Buku Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer sudah jamak dikenal, apalagi kalau Anda pernah “bertapa” cukup lama di kampus untuk menahan diri agar tidak segera lulus karena alasan jadi aktivis. Pleidoi yang kemudian membenarkan bahwa mahasiswa setidaknya harus lulus lebih dari empat tahun. Hal ini ditularkan secara berkala oleh senior-senior aktivis di kampus. Ritme yang juga akan menggunakan satu “kitab suci” yang sama. Kitab suci yang disabdakan oleh Nabi Pram.
Paling tidak, saya salah satu “korban”-nya. Membaca buku yang ditulis ketika Pram ditahan di Pulau Buru tahun 1973 ini adalah sebuah upgrade status sosial dalam dunia kampus. Jika Anda belum membacanya, maka jangan harap Anda bisa “bergaul” satu level dengan aktivis lain yang sudah lumutan dan jamuran. Tentu saja kita tidak mengikutsertakan aktivis “kanan” di sini, karena pijakan dan ideologinya berbeda—mereka harus menunggu lampu merah sedangkan kita (baca: kiri) tetap bisa jalan terus.
Nah, buku yang merupakan hasrat terpendam Pram dalam meninjau kembali sejarah Nusantara yang sudah lama ditekuninya ini sudah lama dijadikan sebagai acuan fakta sejarah mengenai Tirto Adhi Soerjo, seorang tokoh pers Indonesia. Itu kalau kita merujuk pada klaim Takashi Shiraishi lewat Zaman Bergerak yang juga menyinggung soal Tirto sebagai bukan hanya tokoh pers, namun juga tokoh nasional.
Berbeda dengan cara Takashi, cara Pram lebih enak dan nyaman. Pram melahirkan tokoh fiksi dengan balutan latar dan kedekatan dengan apa yang dianggap “fakta”. Hal yang kemudian menjebak tetralogi Pram sebagai bagian dari rujukan sejarah.
Kita semua tahu, dengan akses yang begitu terbatas dan minimnya data—maklum saja—semua arsip dan manuskrip yang Pram kumpulkan tidak bisa masuk menemaninya ke penjara. Alhasil, Pram mengandalkan ingatan yang masih bisa ditangkap. Daripada mengambil risiko dengan absennya satu atau dua poin data, maka penulisan fiksi dipandang realistis karena lebih lunak dengan aturan-aturan kebenaran sejarah.
Bukan berarti meragukan kedekatan fakta yang ada dalam tetralogi Pram, namun jika mau sedikit “nakal”, maka dengan menggunakan buku ini untuk rujukan sejarah, rasanya makin kabur batasan apa yang disebut fiksi dan apa yang disebut nonfiksi dalam sebuah karya penulisan.
Kita bisa saja sepakat. Dengan menimbang dari berbagai aspek teori sastra, karya Pram adalah sebuah karya fiksi yang didasari oleh fakta-fakta sejarah. Kita memang tidak bisa membantah hal itu. Namun, yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa sehebat apapun sebuah karya fiksi, sejatinya ia tetaplah fiksi. Kebenaran-kebenaran yang ada di sana hanyalah sebuah perpaduan titik-titik kejadian dengan penambahan-penambahan dan penceritaan yang—bisa saja—sedikit dilebih-lebihkan.
Kalau kemudian Anda membantah bahwa apa yang diceritakan Pram melalui “karya fiksi”-nya adalah memang benar adanya, maka bisa jadi hal itu karena memang Anda menilai periode sejarah nusantara akhir abad 19 menuju awal abad 20 berpijak dari karya Pram semata. Okelah, bukan jadi satu-satunya, namun tetap saja buku itu jadi rujukan awal untuk membaca arsip-arsip lain yang mendukung.
Sampai pada titik itu, tetralogi Pram sudah menjadi kacamata Anda dalam memandang kultur, kondisi sosial, hingga peristiwa-peristiwa yang terjadi di era-era tersebut. Wacana-wacana dan gagasan yang lain soal fakta-fakta lain yang sama komprehensifnya akan (hanya) dianggap sebagai pembanding dan menjadi oposisi dalam grand design berpikir Anda.
Bukan berarti saya sok dan merasa mempunyai kapabilitas untuk mengkritisi karya Pram. Saya hanya merasa aneh bagaimana—tanpa kita sadari—sebuah karya fiksi tidaklah selalu dipandang sebagai sebuah karya yang fiktif. Pandangan yang juga berlaku sebaliknya, bahwa tidak semua karya nonfiksi adalah memang benar adanya. Dua dikotomi ini (fiksi dan nonfiksi) tidaklah segaris lurus semacam itu. Semua bisa berbeda dengan bagaimana karya fiksi itu dimanfaatkan.
