Banyak orang bisa menulis. Menulis dengan baik dan benar. Banyak sekali yang bisa. Katakanlah, sejak Anda lulus dari sekolah dasar, Anda pasti sudah bisa menulis. Kalau Anda masih bilang; “tidak bisa”, maka perlu dipertanyakan lagi ijazah kelulusan sekolah dasar Anda tersebut.
Baiklah. Anda sudah bisa menulis. Bahkan tidak hanya bisa menulis, namun Anda menilai cukup jago menulis. Paling tidak beberapa artikel, puisi, atau sekadar catatan harian pernah dibuat. Namun, ini anehnya, mengapa tidak semua orang bisa menjadi penulis? Mengapa setiap orang tidak menggantungkan hidupnya dengan cara ini? Cara mudah yang—bahkan—sudah bisa dilakukan semenjak kita sekolah dasar?
Seperti halnya dengan aktivitas lain semenjak kita kanak, menggambar—misalnya—adalah soal ketrampilan. Semua orang bisa menggambar, dan cukup banyak orang yang bisa menggambar dengan baik dan benar. Namun, tidak banyak orang yang rela menggantungkan hidupnya dari lukisan tangannya sendiri. Karena—sekali lagi—aktivitas ini adalah soal ketrampilan. Dan jika bicara soal ketrampilan, maka kita bicara kebiasaan. Semakin terbiasa kita menulis maka akan semakin terampil kita jadi penulis.
Menulis dari yang dekat
Menulis dari sesuatu yang benar-benar kita tahu. Catatan harian, misalnya. Jelas kita tahu karena bercerita mengenai apa yang kita alami. Puisi punya tempat di sana. Sebab kadang kita tidak mampu menceritakan secara mendetail apa yang kita alami, dan di sanalah, puisi datang sebagai “penyelamat” untuk mewadahi gagasan kita.
Menulis dari hal yang dekat bukan berarti membuat kita dibatasi oleh apa yang pernah kita alami. Kita bisa menulis sesuatu yang ada di luar pengalaman kita. Dan caranya sederhana; membaca.
Dengan membaca, “kedekatan” kita akan sesuatu menjadi lebih variatif dan beragam. Membuat kita tidak perlu mengalami langsung apa yang hendak kita tulis, tapi cukup belajar dari pengalaman orang lain. Membaca tentang apapun, baik komposisi isi botol kecap di warung mi ayam, peringatan bungkus rokok, sampai novel super berat.
Semakin banyak membaca, semakin banyak pula varian kosakata kita, dan semakin banyak varian kosakata maka akan semakin mudah pula bagi kita untuk mencari jalan pintas dalam mengemukakan sebuah gagasan.
Kemampuan mencari jalan pintas ini berguna untuk menyederhanakan gagasan-gagasan yang rumit melintas di kepala kita. Semakin cerdas seseorang, maka ia akan semakin mampu menyederhanakan hal-hal yang begitu rumit dan bukan malah mempersulit hal sederhana.
Belajar dari puisi
Belajar menulis berarti juga belajar memilih model karya sastra yang hendak kita geluti pertama kali. Dan dari sekian banyak model karya tersebut, puisi punya tempat istimewa tersendiri.
Akui sajalah. banyak dari kita—dan orang-orang di sekeliling kita—mengenal cara menulis esai, artikel, cerpen, karya ilmiah, atau bahkan novel, didasari dari kemampuan mereka mengasah menulis puisi sedari kanak hingga dewasa. Kemampuan yang ditempa terus-menerus hingga akhirnya bisa membuat tulisan yang berkembang ke dalam model karya sastra lain. Ibarat atlet marathon yang selalu punya pengalaman komunal yang sama di masa muda dalam belajar berdiri, berjalan, kemudian berlari.
Lalu mengapa pilihannya puisi?
“Cukup mudah” (dengan tanda kutip) untuk ditulis? Hm, bisa jadi—terlepas dari beragam teknik, rima, dan gramatikalnya. Paling tidak, puisi bisa dianggap sebagai awal “latihan” yang cukup baik untuk menjadikan seseorang menjadi penulis handal. Ada berbagai alasan mengenai anggapan ini.
