Bumi diisi banyak sekali manusia. Ada milyaran manusia di dunia, dan ratusan juta di antaranya merupakan warga Indonesia. Di antara ratusan juta masyarakat Indonesia itu, banyak yang senang membaca. Sekian persen dari mereka yang suka membaca, senang menulis. Pengerucutan terakhir, sebagian besar yang senang menulis memiliki impian untuk menerbitkan tulisan-tulisannya dalam bentuk buku yang dibaca, dan dikenal banyak orang di Indonesia, bahkan dunia—yang jumlahnya milyaran itu.
Jika kamu termasuk dalam kelompok terakhir, maka menerbitkan buku adalah suatu pencapaian. Tentu saja, pencapaian dalam bentuk apapun tak pernah melangkahi apa yang disebut proses. Setiap manusia yang ingin mendapatkan sesuatu, proses adalah hal yang sangat menentukan keberhasilan. Contoh romantisnya, urusan mendapatkan cinta pun akan melalui proses. Contoh nelangsa, patah hati pun memiliki proses.
Banyak hal yang dilalui seseorang dalam mewujudkan impiannya menjadi penulis, sebagian di antaranya adalah masalah-masalah yang dihadapi. Bagaimana cara menghadapi masalah itu akan menentukan perkembangan proses kreatif. Proses itu tentu dimulai dari memulai menulis naskah, belajar menyempurnakan tulisan, menyiapkan naskah, mencari penerbit, buku diterbitkan, promosi, dan seterusnya.
Bagaimana denganmu? Giat menulis, memiliki naskah dan tak sabar ingin menerbitkan buku pertama? Ada beberapa hal yang sebaiknya dihindari ketika menerbitkan buku pertamamu. Seringkali kecerobohan muncul di tengah proses dan semangat yang menggebu-gebu. Tak jarang ini justru bisa menjadi sandungan.
1. Malas Membaca, Malas Belajar
Bukan, ini bukan tentang pelajaran sekolah, tapi tentang proses menulis. Asupan utama seorang penulis adalah bacaan (beriringan dengan keseharian), khususnya ‘bacaan yang baik’. Banyak membaca akan membuatmu belajar bagaimana membuat tulisan yang baik. Nantinya, buku yang lahir dari karya-karyamu akan kena imbas.
Berhati-hatilah saat kamu merasa sudah menulis, menyelesaikan naskah, kamu merasa sudah menjadi penulis yang berpuas diri dan menganggap tulisanmu sudah sempurna sehingga tidak mau membaca kembali tulisan—terlebih mengoreksi kesalahan—bahkan tidak mau menerima masukan orang lain, dan malas membaca karya-karya yang bagus sebagai bahan belajar. Tipikal seperti ini masih saja ada, dan tentu saja ini adalah potensi paling besar untuk sulit berkembang. Buku pertama pun akan lebih banyak berada di angan-angan.
2. Terlalu Manja
Kali ini, bukan tentang anak yang terbiasa segala maunya dituruti orang tua. Atau tentang kekasih yang gampang ngambek jika maunya tak
dipenuhi. Ini adalah soal usaha seseorang memperoleh informasi untuk menerbitkan buku.
Baik penerbit arus utama maupun indie, sebagian besar telah menuliskan informasi cara menerbitkan buku bersama penerbit tersebut, syarat dan kriteria naskah yang diterbitkan, kontak penerbit, dan sebagainya di website, media sosial, maupun di media lainnya. Bahkan, membuat FAQ alias tanya-jawab yang merangkum pertanyaan dan jawaban yang sudah sering ditanyakan oleh calon penulis. Meski begitu, tetap saja tidak sedikit yang “malas” dan terlalu manja untuk membaca informasi-informasi tersebut terlebih dahulu. Kebanyakan yang seperti ini memanfaatkan kemudahan akses menghubungi penerbit dengan menanyakan kembali pertanyaan yang sebenarnya bisa langsung ia dapatkan jawabannya jika rajin melihat informasi yang sudah tertera.
Bertanyalah jika masih ada informasi yang kurang jelas. Kapan buku pertamamu akan diproses jika terlampau cerewet dan masih membuang-buang waktu untuk menanyakan hal-hal yang sebenarnya tak perlu ditanyakan lagi?
3. Mengejek Buku Sendiri
Merendah memang hal yang baik. Namun, bukan berarti merendah-rendahkan hasil kerja kerasmu, hingga terlihat seperti tengah menghina buku sendiri. Beberapa contoh kalimat yang seolah mengejek buku sendiri:
* “Belilah buku saya yang tidak seberapa ini…”
* “Ini buku pertama saya, mohon maklum kalau kualitasnya apa adanya saja.”
* “Saya baru menerbitkan buku. Tapi masih jelek, semoga tak rugi ya membacanya.”
Rasa minder tak jarang terjadi bagi mereka yang menerbitkan buku pertamanya. Mereka—yang merasa sebagai penulis pemula—biasanya terkena euforia sendiri saat akan menerbitkan buku pertamanya. Rasa bangga dan puas seketika hadir saat melihat naskah yang dibuat sudah lahir dalam bentuk buku. Hanya saja, bagi beberapa penulis pemula, kebanggaan itu tertelan oleh rasa minder, malu, atau cemas kalau buku pertamanya ini dirasa “gagal”.
Sebaiknya hindari hal seperti ini. Bayangkan seberapa panjang proses yang sudah dilalui untuk membuat buku perdanamu. Buku itu buah dari usaha, kerja keras, pemanfaatan waktu, uang dan tenaga yang sudah dikeluarkan. Setelah terbit, tugas penulis selanjutnya adalah menarik orang lain untuk membeli dan membaca bukumu. Sangat wajar jika dirimu merasa ada kekurangan dalam bukumu, tapi bukan berarti sama sekali tak ada kelebihan yang dimiliki, bukan? Bukumu memiliki hak untuk ditonjolkan kelebihannya.
4. Malas Mengembangkan Diri
Jika poin sebelumnya tentang penulis baru yang minder, kali ini tentang penulis baru yang terlalu narsis. Buku pertama akan membuatmu
merasakan proses koreksi, perbaikan, eksplorasi potensi. Sayang jika setelah menerbitkan buku pertama, kamu justru terjebak pada zona kualitas nyaman—jika bisa disebut istilah seperti itu—yang menyebabkan kualitas tulisanmu begitu-begitu saja. Bahkan, justru mengikuti kebiasaan ‘menulis yang salah’. Contoh kecil saja, siapa di antara kamu yang sudah menerbitkan buku pertama, tapi masih sering menulis dengan tidak bisa membedakan penggunaan kata depan dan kata kerja di- yang disambung, dan mana yang dipisah karena malas mempelajarinya?
Buku pertama adalah batu loncatan. Manfaatkan sebaik mungkin untuk meningkatkan kualitas tulisanmu berikutnya. Tentu saja ini untuk melahirkan buku kedua, ketiga, dan kesekian dengan kualitas yang lebih rupawan.