Sebagai Propaganda
Kalau masa kanak-kanak Anda berada pada era antara tahun 1984 sampai 1997, sudah barang tentu Anda akrab dengan film Pengkhianatan G 30 S PKI. Film yang disutradarai dan ditulis oleh Arifin C. Noer ini adalah sebuah epik sejarah yang “wajib” ditonton oleh seluruh rakyat bangsa Indonesia era tersebut. Wajib, karena saban tanggal 30 September, seluruh stasiun televisi akan menyiarkannya. Karena seluruh stasiun televisi menyiarkannya, maka jelas kita akan “terpaksa” menontonnya.
Setiap dari kita sudah tahu isi film itu, jadi saya tidak perlu repot untuk menceritakan isinya. Bagi yang lahir di era sesudah reformasi, Anda bisa mengunduhnya saja dari layanan internet. Jangan khawatir, Anda tidak akan dipenjara karena dianggap sebagai sisa simpatisan Pak Harto. Tenang saja, saat ini film G 30 S PKI dianggap hanya sebagai sebuah “karya fiksi”. Tak lebih.
Pascareformasi, film yang menceritakan kepahlawanan Pak Harto itu dianggap sebagai bagian dari “pemalsuan sejarah”. Dianggap sebagai “karya propaganda” untuk melanggengkan kekuasan Presiden Indonesia saat itu. Saat menontonnya di era 1990-an, di mana saya masih anak-anak waktu itu, yang kemudian ditangkap adalah bagaimana film dokumentasi sedang dinarasikan. Tanpa sadar kita melihat bagaimana fakta-fakta sejarah sedang dibawakan dengan apik dalam cerita film yang menarik. Karena akses sejarah kita mengenai pemberontakan PKI berlandaskan pada film itu, maka cara pandang kita pun akan seperti itu terhadap PKI.
Begitu reformasi pecah dan kerusuhan melanda antara tahun 1997 sampai 1998, pemerintah tak lagi punya kuasa untuk mewajibkan seluruh stasiun televisi menyiarkan film tersebut. Selain itu, akses informasi lebih terbuka, cara pandang lebih beragam, dan cara berpikir jadi makin variatif. Hal yang sekaligus menggeser cara pandang film G 30 S PKI.
Jika di tahun-tahun awal sesudah reformasi film itu begitu dibenci dan dinilai sampah karena dianggap memutarbalikkan sejarah, maka “tidak” ketika masuk ke periode-periode belakangan ini. Film itu malah dicari, ditonton kembali, dan dinikmati lagi. Bukan sebagai nostalgia, namun ditonton dengan kacamata pemikiran yang baru. Pemikiran yang menganggap bahwa G 30 S PKI hanyalah sebuah karya fiksi.
Dengan dipandang sebagai sebuah karya fiksi, maka penilaian pun jadi berbeda. Sekarang justru banyak yang memuji film yang dibintangi Amoroso Katamsi, Umar Kayam, dan Syubah Asa ini. Sebagai sebuah film, G 30 S PKI dipandang sebagai sebuah film dengan sinematografi terbaik pada eranya. Terlepas dari adanya konspirasi untuk memenangkan tujuh penghargaan film ini pada Festival Film Indonesia 1984, film ini memang yang terbaik. Hanya jika kita melihatnya sebagai sebuah karya fiksi semata. Titik.
Fiksi dan Nonfiksi
Fiksi dan nonfiksi dipandang sebagai dikotomi struktural yang membagi dua tipe karya penulisan. Jika acuannya fakta di lapangan, maka hal itu dianggap nonfiksi, lalu jika acuannya adalah imajinasi, maka dianggap fiksi. Semudah itu, sesederhana itu. Tapi, tunggu dulu, benarkah?
Jika kita mau merujuk ke awal filsafat bermula, di mana Plato menggagas mengenai sebuah dunia “idea”, maka sejatinya imajinasi adalah sebuah kreasi yang muncul karena penangkapan indra kita dalam memahami dunia. Imajinasi kita bukanlah karya orisinal yang muncul begitu saja. Imajinasi membutuhkan rujukan pengalaman empiris. Sesuatu dibayangkan karena sesuatu pernah ada.
Anda tidak akan pernah bisa membayangkan sesuatu yang tidak pernah ada. Tidak percaya?
Baiklah. Mungkin Anda bisa mendebat mengenai kemunculan bayangan imajinasi-imajinasi dalam karya imajinatif macam karya J.K. Rowling, namun benarkah Anda mendapatkan hal yang tidak ada? Ah, ada. Oke, Hipogriff. Itu baru. Benarkah?
Hewan dalam cerita Harry Potter bernama hipogriff itu memang tidak pernah ada di dunia karena hewan yang dicomot dari mitologi Yunani ini adalah gabungan-gabungan hewan-hewan yang sudah ada di bumi ini. Kepalanya rajawali, badannya gabungan antara singa dan kuda, lalu sayapnya, lalu bla-bla-bla. Rowling tetap membutuhkan sebuah penggambaran hewan-hewan yang “nyata” untuk memberi jembatan imajinasi ke pembaca. Ia tahu bentuk kuda seperti itu, sehingga ia ambil bentuk kuda. Ia tahu bentuk kepala elang seperti itu, maka ia ambil bentuknya.
