Bisakah sebuah lirik lagu yang puitis disebut puisi, atau sebuah reportase jurnalisme sastrawi disebut sebagai sebuah karya sastra, sejenis dengan novel atau cerpen?
Bisakah seorang penyanyi yang menulis lirik puitis disebut penyair dan sosok wartawan berubah gelar menjadi sastrawan tanpa harus mengubah jenis tulisannya menjadi sebuah tulisan di dalam “pakem” sastra?
Bisakah sebuah video, film, tarian, teater atau sejenisnya, yang bersinggungan langsung dengan teks sastra—sebab memang selalu susah bagi beberapa contoh ini untuk tidak saling memakai—disebut juga sebagi karya sastra?
Apakah pergeseran dan perubahan media kemudian mengubah sebuah kategori dan penyebutan gelar?
Atau, apakah seorang sastrawan kemudian haruslah orang yang bisa merangkum banyak hal dalam kerja-kerja produksi sastra dalam kesehariannya. Misalnya, ia harus bisa menjadi wartawan, fotografer, pemusik, dan bidang-bidang lainnya, sehingga karyanya menjadi semakin luas terbaca, makin membumi dan makin menyebar ke ceruk-ceruk lain dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas? Bisakah beban-beban tambahan ini ditaruh di pundak sastrawan agar karya sastra lebih luas cakupannya?
Beberapa pertanyaan itu muncul di benak saya ketika mendengar Bob Dylan meraih penghargaan Nobel Sastra. Siapapun tahu, ia bukan sastrawan, ia adalah penyanyi sejak awal kariernya dalam kesenian. Misalnya Dylan pernah menerbitkan satu buku puisi pun, adakah yang masih ingat judulnya? Adakah ia kemudian dipelajari di fakultas sastra dan menjadi perbincangan para kritikus sastra? Meskipun, tidak bisa dipungkiri, beberapa liriknya mengandung beberapa identifikasi puisi, yang mengarah ke bentuk sastra tertentu. Pilihan rima misalnya. Tapi bukankah lirik tersebut tidak bisa berdiri sendiri tanpa musik? Adakah konser Dylan hanya membaca lirik tanpa bermain musik?
Jika jawaban dari kebanyakan pertanyaan di atas adalah “Bisa”, maka menurut saya ada dua pilihan bagi panitia Nobel di Swedia sana: Menjelaskan kepada publik definisi sastra dan sastrawan menurut mereka, atau mengubah nama penghargaan mereka menjadi bukan lagi Nobel Sastra. Sebab bagaimanapun, pilihan-pilihan mereka telah melebar dan menjauh dari definisi sastra/sastrawan yang selama ini disepakati, atau setidaknya diakui banyak kalangan.
Puisi dan lirik lagu punya kedekatan khusus. Itu benar. Beberapa pemusik, misalnya yang paling populer dan gampang diingat, Jim Morisson adalah penyair, menulis puisi sebelum ia menjadi pemusik, menjadi The Doors dan kemudian populer sebagai musisi. Bekal kepenyairannya membuat ia bisa menciptakan lirik lagu yang tak kalah puitis. Tapi ketika di panggung, ia adalah penyanyi, musisi, bukan penyair, bukan sastrawan.
Tentu memang bukan hanya bentuk yang dilihat, tapi juga efek, keterwakilan, keberpihakan isyu dan lain sebagainya juga menjadi pertimbangan seseorang layak diganjar hadiah sebesar 11 Milyar Rupiah tersebut. Tapi bukankah masih ada kriteria lain, misalnya Nobel Perdamaian, jika memang Dylan dianggap mewakili suara anti perang, anti rasisme, dan membela banyak kaum terpinggirkan?
