BERAPA DOSIS MUATAN SOSIAL DALAM CERPEN?
Dalam esai berjudul “Berapa Dosis Imajinasi dalam Cerpen?” yang dimuat di Suara Merdeka pada Maret 2014, Radna Tegar Zakaria menegaskan tentang pentingnya muatan sosial dalam sebuah cerpen. Ia juga menganggap cerpen yang hanya mengandalkan majinasi tanpa muatan itu adalah cerita main-main.
Ada dua kalimatnya yang saya kutip kembali di sini. Pertama, ia menulis: “Cerpen bukan hanya wadah untuk menyalurkan kemampuan berimajinasi dan bereksperimen terhadap cerita, tetapi ada sesuatu misi yang hendak disampaikan oleh penulis.” Dan yang kedua: “Dewasa ini sudah jarang ditemukan cerpen-cerpen yang dimuat di media massa yang bertujuan membawa misi kemanusiaan.”
Sejak dahulu, cerita pendek dan bentuk karya sastra secara umum, tidak bisa sepenuhnya lepas dari fenomena sosial yang mengelilinginya. Seorang penulis yang memiliki kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakatnya, maka ia akan gelisah, dan ia menuangkan kegelisahannya itu dalam sebuah karya. Namun benarkah muatan sosial menjadi menu wajib dalam cerita pendek?
Setiap tahun, kita akan mendapati cerpen-cerpen yang mengangkat sejarah muram, kerusuhan, pembunuhan, penggusuran, penindasan. Apakah semuanya dianggap bagus karena membawa muatan sosial? Apakah semuanya memenuhi kualifikasi sebagai cerpen yang baik? Lalu bagaimana dengan Haruki Murakami dalam salah satu cerpennya yang berjudul “Manusia Es”? Ia menceritakan seorang perempuan yang menikah dengan lelaki yang tubuhnya terbuat dari es, lalu perempuan itu pun melahirkan bayi terbuat dari es juga. Murakami mengandalkan imajinasi yang terjaga sepanjang cerita tersebut, tapi tak membawa kasus kemanusiaan sama sekali. Apakah cerpen Murakami dianggap bermain-main tanpa tujuan?
Sah-sah saja jika seorang pembaca menyukai cerita yang bermuatan kemanusiaan, ketidakadilan, kemiskinan, problematika sosial. Namun menganggap cerpen yang hanya bermodal imajinasi sebagai cerpen kosong muatan, adalah hal yang gegabah.
Mengembalikan identitas cerpen
Karena cerpen adalah karya fiksi, maka jelas bahwa kadar kefiksian harus lebih dominan daripada kadar kenyataan. Dan sesuatu yang fiksi itu dihasilkan dari imajinasi. Boleh jadi orang mengenal kumpulan cerpen “Saksi Mata” karya Seno Gumira Ajidarma sangat berhubungan dengan sejarah Timor Leste (Timor Timur), bahkan Seno sendiri mengakui itu. Namun satu hal yang harus kita garis bawahi adalah: Seno tidak tunduk pada fakta-fakta sejarah begitu saja. Seno memainkan imajinasinya di sekujur cerita. Begitulah sebuah fiksi, ia tidak boleh tunduk pada fakta, apalagi dikalahkan.
Kita ambil tiga contoh dalam kumpulan tersebut. Cerpen berjudul “Saksi Mata” menggambarkan bagaimana suasana ruang pengadilan dengan darah mengalir sampai ke jalan-jalan. Dalam cerpen Telinga, digambarkan seorang gadis yang menerima banyak kiriman kado telinga lalu dipajang di dindingnya. Cerpen “Misteri Kota Ningi” berkisah tentang petugas sensus yang bingung menghitung manusia-manusia hidup tapi tak kelihatan. Jika diperhatikan, bagian imajinasi dikembangkan jauh lebih kuat daripada fakta yang mengikuti masing-masing cerita.
Tanda penting dari ketidaktundukan sebuah cerpen terhadap fakta sosial yang mengikutinya adalah: pembaca yang tidak tahu latar belakang fakta itu, tetap bisa menikmati cerpen tersebut. Orang yang tidak tahu-menahu sejarah Dili dan Timor Leste, akan tetap bisa menikmati kumpulan cerpen “Saksi Mata”. Orang membaca cerpen bukan untuk mencari tahu tentang apa di balik kasus-kasus yang terjadi. Jadi jika ditanyakan berapa dosis muatan sosial dalam cerpen, maka jawabannya berapa pun asalkan tak melebihi imajinasi. Sebab dosis imajinasi harus lebih besar, agar ia tetap bisa dinikmati sebagai karya fiksi. Dan ingat bahwa imajinasi tidak selalu harus sesuatu yang tidak mungkin. Bahkan menyusun alur, membangun tokoh, merangkai adegan, dalam cerita realis pun, maka itu termasuk imajinasi, yang apabila dieksekusi dengan baik, akan menyisakan bekas pada pembacanya. Sedangkan ada tidaknya muatan sosial bukan sesuatu yang paling dicari dalam sebuah cerita pendek.
Karena itulah, yang menjadi musibah bagi seorang penulis fiksi adalah justru ketika kadar imajinasinya dikalahkan oleh fakta sosialnya, sehingga cerita yang dibuatnya sangat bergantung pada fakta tersebut, sehingga orang tak mampu menikmati ceritanya kecuali harus tahu dahulu tentang realitas yang sedang diusungnya. Jika terlalu banyak fakta sosial dalam cerita sementara imajinasinya minim, bisa jadi ia jatuh pada jurnalisme sastra, yang tak pernah dianggap sebagai karya fiksi.
Jadi, kalau seorang penulis ingin membawa isu berupa kasus-kasus kemanusiaan yang sangat terkenal, di mana ia tahu hal itu sudah banyak diceritakan orang lain, maka yang harus ia olah dan kuatkan adalah imajinasinya, sebab hal itulah yang akan menyelamatkannya dari pengulangan.
Dengan imajinasi, kita bisa membawakan kembali kasus Petrus tanpa menyebut kata “Petrus” sama sekali. Kita bisa menceritakan sejarah PKI tanpa menulis satu pun “PKI” di sepanjang cerita. Jika kita perhatikan dalam buku kumpulan cerpen “Saksi Mata”, cukup banyak cerpen yang sebenarnya tidak secara langsung menuliskan Timor Timur tapi orang tetap bisa menangkap arahnya. Itulah sesuatu di luar teks, sementara di dalam teks, yang dominan adalah permainan imajinasi. Sehingga kalau pun sesuatu di luar teks itu tak tertangkap, maka pembaca tetap bisa menikmati cerita tersebut sebagai sebuah produk imajinasi penulisnya.***
Sungging Raga. Residivis cerpen, penulis kumcer “Sarelgaz”, tinggal di Situbondo, Jawa Timur.