Pertama, puisi bisa ditulis dengan cukup pendek. Bahkan sangat pendek. Bukan berarti esai atau artikel tidak bisa ditulis dengan pendek juga. Puisi punya kemampuan unik untuk merangkum maksud penulis dalam beberapa kata dalam frase-frase singkat. Tentu hal ini berguna untuk membantu seorang penulis muda yang ingin belajar mengungkapkan apa yang ingin dimaksud dalam bahasa tulis yang sederhana.
Alasan kedua, puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang memungkinkan penulis untuk bersembunyi dari beberapa gagasan rasionalnya yang belum selesai. Dibandingkan dengan teknik penulisan semacam artikel, prosa, atau esai, puisi punya kemampuan untuk berhenti di beberapa konklusi penyairnya, kemudian menyerahkan sisanya kepada pembaca.
“Kemampuan” karya sastra ini memungkinkan bagi siapapun yang ingin belajar menulis untuk tidak perlu mendalami benar apa yang dihadapi. Tentu dengan catatan, bahwa tidak serta-merta juga kita bisa berlaku seenaknya membuat puisi yang akan dipublikasikan, sebab alasan ini hanya berlaku untuk sekadar latihan menulis, dan belum tentu berlaku untuk beberapa penulis atau seseorang yang—akan menjadi—penyair.
Ketiga, di dalam puisi, efek-efek emosional lebih memiliki tempat daripada bentuk karya sastra yang lain. Jika kita membandingkan dengan penulisan esai atau novel misalnya, perlu ada rasionalisasi di setiap alur dan gagasan. Selalu ada kausalitas yang membuat sebuah kisah terasa masuk akal dalam ide penceritaannya—tentu saja—bukan dalam realitas sehari-hari. Puisi bukannya tidak memiliki alur logis di dalamnya. Puisi punya, namun kemasukakalan (plausibility structure) dalam esai, cerpen, atau novel lebih ketat aturannya karena lebih banyak menggunakan bahasa sebagai jembatan komunikasinya, dibandingkan puisi yang lebih mempermainkan simbol dan maksud tersembunyi dalam metafora yang digunakan.
Dari ketiga alasan tersebut ada beberapa catatan lebih lanjut yang perlu dipahami untuk membuat puisi yang “baik”. Ada beberapa penulis yang kemudian berhenti di tahap tersebut, dan untuk itulah mereka punya panggilan yang berbeda (baca: penyair). Pembeda ini tentu bukan tanpa sebab. Ada spesifikasi kemampuan dalam perbedaan sebutan ini; kita mengenal beberapa istilah lain, seperti esais, cerpenis, atau novelis. Sebuah bentuk kemampuan spesifik yang dimiliki oleh seorang penulis. Dan dalam tahap tersebut, seorang penulis (dalam makna yang general) sudah diakui atau memilih untuk diakui di posisi tersebut sebagai seorang penulis sesuai karyanya.
Nah, bagi kita yang ingin belajar menulis, belajar dari puisi merupakan langkah konkrit yang paling mudah untuk menjembatani cara berpikir kita sendiri. Banyak orang punya gagasan besar, tapi gagal dalam mengungkapkannya karena struktur bahasa yang dimiliki tidak “sebesar” gagasannya sendiri. Pun sebaliknya begitu, banyak orang bisa menulis dengan baik, namun tidak memiliki gagasan yang cemerlang, pada akhirnya tulisannya hanya akan indah di permukaan tanpa ada pencerahan yang berarti.
Ketika kita sudah mampu menjembatani gagasan kita. Berarti sejatinya kita telah sukses memetakan persoalan yang ingin kita kaji, serta paham dengan apa yang kita ketahui. Sebab, tidak sedikit orang yang tidak paham dengan apa yang sebenarnya mereka ketahui sendiri.
Itulah jawaban, mengapa—justru—pakar linguistik macam Ferdinand de Sasussure-lah yang dianggap sebagai salah satu pencetus paham strukturalisme di Eropa. Paham yang membuat ilmu pengetahuan bisa distrukturkan dan dipetakan polanya. Semua “hanya” karena kesuksesan manusia dalam memahami bahasa mereka sendiri. Maka dari itu orang yang jago menulis, pada dasarnya adalah orang yang paling jago dalam ilmu logika. Karena sang penulis berhasil memetakan apa yang ia ketahui agar orang lain paham dengan apa yang ada dalam otak si penulis.