi kuasa penuh kepada editornya untuk mengeksekusi. Tahapan ini sejatinya lebih berat dari pekerjaan penyuntingan, karena sudah masuk pada tataran revisi naskah; naskah ditulis ulang dengan narasi penceritaan editor.

Lalu, jika Anda masih bertanya dan berkomentar; Oh semudah itu? Maka cobalah Anda membaca naskah yang pernah Anda tulis satu atau dua tahun yang lalu. Bukankah pasti ada rasa gatal yang hinggap karena merasa ada saja yang kurang “pas”. Nah, begitulah rasanya menjadi editor yang membaca naskah orang lain. Celah kesalahannya terasa begitu lebar—hal yang sering luput dari penulisnya sendiri.

Related Posts

3 thoughts on “Catatan Singkat Soal Logika Penyuntingan Naskah

  1. Saut Situmorang berkata:

    Ada satu hal sangat penting yang dilupakan tulisan di atas: Apakah setiap orang memang bisa menjadi editor?

    Apakah syarat-syarat untuk menjadi seorang editor, apalagi editor yang baik/ideal? Apakah seorang editor untuk naskah non-fiksi seperti naskah sejarah memang sudah otomatis mampu menjadi editor naskah karya sastra? Apa tidak ada perbedaan “bahasa” antara naskah non-fiksi dari naskah fiksi apalagi naskah puisi? Apakah pengetahuan atas Tata Bahasa (grammar) saja cukup untuk membuat seseorang itu jadi editor naskah?

    Pemahaman akan hal-hal ini sama pentingnya dengan usulan bahwa “Jika ada yang bilang ke Anda menulis itu mudah, maka sejatinya orang itu sedang mencoba membohongi Anda.”

  2. Indie Book Corner berkata:

    Tulisan pendek ini harus ada kelanjutannya. Nanti si penulis akan melanjutkan lagi, berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang Bang Saut tanbahkan di komentar di atas.

    Bagi saya tentu tidak semua orang layak jadi editor, ia harus paham betul naskah apa yang sedang ia hadapi. Editor fiksi, nonfiksi, sejarah, puisi dan buku-buku pelajaran tentu saja punya disiplin dan cara edit yang berbeda. Maka otomatis terjawab, siapa yang layak mengedit naskah apa. Akan kacau kalau editor buku anak mengedit buku puisi, atau editor buku nonfiksi mengedit buku fiksi. Hehe

    Terima kasih masukan dan tambahan pertanyaannya, Bang 🙂

    –Irwan Bajang

  3. Muhammad berkata:

    Penulis yang baik tidak sekedar menulis. Tapi juga mengedit naskahnya dulu sebelum menyerahkannya pada editor. Btw, tulisan saya ini ada yang perlu di edit gak ya? Aku tahu, “tapi” dan “btw”. Hehehe.

Tinggalkan Balasan