Perpustakaan saat ini tak ubahnya rumah sakit. Maksudnya, orang-orang berusaha menghindari kedua tempat itu sebisanya, jika tidak terdesak betul masyarakat kita tentu lebih memilih alternatif lain ketimbang harus beranjak ke kedua tempat tersebut. Persepsi-persepsi keliru mengenai perpustakaan nampaknya semakin ke sini semakin mengkhawatirkan, bagaimana tidak? Dalam salahsatu artikelnya, Aan Mansyur menulis demikian:
Banyak orang — termasuk dan terutama pemerintah — masih memandang perpustakaan semata sebagai tempat membaca dan meminjam buku. Hal paling penting dari perpustakaan adalah apa yang bisa dilakukan oleh manusia di dalamnya. Buku hanya alat. Perkakas.
Berikut adalah beberapa hal yang saya coba refleksikan dalam tulisan ini:
1. Mahasiswa dan Calon Pustakawan.
Saat ini di Indonesia, pendidikan untuk mencetak pustakawan profesional telah begitu dimudahkan. Pendidikan formal dari jenjang terendah (diploma 2) hingga jenjang tertinggi (doktoral) sudah tersebar di hampir tiap-tiap perguruan tinggi. Pendidikan-pendidikan non-formal pun kian marak, pelatihan atau seminar rajin digelar. Nampaknya, pemerintah kita telah sadar akan pentingnya kehadiran seorang pustakawan yang profesional. Peran pustakawan semakin diperhitungkan sebagai sosok yang membantu mewujudkan cita-cita negara untuk mencerdaskan bangsa.
Permasalahannya adalah, banyak di antara mahasiswa calon pustakawan (termasuk saya) itu sendiri yang enggan, segan, bahkan malu untuk mengungkap jati dirinya. Jurusan Ilmu Perpustakaan merupakan sebuah jurusan yang sangat jauh prestisenya jika disandingkan dengan kedokteran, ekonomi-manajemen, maupun hukum. Banyak di antara kami bertemu dengan orang-orang menyebalkan di tempat umum dan berhasil membuat kami jengkel sembari senyum-senyum masam. Suatu ketika, di sebuah kereta seorang lelaki paruh baya bertanya, “Kuliah jurusan apa, Mas?” dengan mantap saya jawab, “Ilmu perpustakaan, Pak.”. “Oh… memang ada, ya?”
Persepsi-persepsi negatif di mata masyarakat akan masa depan mahasiswa jurusan Ilmu Perpustakaan pun terus menghantui. Calon mertua apalagi, ah tentu mereka akan pikir panjang ketika anaknya akan dipinang oleh seorang (calon) pustakawan.
Semoga orangtuamu tidak ya, Dik.
2. Bagaimana Bisa Calon Pustakawan Tidak Gemar Membaca Buku?
Pertanyaan tersebut tidak sama dengan: bagaimana calon dokter tidak suka minum obat? Seorang dokter tidak harus doyan obat, dengan ia bisa melakukan anamnesis dan diagnosis serta memberi obat yang tepat itu sudah cukup, tapi tidak dengan pustakawan. Menurut saya seorang pustakawan harus pula gemar membaca buku—buku apa saja– untuk menunjang tugasnya. Baik dari klas 000 hingga klas 900.
Pustakawan seharusnya ada di garda paling depan untuk hal-hal yang terkait dengan minat baca masyarakat—selain pemerintah, tentunya. Bagaimana mereka bisa peduli akan kecerdasan masyarakat jika ia tidak bernafsu untuk melalap buku-buku?
Saya begitu cemas saat ini. Teman-teman sejurusan saya sangat banyak yang lemah syahwat terhadap buku-buku. Tumpukan buku-buku di rak ringkih yang saya miliki sama sekali tidak meningkatkan berahi teman-teman saya ketika mampir di kamar indekos yang saya sewa.
3. Kecintaan Terhadap Buku Adalah Modal Utama Seorang Pustakawan.
Seorang teman begitu sedih dan amat menyesal ketika sadar koleksi buku-bukunya hampir lenyap digasak rayap ketika ditinggal sebulan lamanya di kamar indekosnya yang pengap dan lembab. Seorang teman lagi amat tidak mentolerir apabila bukunya yang dipinjam dilipat atau ditandai dengan pena oleh peminjamnya. Sedang saya, selalu mewanti-wanti peminjam agar menjaga betul buku yang mereka pinjam supaya tidak lecek,terlipat, maupun ketumpahan cairan. Beberapa yang tidak paham dengan itu semua pasti menganggapnya sebagai tindakan yang berlebihan.
Salah satu tugas seorang pustakawan adalah merawat buku. Menjaga koleksi perpustakaan agar tidak terserang penyakit-penyakit yang dapat sewaktu-waktu datang dan menghilangkan atau mengurangi informasi yang terkandung di dalamnya.
Jika seorang pustakawan menjalani profesinya dengan penuh kecintaan, niscaya ia dapat dengan telaten merawat serta menjaga buku-buku yang ada di perpustakaan agar nilai informasi yang dikandung koleksi tersebut tetap utuh ketika dinikmati para pemustaka.
4. Tugas Kita Saat Ini adalah Memperbaiki Citra Pustakawan dan Perpustakaan.
Saya yakin betul, yang ada di benak masyarakat saat ini tentang pustakawan ialah sesosok manusia yang begitu angker. Tua, berkacamata, kaku, galak, serta begitu angkuh dan tidak bersahabat.
Anggapan itu tidak salah. Entah stigma itu lahir sejak kapan dan oleh siapa. Tetapi, media (dalam hal ini siaran televisi, film, cerita dalam novel, maupun kartun) memiliki andil yang cukup besar mengenai hal ini.
Pustakawaan saat ini juga telah bertransformasi menjadi sesosok manusia yang baru. Sikap ramah dan bersahabat dipadu dengan penampilan yang sedap dipandang mata siap melayani pemustaka. Beberapa di antara mereka timbul ke permukaan. Satu diantaranya adalah Aan Mansyur.
Siapa yang tak kenal pria yang kini berdomisili di Makassar itu? Seseorang yang turut andil dalam kisah cinta kenamaan Rangga dan Cinta. Pria kurus berkacamata itu merupakan seorang pustakawan di perpustakaan komunitas bernama katakerja, yang ia dirikan sendiri bersama sahabat-sahabatnya.
Kiprahnya di bidang literasi telah begitu banyak menginspirasi anak muda di negeri ini untuk melakukan hal serupa. Dimulai ketika ia membuat ‘Perpustakaan Punggung’. Dengan tas punggung berisi buku-buku yang berat, ia berangkat ke kampus dan dengan sukarela meminjamkan buku-bukunya untuk dibaca. Aan menebar benih-benih kecintaan terhadap buku di sepanjang jalan yang ia lalui. Negeri kita butuh paling tidak seribu orang lagi seperti Aan Mansyur. Semoga satu di antaranya adalah saya.
Kini sebagai seorang calon pustakawan yang sedang digodok di kawah Candradimuka, saya sedang terus berusaha membaca lebih banyak buku lagi sembari menghimpun dan menambah koleksi buku-buku di rak ringkih saya. Mencoba terus memupuk cinta saya terhadap buku-buku. Serta terus berbenah agar nantinya bisa berbuat sesuatu untuk memperbaiki citra seorang pustakawan. Dengan cara apa saja.