Kolom

Catatan Editor: Membaca Simulakra, Sepak Bola dan Simulakra Sepakbola

Bagi pembaca literasi sepak bola, kata “Simulakra” memang terdengar asing. Beberapa pembaca mungkin pernah mendengarnya, beberapa pembaca mungkin benar-benar memahaminya, dan beberapa pembaca mungkin menangkapnya seperti kata yang similar dengan kata “buah simalakama”.

Memang benar, pemilihan judul “Simulakra Sepakbola” pernah begitu mirip nasibnya dengan buah simalakama. Muncul pertanyaan-pertanyaan bernada khawatir sebelum judul ini kemudian dipilih. Kekhawatiran klise sebenarnya. Jika dipilih, akankah judul sulit-dipahami-dalam-sekali-baca ini benar-benar menarik perhatian pembaca ataukah justru jadi amunisi untuk ditinggalkan begitu saja?

Untungnya, reaksi yang muncul adalah yang pertama.

Tanpa perlu menjelaskan kata yang begitu asing ini, beberapa pembaca ternyata cukup banyak yang memiliki kecakapan dalam memahami judul yang tergolong “ndakik” ini. Bahkan tidak hanya tahu, tidak sedikit pembaca yang bahkan mau membagikan sedikit pengetahuannya akan makna “Simulakra Sepakbola”.

Beberapa ada yang cukup akurat, beberapa kurang, namun setidaknya penjelasan mereka punya muara yang sama. Agar tidak terlalu membingungkan, perlu kita sepakati dulu bagaimana “simulakra” dipahami dalam tulisan ini. Secara garis besar simulakra adalah semacam dunia simulasi. Dunia di mana tidak lagi bisa dibedakan mana yang nyata dan mana yang simulasi. Bahkan teori yang dimunculkan Jean Baudrillard ini sampai tahap di mana dunia simulasi justru terlihat lebih nyata dari kenyataan itu sendiri.

Itulah mengapa mengumpulkan dan menerbitkan tulisan dari pandit versi digital pertama—saya menyebutnya begitu—Indonesia ini adalah hal yang perlu. Terutama dengan pilihan tema yang berbobot seperti ini.

Ide ini muncul ketika saya melihat bagaimana positifnya perkembangan literasi sepak bola di Indonesia. Situs-situs bertemakan sepak bola bermunculan dan penulis-penulis sepak bola muda berbakat lahir dari mana-mana.
Beberapa penulis muda ini punya rujukan dan idola yang rata-rata sama, yaitu Zen RS. Oleh sebab itu, terasa berdosa sekali rasanya jika sosok yang jadi rujukan ini malah belum pernah menerbitkan satu pun buku (non-fiksi) yang khusus membahas sepak bola.

Barangkali ada andil keterlibatan fandom.id yang berkantor bersama Indie Book Corner juga sejak pertengahan 2015. Situasi yang memungkinkan saya punya kawan diskusi mengenai sepak bola dan literasinya. Terutama ketika saya diberi kesempatan untuk belajar menulis sepak bola oleh Sirajuddin Hasbi dan Yoga Cholanda.

Zen RS bukanlah nama yang asing bagi pembaca literasi sepak bola. Apalagi bagi saya dan Eddward S. Kennedy (biasa dipanggil Panjul). Zen RS adalah senior di kampus, sekaligus guru secara tidak langsung yang sering jadi acuan bagaimana menulis esai yang keren bagi kami berdua. Walaupun pada perkembangannya, Panjul kemudian menemukan gayanya sendiri. Gaya yang bisa terlihat jika Anda membaca tulisan-tulisannya di Sepak Bola Seribu Tafsir.

Sebelum kata “simulakra” muncul dan dipilih untuk jadi judul, Panjul pernah menuliskan sebuah esai dengan dasar pemikiran serupa. Dalam buku Sepak Bola Seribu Tafsir pada esai “Real Madrid Sebagai ‘Mesin Simulakra’ Pencetak Fantasi Liar Bursa Transfer”.

Bahkan, kalau boleh jujur, esai Panjul terasa sedikit lebih lengkap dari Simulakra Sepakbola-nya Zen RS, dengan beragam teori-teori pendukung. Seperti “habitus” Pierre Bourdieu sampai sosok Jorge Luis Borges yang jadi inspirasi kata “simulakra” muncul.

Hanya saja pada tulisannya, Panjul lebih berkonsentrasi pada konsep “hiperrealitas” daripada “simulakra”. Dua konsep yang sebenarnya sama-sama lahir dari induk pemikiran Jean Baudrillard.