Komite Nobel Swedia menyebut Dylan sudah menciptakan karya puitis dalam tradisi musik Amerika yang agung. Saya belum menemukan di mana alasan lebih kuat Komite Nobel memilih Dylan sebagai peraih Nobel Sastra. Sebagaimana namanya, tentu penghargaan ini khusus diberikan pada sastrawan. Kalau ada Nobel Sambal atau Nobel Semen dan Batu Bata, kita akan segera tahu kepada siapa kategori ini akan diarahkan dan cakupan kreasi apa yang akan dipilih, untuk kemudian para kreatornya pantas disematkan penghargaan.
Dylan tetaplah penyanyi, musisi, ia bahkan mungkin tidak pernah menyebut dirinya, atau karyanya, atau merasa diri golongan sastra dan sastrawan. Jika kategori ini menjadi begitu gampang dilebarkan, bisa jadi nanti sutradara film tentang antariksa yang syuting untuk bikin duplikasi planet pluto juga layak mendapatkan Nobel Fisika. Bisa jadi padepokan tenaga dalam dan ruwat juga akan bisa mendapat Nobel Kesehatan. Kalau mau adil, batasan-batasan itu harus dikaburkan semua secara total untuk semua kategori.
Dalam beberapa kasus, tumpang tindih ini berimbas kepada batasan-batasan kategori si kreator. Apa yang akan terjadi jika misalnya seorang tukang uleg sambel mendapatkan penghargaan Musik Terbaik Academy Award tersebab suara ulekannya dalam sebuah film dianggap menjadi ilustasi musik yang dahsyat? Keberatankah para musisi dan music director? Keberatankah para Jurnalis jika seorang Stand Up Comedian memenangkan sebuah penghargaan Jurnalistik?
Dunia memang berkembang ke arah di mana batas ciptaan menjadi kabur dan melebur dalam identitas yang tidak tunggal dan penuh kolaburasi. Pembacaan puisi kerp kali disajikan dalam campuran tarian, musik, atau aktivitas lain on the spot yang saling membaur. Tapi semuanya tetap terpisah. Kita bisa memilih mendengarkan puisinya saja, menonton tarinya saja atau memilih musiknya. Tapi puisi tetaplah puisi, musik tetap musik. Perkara musiknya puitis atau puisinya musikal, itu perkara lain yang saling melengkapi. Induknya tetap satu.
Bob Dylan memang menyusun banyak lirik lagu puitis, ia juga dikenal sebagai penulis lagu dan pemusik yang dekat dengan isyu kerakyatan. Selama tahun 1962, Dylan mulai menulis sebagian besar lagu asli, banyak di antaranya adalah lagu-lagu protes politik merespons jaman di mana ia berkarya. Lagu-lagu tersebut misalnya bisa kita lihat pada album keduanya The Freewheelin’ Bob Dylan. Tapi ia bukan penyair, ia adalah pemusik. Ia sendiri bahkan tidak pernah menyebut dirinya sekadar penyair yang bernyanyi, apalagi penyair. Memberikan label sastrawan padanya hanyalah membantu ia tinggi hati, mencederai yang lain. Dalam tataran tertentu, jika penghargaan Nobel Sastra dikategorikan hak, maka Dylan mengambil apa yang bukan haknya. Komite Nobel mengambil hak golongan lain dan memberikannya pada orang yang salah.
Sudah pantaskah Dylan disejajarkan dengan Hemingway, Kawabata, Hamsun, Coetze, Naipul, Neruda, Marquez, Faulkner, dan nama-nama sastrawan lainnya? Karya sastra yang mana, buku yang mana yang mebuatnya harus disebut sastrawan? Apa kabar kritikus sastra yang bahkan tidak pernah masuk sebagai kandidat?
Tapi ya itu urusan mereka. Nobel atau penghargaan apapun, sepertinya tidak bisa tidak politis dan tidak mungkin selalu ideal murni seperti terkaan banyak orang. Lagi pula, kita tidak ada kewajiban percaya atau ikut arus kategori Akademi Swedia. Itu adalah pilihan institusi tertentu, jauh di sana. Institusi besar memang, tapi bukan lantaran ia besar, lantas kita juga mesti setuju dan jadi bagian mereka.
Anggap aja hiburan dan bahan buat nulis status facebook 🙂