Awalnya kalian akan mengalami mimpi buruk setelah melihatnya. Lantas, kalian akan memohon-mohon pada Tuhan untuk melupakannya. Namun jangan terlalu khawatir, lambat laun kalian akan terbiasa. Bukankah menjadi lupa hanya soal kebiasaan?
Sebelum pindah ke kantor baru, saya tidak pernah melintasi jalan itu. Jalan Merdeka. Jadi wajar saja jika saya membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menjadi lupa. Begini ceritanya:
Waktu itu saya terlalu bersemangat hingga bangun terlalu pagi. Pukul lima pagi saya sudah keluar rumah, mengendarai sepeda motor dan bergegas menuju kantor. Lima ratus meter setelah memasuki Jalan Merdeka, saya menemukan seonggok mayat di atas trotoar, terbujur kaku seperti sebatang pohon. Ia tertelungkup, dengan sehelai koran yang menutupi kepala hingga ke punggung. Sandal jepit menyangsang di sebelah kakinya. Sekonyong-konyong saya langsung menepi, lantas berteriak pada seorang bapak penyapu jalan.
“Pak! Kecelakaan?”
“Hanya Tuhan yang tahu. Biarin saja, Om!” Jawab si bapak dengan muka datar.
Terang saja saya hanya melongo. Saya merenung sesaat. Ingatan saya melambung jauh ke waktu saya kecil dulu, walaupun agak samar-samar. Petrus*. Ingatkah kalian? Para preman, waktu itu disebut dengan gali, yang ditembak mati dan mayatnya dibiarkan membusuk di tepi jalan. Katanya metode shock terapy agar para gali gentar bila ingin melakukan kejahatan. Tapi apa mungkin, kejadian itu sudah lama terlupakan. Presiden sudah berganti-ganti. Para gali sudah bekerja secara halal (maksud saya; keberadaan mereka sudah diakui oleh negara). Lantas, saya mesti segera pergi, karena terlalu lama berpikir bisa membuat saya telat masuk kantor.
Sepulang dari kantor, saya masih melihat mayat itu. Masih diam tak bergerak. Ya, tentu saja. Namun kali ini saya tidak berhenti, sekadar menoleh saja. Dasar apes, malamnya saya mimpi dikejar-kejar sesosok hantu dengan kepala terbungkus koran!
Satu minggu pun berlalu. Keberadaan mayat itu sudah tidak lagi membuat pikiran saya repot. Yang bikin repot sekarang adalah mimpi buruk yang tak bosan-bosan mendatangi saya. Kadang saya melihat sandal jepit raksasa yang terbahak-bahak. Esoknya saya lihat sungai berwarna darah, diakhiri dengan munculnya ribuan sandal jepit ke atas permukaan air; bisa dibayangkan seperti ribuan ikan yang mengapung terkena racun. Seringnya saya melihat mayat dengan kepala terbungkus koran yang berjalan sempoyongan ke arah kantor polisi. Saya coba untuk cuek, menganggap mimpi itu akan hilang seiring berjalannya waktu. Tapi apa mau dikata, makin ke sini mimpi itu makin terasa nyata.
Dari salah satu film horor produksi dalam negeri yang saya tonton dengan sedikit perasaan muak, saya akhirnya tahu bahwa mayat itu adalah tanggung jawab saya. Kenapa begitu? Karena saya adalah manusia yang dipilihnya. Lalu, seperti di dalam film itu pula, saya mesti mengembalikan mayat itu ke rumahnya. Memandikannya biar arwahnya jadi tenang, seperti kata seorang pelawak di film itu juga (Saya heran, kenapa mesti ada pelawak di film horor?).
Dari mana saya mesti memulai? Tentu saja dari saksi mata terdekat, si bapak penyapu jalan.
“Alah, sudah mati. Ya sudahlah, Om! Buat apa lagi? Emangnya dia bisa hidup lagi?” Itulah jawaban dari si bapak penyapu jalan.
Kemudian saya coba tanya pada ibu penjual nasi gurih, yang warungnya dekat dengan tempat perkara.
“Buat apa dibahas-bahas, Om? Mau balas dendam, ya? Toh, ada atau tidak adanya dia, warung saya tetap ramai.”
Selanjutnya saya coba tanya pada pengamen yang sering mangkal di lampu merah.
“Dia mati dibunuh, Om,” bisik pengamen itu. “Semua orang juga tahu kok. Tapi susah, Om. Kejadiannya sudah lama sekali. Sudah basi. Peduli setan dengan dia!”
“Tapi paling tidak, saya mesti tahu siapa namanya, dan rumahnya di mana!”
“Biarin saja di situ, Om. Itu kan urusan pemerintah. Biar saja, kan mereka sendiri yang malu. Biar mampus sekalian!”
Seandainya anak ini tahu soal mimpi dan tanggung jawab yang mesti saya emban. Dengan emosi yang hampir meledak, saya meninggalkan anak itu, sebelum ia meminta uang atas informasi tak berharga yang diberikannya itu.
***
Kesibukan saya di kantor membuat saya sedikit terlupa pada mayat itu. Dan sepertinya bukan saya saja yang lupa. Mimpi sialan itu juga lupa mendatangi saya. Itulah yang membuat saya bisa bernapas sedikit lega. Saya langsung mentraktir rekan-rekan sekantor atas hilangnya masalah ini. Namun tunggu dulu! Hilang? Saya ralat.