Panjul berangkat dari gaya transfer Florentino Perez dalam membeli pemain-pemain yang menawarkan realitas berlebih. Perez ingin menciptakan sebuah realitas baru dengan membeli tanda-tanda. Tanda yang melekat pada sosok seperti Luis Figo, Zinedine Zidane, Ronaldo Nazario, sampai seorang David Beckham pada mega proyek Los Galacticos edisi pertama. Bahwa dengan kehadiran tanda-tanda tersebut (baca: pemain bintang) maka ini merupakan tanda bahwa hanya klub terbaik dunia yang mampu mendatangkan pemain-pemain terbaik di generasinya dalam satu klub.

Mendatangkan pemain bintang memang seolah-olah merupakan cara praktis untuk diakui sebagai “klub terbaik”. Namun jika variabel ini jadi yang utama dan meninggalkan elemen-elemen yang lain (seperti keharmonisan tim, pelatih yang mumpuni, dan prestasi), maka sejarah pun mencatat, apa yang Perez lakukan ternyata merupakan kekeliruan besar.

Nah, pada titik inilah perbedaan kedua esai ini terlihat. Jika Panjul lebih berkonsentrasi dengan tanda-tanda, maka Zen RS memberikan gambar besarnya. Gambar yang kemudian membuat kita terhenyak, bahwa sepak bola yang kita nikmati bukanlah sepak bola yang sebenarnya. Gambar yang akan mengejutkan Perez, bahwa bukan dia yang menciptakan “mesin simulakra” namun justru dialah salah satu produk dari mesin ini.

Kita menggemari sepak bola dalam konsol game, berteriak sekuat tenaga saat melihat Eder mencetak gol untuk Portugal, atau menangis sedih saat Jerzy Dudek menggagalkan tendangan penalti Andrey Shevchenko.

Kegembiraan dan kesedihan semu yang muncul dari layar televisi merupakan simulasi dari apa yang sebenarnya terjadi. Proyeksi yang kita anggap nyata dan tidak lagi memedulikan apakah kita berada di stadion sambil bernyanyi bersama atau menangis bersama. Bagi kita—penonton sepak bola—itu semua tidak penting. Bahkan dalam bentuknya yang paling banal, simulakra-nya Baudrillard mencapai pada titik di mana simulasi yang telah terjadi akan dijadikan dasar untuk simulasi berikutnya.

Kita gembira menyaksikan Eder mencetak gol untuk Portugal bukan karena Portugal sukses mendapatkan gelar internasional pertamanya, namun karena kita memenangkan uang taruhan ratusan ribu. Kita bergembira memenangi pertandingan dalam konsol game bukan karena menjadi bukti bahwa kita gamer yang lebih baik, tapi karena kita memenangkan kompetisi FIFA atau PES di sebuah rental.

Simulasi semacam ini berjalin berkelindan tanpa henti. Bahkan sampai pada titik di mana kita semua tidak tahu, sebenarnya sepak bola yang bagaimana yang benar-benar riil sepak bola?

Simulakra sepak bola tidak hanya terjadi dalam dunia antara—Zen RS menyebutnya—“penonton”, untuk mereka yang menyaksikan langsung di stadion, dengan “pemirsa”, untuk mereka yang menyaksikan lewat layar televisi.

Simulakra sepak bola juga terjadi saat ini, detik ini, dan tepat di sini. Terjadi saat Anda membaca tulisan ini, saat Anda membaca tulisan di fandom.id atau panditfootball.com, dan juga terjadi saat Anda berdebat mengenai klub favorit Anda di linimasa Twitter atau beranda Facebook. Simulakra sepak bola terjadi di mana-mana dan bisa jadi apa saja.

Itulah yang jadi sebab mengapa judul awal Simulakra Sepakbola adalah Simulakra Sepakbola: Ketika Sepakbola Tak Ada Lagi. Zen RS memberi penjelasan secara pribadi bahwa sepak bola yang kita nikmati saat ini memang sudah bukan lagi olahraga yang sama dengan yang kita mainkan dulu kala anak-anak. Itulah kenapa kalimat “Ketika Sepakbola Tak Ada Lagi” sempat punya poin cukup penting.

Namun, dengan pertimbangan kemudahan daya tangkap ke pambaca dan judul ringkat nan padat sebagai pelengkap desain cover yang lebih elegan maka kami sepakat untuk menghapusnya saja. Pada akhirnya, lahirlah buku di tangan Anda dengan judul dua kata: Simulakra Sepakbola.

Sebuah buku yang merupakan simulakra yang sebenar-benarnya dari sepak bola.

Tinggalkan Balasan