Dengan begitu, bentuk hewan absurd macam hipogriff bisa sampai ke pembaca sebab pembaca pun pernah menangkap fakta empiris serupa. Jika tidak, maka hancur sudah bentuk hewan tersebut karena tidak bisa dibayangkan oleh pembaca.
Hal tersebut juga berlaku dengan kitab-kitab suci. Bahwa kemudian penggambaran surga adalah sesuatu yang indah, maka penggambaran itu haruslah bisa diwakilkan oleh benda-benda yang ada di dunia. Sungai-sungai, daerah yang sejuk, bidadari, dan lain sebagainya. Semuanya adalah hal yang jamak kita temui dalam dunia ini. Jika tidak, maka manusia tidak akan pernah bisa membayangkannya. Jika tidak bisa dibayangkan, maka jelas hal itu tidak akan menggiurkan lagi bagi kita. Dan bisa jadi kita sudah tidak beragama lagi sejak dahulu kala.
Hal yang sama juga berlaku dengan tetralogi Pram dan film G 30 S PKI karya Arifin C. Noer. Keduanya menangkap fakta yang ada di bumi ini. Pram melalui manuskrip yang ia temukan kemudian susun dalam mengungkap sejarah Nusantara akhir abad ke-19 dan Arifin C. Noer melalui cerita pemberontakan PKI yang ia coba kombinasikan dengan realitas versinya.
Keduanya tidaklah sedang menciptakan fakta objektif. Keduanya sama-sama menciptakan fakta subjektif. Keduanya tidaklah sedang menciptakan karya nonfiksi, keduanya menciptakan sebuah karya fiksi dengan argumentasi menarik yang membuatnya seolah-olah nyata.
Nah, sekarang Anda dibikin bingung. Lalu bagaimana sebuah karya nonfiksi? Berarti tidak ada karya nonfiksi? Jangan khawatir, apa yang Anda baca ini sejatinya juga merupakan sebuah karya fiksi. Sebab kebenaran adalah soal bagaimana Anda bisa meyakinkan orang lain untuk menganggap gagasan Anda dianggap benar. Kebenaran tunggal itu tidak ada. Semuanya saling berkelindan berjejal dan merebut dominasi menjadi yang tunggal.
Jadi buat apa repot-repot mencari karya nonfiksi. Karena Anda tidak akan pernah menemukannya. Sekalipun itu koran-koran yang Anda baca tiap pagi maupun sebuah kitab suci yang Anda baca di kala malam hari.
Tulisan di atas ini sangat urgen membutuhkan seorang editor naskah yang handal!
“Daripada mengambil risiko dengan absennya satu atau dua poin data, maka penulisan fiksi dipandang realistis karena lebih lunak dengan aturan-aturan kebenaran sejarah.” Begitu banyak pernyataan asersif yang tak pernah sekalipun berusaha dibuktikan oleh penulisnya seperti yang saya kutipkan ini!
Sebuah novel sejarah “lebih lebih lunak dengan aturan-aturan kebenaran sejarah”?! Kalok dibanding dengan tulisan apa? Bahkan kalok dibandingkan dengan tulisan sejarah sekalipun, sebuah novel sejarah tidak akan lebih “lebih lunak dengan aturan-aturan kebenaran sejarah”, itulah makanya tulisan tsb disebut sebagai “novel sejarah”! Begitu jugak sebaliknya dengan tulisan “sejarah”. Kalok sebuah tulisan “sejarah” cumak berisi fakta-fakta sejarah doang maka tulisan tsb belum menjadi sebuah tulisan! Baru kumpulan data belaka! Untuk membuat kumpulan data tsb menjadi “sejarah” maka harus dibuat sebuah narasi yang berisikan data-data tsb dan semua narasi adalah fiksi! Narasi adalah interpretasi atau tafsir atas peristiwa dan peristiwa adalah kumpulan data. “Sejarah” tentang Tirto Adhi Soerjo tidak akan jadi sejarah kalok tidak dinarasikan, dikisahkan, didongengkan. Dan banyak versi, banyak narasi atas “sejarah” Tirto Adhi Soerjo tsb dan Tetralogi Pulau Buru adalah salah satu yang paling menarik dan terkenal!
Kok gue sukak ya baca artikel ini?:)
Komentar Bang Saut yang ini: “Bahkan kalok dibandingkan dengan tulisan sejarah sekalipun, sebuah novel sejarah tidak akan lebih “lebih lunak dengan aturan-aturan kebenaran sejarah”, itulah makanya tulisan tsb disebut sebagai “novel sejarah”! ”
Malah melengkapi apa yang kurang dari artikel ini tuh.. :p hohoho. Horas, Bang!