Seorang wartawan asal Inggris yang sedang liburan membawa cerita soal si mayat ke negerinya. Berita yang dianggap sensasional itu beredar di seantero Eropa. Mengalahkan virus baru dari Afrika. Amerika juga tak kalah sibuknya. Dan dunia jadi heboh karenanya. “Begitu gilakah negeri ini, hingga membiarkan seonggok mayat tergeletak begitu saja di pinggir jalan?” Kira-kira begitulah headline yang ditulis si wartawan.
Beberapa waktu kemudian, seorang sutradara asal Australia malah memfilmkan cerita si mayat. Pemerintah menolak ketika sang sutradara mengajukan permohonan untuk shooting di sini. Hingga ia memutuskan untuk shooting di Filipina. Disusul kemudian dengan musisi gondrong asal Brazil yang menggubah lagu berjudul “Mayat Trotoar”. Bahkan gosipnya, lagu itu akan dijadikan theme song Piala Dunia. Saya heran, kenapa malah orang-orang asing yang begitu getol mengurusi mayat yang ada di sini? Pasti karena mayat yang teronggok di tanah mereka sudah berhasil mereka lupakan.
Begitulah. Seperti orang-orang yang mulai tersadar akan keberadaan mayat itu, seperti itu pulalah mimpi buruk legendaris itu: tersadar dan datang lagi menghantui saya.
Tidak bisa tidak, saya mesti membongkar misteri ini jika saya ingin mimpi indah saya datang kembali.
Saya mulai bergaul dengan sekelompok aktivis, yang kabarnya getol ingin membongkar kasus ini. Saya ikut mereka pawai di depan Istana Negara, menyanyikan lagu-lagu perjuangan yang membuat bulu kuduk saya meremang. Seminggu kemudian saya menyerah, menganggap pemuda-pemudi itu hanya berniat untuk menjelek-jelekkan pemerintah saja. Tak pernah mereka serius untuk mencari tahu nama dan alamat si mayat.
Saya tak putus asa. Saya menemui seorang paman, yang “bekerja” sebagai penyair (dia sendiri yang menyebut bahwa mencipta puisi adalah mata pencahariannya). Dengan lugas dan tanpa kompromi, ia menyatakan bahwa saya mengigau. Bahwa wartawan asing itu cuma omong-kosong. Bahwa mayat itu sengaja diletakkan oleh teroris untuk menjelek-jelekkan pemerintah saja. Ada benar dan tidaknya kata-kata paman saya itu. Yang benar adalah puisi bisa menghasilkan uang. Yang tidak benar, semua ocehan selanjutnya. Saya memaklumi paman saya itu, meyakini bahwa penglihatannya semakin parah.
Akhirnya dengan keberanian yang entah muncul dari mana, saya berkunjung ke Istana Negara. Pikir saya, jika sang presiden memberi dukungan, saya akan mudah untuk membongkar kasus ini. Namun untuk menemuinya tidaklah segampang yang saya kira. Hari pertama saya mesti menunggu dari pagi sampai sore. Dan akhirnya tidak bertemu. Hari kedua, ketiga, begitu terus sampai seminggu. Saya mulai lelah dan memutuskan untuk mengiriminya surat kaleng.
Seminggu kemudian saya mesti mentraktir rekan-rekan sekantor saya kembali. Pasal apa? Presiden berpidato di seluruh stasiun TV, menyampaikan keprihatinannya, dan berjanji akan mengunjungi mayat itu. Lihat! Sudah pasti, surat kaleng sayalah yang menggerakkan hati sang presiden. Andai saja kalian tahu isi surat yang saya tulis itu!
Dengan jantung berdebar-debar, saya menunggu di pojokan jalan, ketika presiden memutuskan untuk mengunjungi Jalan Merdeka. Ribuan manusia tumpah-ruah seperti menonton karnaval. Intelijen terserak di mana-mana. Anak-anak sekolah menyelenggarakan pawai drum band untuk menyambut kedatangan sang presiden. Kunjungan itu berlangsung cepat. Saya, manusia paling berjasa dalam hal ini, ternyata tidak dapat melihatnya secara langsung. Jangankan menembus rombongan pengawal, menyeruak para penonton saja saya tidak sanggup.
Satu minggu kemudian sang presiden kembali berpidato. Ia merasa pilu melihat mayat itu. Berhamburlah puisi-puisi mengerikan dari mulut sang presiden. Pidato diakhiri dengan kelegaan, karena sang presiden akhirnya tahu, bahwa si mayat berkelamin laki-laki.
Itulah sedikit cerita soal mayat yang teronggok di atas trotoar Jalan Merdeka. Lagipula pekerjaan saya di kantor semakin menumpuk, hingga saya tak perlu lagi mengurusi hal-hal sepele semacam itu. Bagaimanapun saya meyakini; awalnya masyarakat setempat juga pasti mengalami mimpi buruk seperti saya. Tapi dengan berjalannya waktu, keberadaan si mayat akan terlihat seperti hiasan pemanis belaka. Sekali lagi, bukankah menjadi lupa hanya soal kebiasaan?
Keterangan:
*Petrus: Penembakan misterius. Operasi rahasia dari pemerintahan Soeharto pada tahun 1980-an; dengan dalih memberantas kejahatan.